Renungan Bulan Suci

Sebagaimana yang diketahui, Allah Swt. menjadikan beberapa waktu dan tempat tertentu lebih mulia dibanding waktu dan tempat lainnya. Misalnya, kita memiliki laylatul qadr, masjidil haram, makam-makam manusia suci, dll; yang kesemua waktu dan tempat tersebut secara ‘manshush’ (baca: ketetapan ayat dan riwayat) adalah waktu dan tempat yang ‘sengaja’ dimuliakan oleh Allah.
Mungkin, salah satu filosofi adanya waktu dan tempat istimewa tersebut adalah untuk menyediakan perceptaan, kesempatan dan kemudahan bagi hamba-Nya untuk menuju penyempurnaan. Dengan adanya hal-hal suci tersebut, kita yang selama ini telah hanyut dalam nafsu dan tenggelam dalam kelalaian dapat kembali berbenah dan menyadari kekuasaan juga keluasan rahmat-Nya. Oleh karena itu, seharusnya kita punya alasan yang “lebih dari cukup” untuk memanfaatkan bulan-bulan mulia ini dengan sangat baik. Pasalnya, pada bulan ini Allah Swt. telah menyiapkan atmosfir dan kondisi khusus agar kita lebih dekat kepada-Nya.
Bukankah kita selalu rindu ingin dekat dengan-Nya? Mengapa ketika Dia jelas-jelas mendeklarasikan ‘kerinduan-Nya’ pada kita dengan menggelar jamuan panjang, tapi kita justru berpaling dari-Nya? Belumkah tiba saatnya untuk kembali bertekad kuat dan memperbaiki gerak yang selama ini kehilangan arah?
Dalam salah satu riwayat yang bermuatan ‘irfani (sufistik), disebutkan bahwa pada bulan suci ini Allah Swt. meletakkan malaikat khusus di langit ke tujuh yang tugasnya menggerakkan hati manusia untuk mengingat keesaan Allah Swt. (Lih. Iqbaal al-A’maal, jil. 2, hlm. 628).
Pertanyaannya, jika riwayat itu benar adanya, lantas hati saya yang tidak tergerak ini sudah separah apa? Mengapa saya tidak bisa merasakan ‘sentuhan’ malaikat tersebut? Mungkin memang benar, bahwa bertemu (liqa’) itu tidak sama dengan menyaksikan (syuhud). Dengan kata lain, ada yang bertemu, namun pada saat yang sama ia tidak dapat menyaksikan. Jadi, bertemu dan tidak menyaksikan bukanlah dua hal yang kondradiktif.
Dalam bahasa Al-Qur’an, ada ayat yang menjelaska bahwa semua manusia akan bertemu dengan Tuhan –yang dalam kajian ilmu keislaman disebut sebagai ‘liqa umumi’–, tapi pada saat yang sama dikatakan bahwa tidak semua manusia mendapat taufik untuk menyaksikan-Nya. Istilah Qur’an bagi mereka yang bertemu, namun tidak menyaksikan-Nya adalah “orang buta.”
Bisakah kita bayangkan, kita dihadirkan di tengah pemandangan indah, namun kita kehilangan mata untuk menyaksikan pemandangan indah tersebut? Adakah yang lebih menyiksa dari keterhijaban?
Saya duga keras, kenyataan ini tak jauh beda dengan kenyataan bulan-bulan suci. Mau tidak mau, sadar tidak sadar, memperhatikan atau mengabaikan, kita ini benar-benar sedang dipertemukan secara ‘takwini’ dan ‘hakiki’ dengan bulan-bulan suci tersebut. Sisanya, ada di ikhtiar kita. Kita bisa memilih untuk menyingkap hijab atau mempertebal hijab. Hujan rahmat-Nya telah turun dengan deras, mengapa wadah jiwa masih terus kita tengkurapkan?
Aneh memang, kita seringkali ingin berlari, namun kita tak sadar sedang mengikat kaki sendiri. Mari menyisihkan waktu untuk melerai kembali benang yang sudah sangat kusut.
Untuk kita yang sangat sibuk bekerja, mari menyisihkan waktu untuk sesekali keluar dari jeratan harta. Untuk kita yang sangat sibuk belajar, mari menyisihkan waktu untuk sesekali menutup mata dari lingkaran kata dan aksara.
Mumpung masih ada waktu. Lebih tepatnya, mumpung masih ada ikhtiar. Kita bukanlah seonggok daging dan tulang. Begitu juga, kita bukanlah sebatas rumus dan konsep. Kita adalah kita dengan kompleksitas dan kedalaman hakikatnya. Kita butuh pertolongan-Nya. Kita butuh ketenangan dan kebahagiaan batin.
Katakanlah, kita tersesat di padang pasir yang tak kelihatan ujungnya. Tiba-tiba, kita melihat kafilah yang memahami jalur keluar dari padang tersebut lewat di hadapan kita. Bukankah kita akan segera berlari untum bergabung dengan mereka? Bukankah aneh bila kita mengabaikan mereka?
Kafilah Rajab, Sya’ban dan Ramadhan sedang dan akan melewati kita, apakah kita lebih memilih untuk terus menetap di padang tanpa arah ini? Seperti halnya kendaraan yang mogok, kita butuh dorongan agar mobil mudah dihidupkan kembali.
Begitu juga dengan jiwa kita. Dengan alasan apapun, entah itu kelalaian, kebodohan, atau kesengajaan; jika selama ini jiwa kita rusak atau ‘mogok’ karena maksiat, Tuhan telah menjadikan tiga bulan suci ini sebagai jalan ‘turunan’ agar kita tidak perlu bersusah payah mendorong jiwa agar HIDUP kembali.
Kalau begitu, mengapa masih menginjak rem dalam-dalam? Kita sedang berada di jalan turunan. Kita hanya perlu melepas dan melesat. Semoga kita semua mendapatkan berkah dan taufik untuk memanfaatkan bulan-bulan suci ini.