Mengenal Epistemologi (1)

Tulisan yang ada di hadapan pembaca adalah saduran (dengan beberapa tambahan dan pengurangan) dari kitab “Dialog Epistemologi.”[1] Pada hakikatnya, kitab ini merupakan transkrip dialog antara empat pemikir Iran: Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ayatullah Ghulam Reza Fayyazi, Dr. Muhammad Legenhausen dan Dr. Musthafa Malikiyân. Kitab asli (sebelum penerjemahan) bermuatan ilmiah dan mencakup banyak istilah yang terbilang sulit. Karena itu, metode penulisan yang dipilih dalam tulisan ini adalah terjemah bebas agar sesuai dengan ‘rasa bahasa’ Indonesia. Di samping itu, untuk meringankan beban bacaan, karya ini akan dimuat dalam beberapa rangkaian pembahasan.

Sekaitan dengan muatan, ranting pembahasan yang akan ditelaah pada tulisan ini terdiri dari beberapa judul besar: sejarah singkat epistemologi, urgensi epistemologi, ragam kajian epistemologi, teori definisi, definisi ilmu, telaah terhadap definisi ilmu, hakikat ilmu, pembagian definisi, subjek epistemologi, pembagian ilmu kepada hudhuri dan hushuli serta hukum ilmu hudhuri dan ilmu hushuli.

Adapun tujuan penulisan adalah memperluas, memetakan dan memperkenalkan wacana juga cakrawala Epistemologi yang berkembang dalam dialektika pemikiran filsafat, terkhusus Filsafat Islam. Harapannya, tulisan ini dapat memperluas cakrawala dan dialektika kelimuan di Indonesia dan menjadi bekal bagi para pegiat filsafat dan penempuh jalan kebijaksanaan.

Ranting Pertama: Mengapa Epistemologi?[2]

[Ayatullah Misbah Yazdi]

Mungkin pernah terbesit dalam benak kita: Apa itu epistemologi? Mengapa harus meluangkan waktu untuk membahas epistemologi? Apa yang salah dari pengetahuan kita? Bukankah ilmu adalah sesuatu yang aksiomatis? Mengapa mengaburkan sesuatu yang jelas? Apa gunanya pembahasan epistemologi?

Pada ranting pertama ini, titik berat pembahasan –kurang lebih– adalah jawaban dari rantai pertanyaan di atas dan berbagai pertanyaan lainnya yang serupa dengan hal itu. Oleh karena itu, intinya, kajian ini akan kita mulai dengan memahami kedudukan Epistemologi dan urgensi membahas, bahkan mendalami Epistemologi.

***

Hari ini, di antara cabang kajian Filsafat yang memiliki karakterisitik khusus dan dipredikatkan sebagai induk berbagai persoalan filosofis adalah Epistemologi. Pada masa lalu, terlepas dari faktor-faktor yang ada, masalah Epistemologi tidak banyak mendapat perhatian khusus dan independen dari para Filsuf.

Akan tetapi, munculnya kesadaran bahwa semua pembahasan ilmiah (bukan hanya Filsafat) memiliki ketergantungan logis terhadap telaah Epistemologi, maka secara serius Epistemologi menempati deretan ‘prioritas’ dalam wacana ilmiah, bahkan Agama. Artinya, jika pondasi Epistemologi rapuh, maka kerapuhan ini adalah kerapuhan seluruh ilmu, temasuk Agama.

Oleh karena itu, untuk mencapai pengetahuan dan keyakinan yang kokoh, maka perlu untuk mengkaji pembahasan ini secara serius. Namun, hal ini tidak bermakna bahwa Epistemologi pada dirinya tidak memiliki manfaat. Pada zatnya, di luar dari kaitannya dengan keyakinan beragama, kajian Epistemologi dengan segala atribut dan karakteristiknya tentu memiliki urgensi tersendiri.

Berangkat dari sana, salah satu cara efektif untuk memiliki gambaran umum terkait kedudukan dan urgensi Epistemologi adalah dengan menyinggung terlebih dahulu sejarah kajian dan makna dari Epistemologi itu sendiri.

Sejarah Singkat dan Definisi

[Dr. Legenhausen]

Pembahasan epistemologis adalah salah satu pembahasan klasik dalam Filsafat; bersamaan dengan berbagai pembahasan lainnya, seperti Logika, Filsafat Moral, Filsafat Politik, Filsafat Alam dan Metafisika. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang berbagai keadaan dan bentuk pengetahuan. Secara etimologis, ia berakar pada kata episteme dalam bahasan Yunani. Karena itu, untuk memahami pangkal pembahasan dengan baik, maka kita harus jeli dalam memahami kata kunci “episteme.”

Kata episteme diterjemahkan sebagai knowledge dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa Arab diterjemahkan dalam kata علم (‘ilm). Meski begitu, perlu diperhatikan bahwa sejatinya dua kata ini memiliki perbedaan spesifik dengan kata episteme. Misalnya, apa yang disebut knowledge dalam bahasa Inggris sangat berbeda dengan apa yang dimaksud episteme.

Dalam bahasa Inggris, knowledge bermakna pengetahuan secara umum. Ketika seseorang mengatakan “bunga hias itu di atas meja,” dalam bahasa Inggris dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki knowledge. Namun, sesuatu yang umum seperti ini tidak disebut sebagai episteme dalam bahasa Yunani.

Dalam bahasa Yunani, sesuatu disebut episteme bilamana ia mengandung muatan filosofis, seperti proposisi “di alam semesta, segala sesuatu tercipta dari air” atau “cara ini adalah cara terbaik untuk hidup.” Oleh karena itu, dalam sejarah pemikiran Yunani, tidak semua ilmu dapat dikategorikan sebagai episteme.

Pemicu Epistemologi

Perbedaan pandangan di antara para filsuf pra-Sokrates tentang asal muasal alam semesta mengakibatkan berbagai respon dan reaksi. Salah satu ‘sahutan’ atau reaksi tersebut muncul dari Phyrrho of Elis. Melihat banyaknya perbedaan pandangan antara para filsuf terkait asal-mula pembentuk alam semesta, maka Phyrrho yang merupakan seorang skeptis ‘menyarankan’ bahwa lebih baik kita berpaham “aku tidak tahu” (baca: Agnostistik).

Sebagai contoh lainnya, sebelum Phyrrho, para sophis menunjukkan respon yang agak berbeda. Protaogras sebagai salah satu tokoh para sophis pernah berkata, bahwa aneka ragam pengetahuan yang kita miliki bergantung pada pola berpikir kita. Berangkat dari titik ini, bersamaan dengan berbagai pernyataan para skeptis dan sophis, maka pembahasan terkait hakikat ilmu pun dimulai. Pada hakikatnya, penjelasan-penjelasan Sokrates terkait ilmu pun adalah protes dan perlawanan terhadap arus pemikiran skeptis yang dominan pada masa tersebut.

Jejak Makna: Pengetahuan Hakiki

1.    Sokrates dan Plato

Ketika Sokrates berhadap-hadapan dengan para penyair, ilmuan, politikus dan sophis, sembari menyatakan ketidak-tahuannya, ia bertanya pada mereka, “kalian yang mengklaim pengetahuan dan mengklaim diri sebagai sang pakar, apa definisi kalian terkait tanggungjawab dari klaim tersebut?” Berdasarkan pandangan Sokrates, seseorang yang mengklaim pengetahuan, seharusnya mampu memberi definisi terkait tanggungjawab dari apa yang diklaimnya. Sebagai contoh, seorang yang mengklaim dirinya sebagai politikus, maka ia harus memahami definisi dari keadilan yang merupakan tanggungjawab dari politik.

Berangkat dari sini, dalam pandangan Sokrates dan Plato, kata episteme sangat bergantung pada kemampuan untuk memberi definisi terhadap persoalan universal. Jadi, seseorang dikatakan memiliki episteme ketika ia mampu memberi definisi terkait suatu subjek pembahasan. Lebih dari itu, bahkan seorang yang mengklaim suatu episteme, harus mampu menjabarkan tujuan dari subjek yang ia tekuni.

Di sisi lain, merujuk pada pemikiran Plato, episteme dalam pengertian ini sangat memiliki kedekatan makna dengan kata tekhnē dalam bahasa Yunani. Layak disebutkan, bahwa kata technology yang biasa digunakan di belahan dunia Barat juga berakar dari kata tekhnē. Kendati demikian, kata tekhnē dalam bahasa Yunani bermakna suatu bentuk pemahaman khusus.

Hari ini kita memaknai teknologi terbatas sebagai ilmu yang bisa memproduksi benda, namun pada masa Yunani Klasik, seseorang dapat dikatakan memiliki tekhnē ketika ia memiliki penguasaan penuh dalam suatu bidang. Sebagai contoh, kepada seorang yang sangat mahir dalam menunggang kuda, mereka mengatakan bahwa orang tersebut memiliki tekhnē di bidang ini.

Berangkat dari sana, kemudian Sokrates dan Plato menyatakan bahwa episteme berlawanan makna dengan kata doxa. Dalam bahasa Inggris, doxa disepadankan dengan kata belief (keyakinan), padahal akan lebih tepat bila ia disepadankan dengan kata opinion atau ظن dalam bahasa Arab yang bermakna anggapan.

Bersandar pada penjelasan ini, maka terdapat perbedaan mencolok antara episteme dan doxa. Agar pengetahuan termasuk dalam kategori episteme, maka seseorang harus memiliki penguasaan penuh dalam bidang tertentu. Singkatnya, titik persamaan dalam kacamata Sokrates dan Plato, seseorang dapat dikatakan sebagai pemilik episteme bilamana ia mampu mendefinisikan sesuatu secara rinci hingga definisi tersebut tidak memiliki  sedikitpun kekurangan dan kecacatan.

Kendati demikian, Plato memiliki pandangan khusus terkait pengetahuan hakiki. Ia meyakini bahwa syarat pengetahuan hakiki (episteme) haruslah universal dan tidak memiliki kemungkinan salah. Selain itu, seorang yang benar-benar memiliki pengetahuan tidak bisa sekedar tahu, melainkan harus memiliki argumentasi mengapa ia tahu. Oleh karenanya, dalam pemikiran Plato, episteme adalah sesuatu yang universal, namun terpisah dari mental. Jadi, Secara ontologis, hakikat yang universal bukanlah konsep, melainkan alam tersendiri yang disebut sebagai alam ide. Dari sini, maka setiap konsep universal hakiki ‘harus’ memliki kesusuaian atau korespondesi dengan realitas di alam ide.

2.    Aristoteles

Namun di tangan Aristoteles, fokus pembahasan agak bergeser. Dalam hal definisi, Aristoteles menawarkan mertode demonstrasi atau burhan. Ia menyatakan bahwa cara terpenting untuk membuktikan apakah seseorang benar-benar memiliki episteme di bidang tertentu atau tidak adalah melihat kemampuannya untuk men-demonstrasi-kan pengetahuan tersebut. Dalam hal ini, Aristoteles meyakini, metode burhan lah yang dapat menunjukkan hakikat apakah seseorang benar-benar mengetahui definisi dari apa yang diklaimnya atau tidak; dan apakah seseorang dapat menggunakan definisi tersebut untuk menemukan jawaban dari berbagai persoalan.

Terlepas dari pentingnya kedudukan definisi sebagai tolok ukur episteme, –berbeda dengan pandangan Plato– Aristoteles memberi perhatian lebih pada pengetahuan indrawi. Bagi Aristoteles, sesuatu yang universal bukanlah sesuatu yang berada di alam ide, melainkan sesuatu yang hanya berada di alam mental. Kemudian, berpijak pada konsep universal yang diabstraksi oleh akal, manusia dapat membagi konsep tersebut ke dalam beberapa kategori.

[bersambung].

 CATATAN :

[1] Judul Asli bahasa Perisa: Ham Andisyi-ye Ma’rifat Syenosyi. Qom: Muasseseh-ye Amuzesyi va Pazyuhesyi-ye Imam Khomeini, 1395 HS.

[2] Bagian pertama adalah saduran kitab asli dari halaman 29-36.