KAJIAN BERKENAAN DENGAN KEADILAN TUHAN



Dari ayat-ayat Al-Qur’an dapat diketahui bahwa Allah Swt. akan senantiasa menyadarkan orang-orang yang melakukan dosa —dengan syarat belum terlalu terjerumus ke dalam lautan dosa— dengan lonceng peringatannya, reaksi-reaksi dari perbuatan-perbuatan mereka, atau—terkadang—melalui hukuman-hukuman yang sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan untuk kemudian mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Mereka ini adalah orang-orang yang masih mempunyai kelayakan untuk mendapatkan hidayah dan pertolongan Allah swt. dan masih berada di dalam naungan kasih sayang Sang Kekasih. Karena pada hakikatnya, hukuman dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi merupakan sebuah nikmat.

Al-Qur’an berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, karena Allah hendak merasakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka, supaya mereka kembali [ke jalan yang benar].” (QS. Ar-Rum [30]: 41)

Akan tetapi, mereka yang telah tenggelam di dalam lautan maksiat, dosa, dan pembangkangan hingga mencapai titik maksimal, maka Allah Swt. akan meninggalkan mereka dalam keadaan mereka sendiri. Artinya, Dia memberikan kesempatan kepada mereka supaya memikul dosa yang amat berat sehingga mereka berhak untuk mendapatkan hukuman dalam batas yang maksimal. Mereka ini adalah orang-orang yang merusak dan menghancurkan jembatan-jembatan di belakang mereka sendiri dan tidak menyediakan jalan bagi diri mereka untuk kembali. Dan orang-orang semacam ini betul-betul telah menyobek tirai rasa malu dan penyesalan dalam diri mereka sendiri, serta betul-betul telah kehilangan kelayakan untuk mendapatkan hidayah Ilahi.

Al-Qur’an dalam sebuah ayatnya menekankan, “Dan janganlah sekali-sekali orang-orang kafir menyangka bahwa penangguhan yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi penangguhan kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka semakin bertambah, dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Ali ‘Imran [3], 178)

Dalam pidato yang telah disampaikan oleh Srikandi Islam, Sayidah Zainab Al-Kubra ketika berhadapan dengan penguasa tiran Syam, beliau berargumen dengan menggunakan ayat ini di hadapan Yazid, sosok pembangkang yang merupakan jelmaan jelas dari pendosa yang tidak lagi memiliki jalan untuk kembali. Dalam pidato ini ia menegaskan, “Kamu hari ini bergembira ria dan menyangka bahwa karena kamu telah membuat sempitnya ruang gerak kami, telah menutup batas langit bagi kami, telah membuat kami sebagaimana tawanan yang bisa kamu bawa dari tempat ini ke tempat lain, maka hal ini merupakan tanda-tanda kekuatanmu, atau kamu menyangka bahwa di hadapan Allah ‘Azza Wajalla kamu mempunyai kekuatan lalu kami menjadi tidak mempunyai kedudukan sedikitpun di hadapan Nya? Sungguh, kamu berada dalam kesalahan yang amat besar, karena kesempatan dan kebebasan yang diberikan oleh Allah kepadamu ini adalah supaya punggungmu menjadi begitu berat oleh beban dosa-dosamu dan azab yang sangat mengerikan dan menyakitkan akan menunggumu ….”

Jawaban Terhadap Sebuah Pertanyaan.

Ayat yang telah disebutkan di atas juga akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul di dalam persepsi banyak orang yang mananyakan mengapa sebagian para pemaksiat dan pendosa yang sudah tercemari dengan semua perbuatan keji ini malah tenggelam dalam kenikmatan yang berlimpah dan tidak menerima hukuman?

Al-Qur’an mengatakan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang tidak bisa lagi diperbaiki di mana sesuai dengan sunah penciptaan dan konsep kebebasan memilih, mereka telah dibiarkan dalam keadaan mereka sendiri sehingga mereka akan sampai pada tahap kehancuran dan mendapatkan hukuman yang maksimal.

Lebih dari itu, dari sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an bisa diketahui bahwa Allah Swt. terkadang akan memberikan kenikmatan dan kesenangan yang amat banyak kepada orang-orang semacam ini, dan ketika mereka telah teggelam di dalam kenikmatan, kelezatan, kemenangan, dan kebanggaan, secara tiba-tiba Dia akan mengambil semuanya dari tangan mereka sehingga mereka menikmati titik drastis dari siksaan kehidupan di dunia ini. Karena bagi mereka, terpisah dengan dunia yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan merupakan suatu hal yang sangat menyiksa.

Kita membaca dalam salah satu ayat, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah Kami berikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah Kami berikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Maka, ketika itu mereka akan terdiam berputus asa.” (QS. Al-An‘am [6]: 44)

Pada hakikatnya, kondisi orang-orang semacam ini tak ubahnya seperti orang-orang yang memanjat sebuah pohon. Semakin ia memanjat ke atas, maka akan semakin girang dan senang hingga akhirnya ketika mencapai pada pucuk pohon, tiba-tiba sebuah angin besar menghembus ke arah dirinya dan dalam seketika telah menghempaskan dirinya ke bawah sehingga angin itu menyebabkan seluruh tulang-belulang tubuhnya patah.

Mengapa Bangsa-bangsa yang tidak Beriman Hidup serbaada dan senang?

Dalam surat Al-A‘raf [7], ayat 92 disebutkan, “Jikalau sekiranya semua penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan [ayat-ayat Kami] itu, maka Kami akan siksa mereka karena perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan.”

Dengan memperhatikan ayat mulia di atas, muncul sebuah pertanyaan bahwa apabila iman dan takwa telah menyebabkan turunnya berbagai berkah Ilahi, lalu mengapa kita masih menyaksikan bangsa-bangsa yang tidak beriman tetap berada dalam limpahan nikmat?

Jawaban dari pertanyaan ini akan menjadi jelas dengan memperhatikan dua poin penting berikut:

Poin pertama, adanya persepsi bahwa negara-negara yang tidak beriman dan tidak bertakwa tenggelam dalam kenikmatan dan kemakmuran adalah sebuah persepsi yang salah besar, di mana hal ini muncul dari sebuah kesalahan lain, yaitu anggapan bahwa kekayaan merupakan sumber kebahagiaan.

Biasanya, masyarakat mempunyai persepsi bahwa setiap negara yang memiliki perkembangan sains dan tekhnologi yang lebih maju dan harta yang lebih berlimpah, maka kehidupan warga negara tersebut semakin bahagia dan sejahtera. Padahal, apabila kita melihat kehidupan internal masyarakat ini dari dekat dan mengetuk pintu-pintu tempat mereka meletakkan ruh-ruh dan jasmani mereka, maka kita akan mengetahui begitu banyak dari mereka telah menjadi orang-orang yang paling sengsara di muka bumi ini. Hal ini juga layak kita perhatikan bahwa kemajuan-kemajuan relatif di atas merupakan hasil penerapan konsep-konsep tertentu, seperti usaha, disiplin dan rasa tanggung jawab yang semuanya telah ditekankan dalam ajaran-ajaran para nabi.

Di saat kami menulis tafsir ini, kami telah mendengar berita yang tersebar dari beberapa pers bahwa New York, salah satu kota dan kawasan paling kaya dan maju di dunia ini, telah menyaksikan sebuah kejadian yang sangat ajaib yang ditimbulkan oleh adanya peristiwa padamnya aliran listrik secara mendadak. Pada kejadian yang sangat kritis ini, masyarakat berhamburan dari rumah-rumah mereka untuk saling menyerang dan mayoritas dari mereka berlarian menyergap toko-toko dan merampas barang-barang yang terdapat di dalamnya. Sebegitu dahsyatnya tragedi ini sehingga dalam waktu yang relatif sangat singkat polisi telah berhasil membekuk sebanyak tiga ribu orang pelaku penjarahan ini.

Tentu saja, jumlah para penjarah yang sebenarnya adalah berlipat-lipat dari yang telah disebutkan dan hanya jumlah tersebutlah yang tidak berhasil melarikan diri sehingga dibekuk oleh polisi. Dan juga jelas bahwa mereka bukanlah para penjarah yang mahir dan lihai dalam pekerjaannya sehingga perlu bagi mereka untuk merencanakan dan mempersiapkan diri sebelumnya untuk melakukan serangan umum seperti ini, karena kejadian di atas adalah sebuah peristiwa yang sangat mendadak.

Oleh karena itu, kami bisa mengambil konklusi bahwa lantaran hanya terputusnya aliran listrik sekian menit saja telah mampu mengubah puluhan ribu warga sebuah kota terkaya dan termaju di dunia menjadi warga yang beringas dan liar, dan telah mampu mereduksi kota tersebut menjadi sebuah kota penjarah. Ini bukan saja statemen terhadap terjadinya sebuah penyimpangan akhlak sebuah bangsa, melainkan statemen terhadap degradasi privasi dan krisis keamanan dalam masyarakat.

Berita lain dari media pers yang akan bisa melengkapi berita sebelumnya adalah pengakuan salah seorang tokoh terkenal yang pada saat peristiwa tersebut terjadi tinggal di salah satu hotel berbintang di kota New York. Ia mengatakan, “Padamnya listrik telah menyebabkan koridor hotel menjadi sebuah tempat yang sangat mencekam. Berjalan di tempat ini menjadi sebuah perjalanan yang sedemikian mengerikan sehingga pemilik hotel tidak memberikan izin kepada seorang pun untuk berjalan sendirian di koridor hotel untuk menuju kamarnya, karena sudah pasti para penjarah akan datang mengganggu mereka. Oleh karena itu, pemilik hotel menyediakan pasukan bersenjata khusus yang ditugaskan mengawal tamu-tamu untuk memasuki ruangan-ruangan mereka dalam kelompok-kelompok sepuluh orang atau lebih.” Orang itu menambahkan, seandainya ia tidak dilanda rasa lapar yang amat sangat, ia tidak akan mempunyai keberanian sedikit pun untuk keluar dari ruangannya sendirian.

Akan tetapi, hal yang kontradiktif terjadi di belahan timur dunia. Padamnya listrik di negara-negara terbelakang di belahan ini tidak akan menyebabkan peristiwa tragis semacam ini. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat modern, bahkan dalam kondisi memiliki sains dan teknologi yang paling maju dan paling kaya, tidak mempunyai sedikit pun rasa keamanan meskipun di dalam lingkungan mereka sendiri. Dari topik ini, para pengamat materialis mengatakan bahwa pembunuhan di dalam lingkungan semacam ini telah terjadi sebegitu mudahnya, sebagaimana mudahnya orang meneguk segelas air.

Dan kita mengetahui dengan baik, apabila —misalnya— seluruh dunia ini diberikan kepada seseorang, akan tetapi ia harus menjalani kehidupan dengan kondisi semacam ini, maka bisa dipastikan bahwa ia akan merupakan paling sengsaranya penduduk di dunia. Ini baru terjadi dalam masalah keamanan yang hanya merupakan salah satu dari problem yang mereka hadapi, karena di samping problem ini terdapat pula ketidakbahagiaan lain di dalam masyarakat yang bisa merupakan persoalan yang sangat menyakitkan. Dengan memperhatikan realitas ini, persepsi bahwa kekayaan merupakan sumber kebahagiaan bisa dinafikan.

Poin kedua, apabila dipertanyakan, mengapa masyarakat yang beriman dan bertakwa senantiasa berada dalam posisi terbelakang? Jika maksud dari iman dan takwa hanyalah sebuah pengakuan pada Islam dan kesetiaannya pada prinsip-prinsip ajaran para nabi, maka kita akan menerima bahwa orang-orang yang mempunyai persepsi semacam ini pastilah akan terbelakang. Akan tetapi, kita mengetahui bahwa hakikat iman dan takwa tidak lain adalah penyebaran pesan-pesan keduanya dalam segmen-segmen kehidupan secara universal, dan ini merupakan suatu hal yang tidak mempunyai relevansi dengan apa yang diakui di atas.

Sangat disayangkan, saat ini prinsip pengajaran Islam dan para nabi telah begitu banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam. Kalau pun tidak ditinggalkan, maka hanya sebagian kecil saja yang mereka laksanakan sehingga menyebabkan karakter wajah yang muncul di dalam masyarakat bukanlah sebuah wajah muslim yang hakiki.

Islam mengajak kepada kesucian, kebenaran, amanah, dan usaha. Lalu, di manakah amanah dan usaha itu? Islam mengajak kepada sains, ilmu, pengetahuan, dan kesadaran. Lalu, manakah sains dan pengetahuan itu? Islam mengajak kepada kesatuan, pertahanan, kesetiaan dan loyalitas. Lalu, apakah secara realitas semua prinsip ini telah dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat Islami saat ini secara sempurna, kemudian mereka terbelakang karenanya? Oleh karena itu, harus diakui bahwa Islam adalah sesuatu dan kita muslimin adalah sesuatu yang lain.

Jika Rezeki telah Dibagikan kepada Seluruh Makhluk, Mengapa Sebagian Orang Menderita Kelaparan?

Di dalam surat Hud [11], ayat 6 disebutkan, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezeki kepadanya ....”

Dengan memperhatikan ayat di atas, timbul sebuah pertanyaan mengapa di dunia saat ini dan juga di sepanjang sejarah masih juga terdapat sekelompok manusia yang meningal karena kelaparan? Apakah ini berarti bahwa rezeki mereka belum terjamin?

Dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus memperhatikan poin-poin berikut ini:

Pertama, jaminan terhadap rezeki bukan berarti bahwa rezeki tersebut telah diantarkan di depan pintu-pintu rumah atau dihaluskan lalu disuapkan ke dalam mulut manusia yang berakal dan mempunyai kecerdasan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan rezeki adalah tersedianya lahan di mana usaha manusia menjadi syarat bagi terwujudnya rezeki dan lahan itu terbuka. Bahkan ketika Siti Maryam a.s. hendak melahirkan si mungil Isa a.s. di tengah gurun yang gersang, terik membakar dalam keadaan yang begitu susah, Allah swt. memanifestasikan rezekinya dalam bentuk setangkai kurma muda yang masih bergantung di pohonnya, tetap memerintahkan kepadanya dengan firman-Nya, “Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu ....” (QS. Maryam [19]: 25)

Kedua, apabila manusia pada masa lalu maupun sekarang senantiasa merampas hak-hak orang lain dan mengambil apa yang telah menjadi rezeki orang lain secara kejam dan sewenang-wenang, hal ini bukanlah statemen terhadap ketiadaan jaminan rezeki dari Allah Swt. Dengan ibarat lain, selain persoalan usaha dan upaya, wujudnya keadilan dalam komunitas masyarakat pun menjadi syarat bagi terwujudnya pembagian rezeki secara adil. Apabila mereka menanyakan, “Mengapa Allah tidak menghalangi kezaliman para pembuat kerusakan ini?”, sebagai jawaban, kami akan menegaskan bahwa prinsip kehidupan manusia terletak pada kebebasan berkehendak sehingga ia mendapatkan ujian, bukannya pemaksaan. Karena apabila tidak demikian, maka tidak akan pernah terwujud apa yang dinamakan sebagai kesempurnaan. (Perhatikan hal ini dengan cermat!).

Ketiga, terdapat begitu banyak sumber pangan untuk manusia di bumi ini yang bisa ditemukan dan dimanfaatkan dengan menggunakan otak dan ketelatenan. Apabila manusia menyepelekan persoalan ini, maka ini karena kesalahan manusia sendiri.

Tidak seharusnya kita melupakan bahwa dataran-dataran yang ada di bumi Afrika yang kebanyakan penduduknya mati karena kelaparan, pada kenyataannya, sebagian dari negara-negara tersebut merupakan daerah yang paling kaya di seluruh dunia. Akan tetapi, faktor-faktor perusak sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, telah membuat kehidupan mereka menjadi kelam sebagaimana yang terlihat saat ini.