Misykat Walayat dalam Irfan

Urafa membagi pengetahuan irfan dan tasawuf atas dua bagian; irfan teoritis dan irfan amali. Bagian teoritisnya menjelaskan dan menafsirkan pandangan dunia irfan yang merupakan hasil dari syuhud dan mukasyafah kalbu para urafa, dan bagian praktis serta amalinya merupakan tuntunan dan riyadah dalam menjalankan sair suluk untuk mendapatkan kesucian dan kesempurnaan insani hingga mencapai akhlak Ilahiah dan menjadi manifestasi sempurna Asma Ilahi.


Pada intinya jalan irfan dan tasawuf adalah jalan kasyf dan syuhud hakikat ontologis serta menghubungkan manusia pada hakikat tersebut. Karena itu meskipun ia secara teoritis tidak jauh berbeda dengan maktab filsafat dan kalam, akan tetapi secara praktis ia tidak hanya berdasar akal dan istidlal saja, tapi berdasar dzauq, isyraqi (iluminasi), wusul, dan fana pada hakikat wujud tunggal. Oleh karena itu untuk sampai pada tingkatan dan maqam ini seorang pesalik mesti menjalankan riyadhah dan mujahadah serta disiplin-disiplin amalan khusus. Jadi maktab irfan dan tasawuf tidak hanya bertumpu pada ilmu, tetapi amal yang menjadi asas dan dasar keaktualannya, dan bahkan ilmu dan makrifat itu sendiri hasil dari keaktualan amalan.


Adapun pengetahuan irfan dibandingkan dengan pengetahuan serta makrifat Islam lainnya memiliki keutamaan khusus dalam tema bahasan, sebab tema bahasannya adalah wujud hakiki (Wahdatul Wujud) dan manusia hakiki (Insan Kamil). Dalam tema wujud hakiki, irfan memberi pengajaran tentang tauhid wujud. Yakni realitas wujud hanya satu, yaitu Hak Swt dan selebihnya hanya manifestasi-manifestasi-Nya. Ibarat lautan, hanya ada satu lautan yang tak bertepi, selebihnya hanyalah ombak dan buihnya.

Dalam tema manusia hakiki, Irfan Islami merupakan maktab yang paling tinggi menempatkan kedudukan manusia dalam tingkatan derajat eksistensi dan manifestasi Tuhan. Sebagai maktab yang mempunyai keluasan cakupan tentang hakikat manusia, ia bertanggung jawab memberikan penjelasan yang memadai tentang jalan kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia, dimana perkara ini merupakan pusat perhatian dan cita seluruh umat manusia. Salah satu tema yang terdapat dalam irfan yang berhubungan dengan masalah ini adalah masalah wilayat, dimana perkara ini mempunyai pengaruh besar dalam meluaskan dan memekarkan makrifat dan substansi diri manusia. Tentang pentingnya wilayat irfani cukuplah kita melihat betapa dalam perjalanan menuju Allah Swt berpusat kepada makrifat insani, tingkatan-tingkatan, stasiun-stasiun, manazil, dan maqam-maqamnya, dimana salah satu terpenting dari itu adalah tingkatan dan maqam wilayat serta fana dalam Hak Swt.[1]

Oleh karena itu, dalam hamparan realitas, ibaratnya nabi sebagai mentari dan wilayat adalah rembulannya dan cahaya-cahaya makrifat serta maknawi lewat perantaraan mereka memancar kepada segenap alam dan manusia. Emanasi Ilahi dari batin kenabian sampai kepada wilayat dan dari wilayat sampai kepada pesalik jalan hakikat. Karena itu, wilayat merupakan landasan dan asas jalan Tasauf dan Irfan Islami.

Dalam sistem penciptaan, keberadaan nabi dan rasul serta washi dan wali adalah suatu kemestian untuk membawa manusia kepada cahaya hidayah, derajat tinggi, dan kesempurnaan insani. Dalam seluruh priode zaman, seorang nabi atau rasul serta sesudahnya seorang washi atau wali sebagai pengganti mereka senantiasa bergantian berdatangan. Sistem kenabian dan kerasulan Ilahiah ini dimulai dari hadhrat Nabi Adam as, hingga kedatangan nabi dan rasul terakhir Hadrat Khatam Saw, dimana tidak ada lagi nabi dan rasul yang datang sesudahnya. Sebagai pengganti dan pelanjut Hadrat Khatam Saw, Tuhan telah menetapkan 12 washi dan wali, dimana yang paling akhir dari mereka adalah mentari Khatam Wilayat Hadhrat Mahdi as, yang mengemban penerimaan faidh dan hidayah Tuhan serta menyampaikannya kepada seluruh manusia. Dengan tenggelamnya mentari akhir ini maka kiamat pun datang dan hukum dunia berganti dengan hukum akhirat serta wajah akhirat menampak dan tinggal serta tetap untuk selamanya.[2]

Para wali Tuhan yang menempati maqam wilayat, mereka itu adalah pengganti dan penyambung mentari cahaya kenabian kepada seluruh alam dan manusia. Mereka adalah pengungkap rahasia-rahasia Ilahi yang ditutup dan ditinggal para Nabi dan Rasul Tuhan, sebab para nabi dan rasul ditugaskan untuk menjelaskan syariat Tuhan dan membimbing manusia pada keimanan, ibadah, dan amal saleh. Oleh karena itu, apa yang tidak sempat mereka ungkapkan akan diungkap oleh washi dan wali-walinya. Para Ausiya dan Auliya Tuhanlah yang membukakan rahasia-rahasia yang ditinggalkan tertutup oleh para nabi dan rasul. Banyak dari rahasia-rahasia kesturi hakikat dibiarkan tidak terjamah  oleh jari-jari para nabi dan rasul, namun dibuka dan disiarkan oleh para wasi dan walinya.

Makna Walayat
Walayat (dengan fatha huruf wau), dalam bahasa bermakna kedekatan dan pertolongan  serta dengan kasrah huruf wau (wilayat) bermakna kepemimpinan. Kedua lafazh ini (walayat dan wilayat) merupakan masdar dari lafazh waliy, seperti kata dalalat dan dilalat. Walayat juga bermakna rububiah, dan karena makna ini Tuhan berfirman: “Di sana, walayat itu hanya dari Allah Yang Mahabenar. Dialah (pemberi) pahala terbaik dan (pemberi) balasan terbaik.”[3] 

Walayat juga bermakna mahabbah (kecintaan). Wilayat atau walayat, tegaknya hamba dengan Hak Swt dalam keadaan fana dari dirinya, dan wali adalah fana dalam Hak Swt serta langgeng dengan Hak Swt. Oleh karena itu, wali mutlak adalah hamba yang mentarbiyah (seseorang) fana hingga sampai kepada akhir maqam qurb. Wilayat dikatakan juga kepemeliharaan Hak Swt, dimana Tuhan menjaga sang hamba dari segala sesuatu yang bertentangan dengan qurb, dimana ayat: “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah dan rasul-Nya”[4] mengisyaratkan tentang makna ini.[5]

Sebagian urafa memandang bahwa substansi awal ciptaan adalah ruh Nabi Mulia Saw. Mereka berpandangan tentang keberadaan dua sisi dari ruh tersebut. Satu sisi dari itu mereka sebut wilayat, dimana ia menerima emanasi Hak Swt dan satu sisinya lagi mereka sebut nubuwwat (kenabian) yang menyampaikan emanasi kepada seluruh manusia yang didapatkannya dari Hak Swt.[6]  Oleh karena itu, perjalanan kesempurnaan secara busur naik menjadikan wilayat adalah batin daripada nubuwwat, sedangkan pengembanan misi dan rahasia-rahasia Ilahiah menjadikan wilayat merupakan kelanjutan daripada batin kenabian.

Hakikat Walayat
Sebagaimana telah diisyaratkan, walayat ditinjau secara bahasa mempunyai makna pertolongan, kedekatan, dan kecintaan. Kata wali, wilayat, maula, auliya, dan sejenisnya yang semuanya dari derivasi maddah waly (huruf wau,lam,ya) merupakan kata-kata yang sangat banyak digunakan dalam al-Qur’an. Kata-kata tersebut dalam bentuk kata benda, kata kerja, tunggal, dan jamak disebutkan dalam al-Qur’an dalam jumlah 233 kali. Banyaknya penggunaan kata ini beserta derivasinya dalam al-Qur’an menunjukkan tingkat keurgenan masalah yang berhubungan dengannya.

Dalam istilah ahli irfan, walayat digunakan berhubungan dengan kedekatan kepada Allah Swt. Yakni berkenan kecintaan atau mahabbah yang termanifestasi dalam bentuk hubungan antara muhibb (pencinta) dan mahbub (yang dicintai) atau murid dan murad. Ketika hamba fana dari dirinya dan menemukan  kebaqaan pada Hak Swt maka sang hamba telah mendapatkan wilayat. Hal itu terjadi ketika Hak Swt mengambil alih perkaranya sampai Dia menyampaikannya kepada maqam qurb dan tamkin.[7] Adapun makna sempurna walayat mendapatkan realitasnya ketika hamba di samping fana dalam Tuhan, akhlaknya juga berganti dengan akhlak Ilahi dan dengan akhlak Allah dia berakhlak serta dengan sifat-sifat Allah dia merealitas; sedemikian rupa hingga ilmunya, kuasanya, kehendaknya, dan perbuatannya semuanya adalah ilmu, kuasa, kehendak, dan perbuatan Ilahi. Hamba ini merupakan misdak dari hadits: “Sang hamba senantiasa mendekat kepada-Ku dengan nawâfil  (ibadah-ibadah sunnat) sehingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya, penglihatannya, lisannya, tangannya, dan kakinya. Dan dengan-Ku dia mendengar, melihat, berbicara, dan berupaya.”  Kedekatan ini yang merupakan hasil melaksanakan nawâfil masyhur dengan sebutan qurb nawâfil dan dia membawa pesalik hingga maqam kecintaan. Dan karena dia sampai pada maqam ini maka pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, dan kakinya semuanya menjadi realitas manifestasi Hak Swt.

Adapun walayat secara pendekatan ontologis adalah suatu hakikat universal yang mempunyai kekhususan-kekhususan demikian ini:
1. Suatu dimensi dari dimensi-dimensi Dzati Hak Swt;
2. Sumber penampakan dan sumber determinasi (penentuan);
3. Tersifati dengan sifat Dzati Ilahi;
4. Sebab bertajallinya hakikat-hakikat ciptaan;
5. Sebab penentuan nama-nama Ilahi dalam hadhrat Ilmiyyah.

Hakikat walayat seperti hakikat wujud, dia bertajalli pada seluruh hakikat dan dia mengalir dalam seluruh hakikat dari wajib, mumkin, non-materi, dan materi.[8]

Walayat dari sudut pandang lain bermakna berbuat dalam ciptaan secara Hak Swt menurut tinjauan batin dan ilham –bukan wahyu- sesuai dengan perintah Tuhan.[9] Pengertian ini berhubungan dengan dimensi aplikatif walayat di antara makhluk dan ciptaan. Para wali Tuhan yang fana dari dirinya dan langgeng bersama Hak Swt, dia berbuat di tengah-tengah ciptaan secara Hak Swt, bukan atas dasar dirinya.

Hal yang sangat penting juga diketahui  dalam masalah walayat dalam irfan, keberadaannya yang bergradasi (bertingkat-tingkat). Hukum walayat yang tertinggi derajatnya, ketika mengalami busur turun dan tingkatannya semakin dekat kepada ‘adam (ketiadaan) maka walayatpun semakin ternegasikan. Karena itu berdasarkan kaidah ini, orang-orang kafir tidak dipredikasikan sebagai berwali pada Hak Swt, baik secara pendekatan walayat umum, apa lagi walayat khusus.

Batas minimal perhitungan walayat, keimanan pada Tuhan, dan semakin kuat keimanan pada Tuhan, walayat juga semakin kuat, hingga mendapatkan kenaikan sampai alam quds, dan secara tahap demi tahap memasuki tingkatan quds jabarut sampai pada maqam ruh a’zham yang merupakan maqam Hadhrat Isa as yang menjadi akhir dari walayat umum. Dari puncak walayat umum ini, ketika walayat mendapatkan derajat semakin tinggi dan sang pesalik melewati berbagai tingkatan-tingkatan sehingga terbebas dari segala syirik khafi (syirik tersembunyi), serta meraih fath mubin, maka dia mendapatkan tingkatan-tingkatan walayat khusus dan bergerak dalam tingkatan-tingkatan lahut hingga dia melewati semua Asma Ilahi serta berakhir pada tingkatan seluruh Asma Ilahi, dalam tingkatan ini ia menjadi marja seluruh wali-wali. Ketika walayat mendapatkan kesempurnaan yang sangat sempurna maka terjelmalah kenabian mutlak, dan pemilik kenabian ini adalah “Khatam Anbiya Saw”. Adapun ketika mengalami pengurangan penampakan kesempurnaan tersebut maka sifat walayat lebih dominan atas sifat kenabian dan kenabian tasyri’i semakin tersembunyi, akan tetapi kenabian ta’rifi, yakni walayat tetap akan tinggal dan langgeng.[10] Oleh karena itu, kenabian bisa saja terputus dan berakhir, akan tetapi walayat tidak pernah akan terputus, sebab walayat Ilahi senantiasa memanifestasi dan bertajalli.

Catatan Kaki:
[1] . Jalaluddin Asytiyani, Mukaddimah Misbahul Hidayah Ilal Khilafah Wal Wilayah, Hal. 10.
[2] . Sayyid Haidar Amuli, Almukaddimah Min Kitabi Nushush An-Nushush, Hal. 157.
[3] . QS. Al-Kahfi: 44.
[4] . QS. Al-Maidah: 55.
[5] . Gul Baba Saidi, Farhangge Istilâhât-e Irfani Ibnu Arabi, Hal.972.
[6] . Abdusshamad, Bahrul Ma’arif, jld. 2, Hal. 401.
[7] . Abdurrazak Kasyani, Istilâhât as-Shufiyyah, Hal. 33.
[8] . Sayyid Jalaluddin Asytiyani, Syarah Muqaddimah-e Qaishari, Hal. 865-866.
[9] . Sayyid Haidar Amuli, Al-Muqaddimaat min Kitabi Nassi An-Nusuus, Hal. 168.
[10] . Qaishari, Rasail Qaishari, hal 71.