Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kiat Memilih Istri dalam Islam

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam memilih isteri, Islam mengajarkan kepada kaum lelaki muslim untuk memperhatikan dua hal yaitu, pertama, silsilah keturunan calon isteri, dan kedua, lingkungan tempat ia hidup dan sejauh mana lingkungan ini berpengaruh pada kepribadiannya.

Rasulullah SAWW bersabda,

اختاروا لنطفكم فإنّ الخال أحد الضجيعين.

Artinya: Pandai-pandailah memilih calon isteri karena saudara isteri akan menurunkan sifat dan karakternya pada anak kalian.[1]

Di dalam hadis yang lain beliau bersabda,

تخيّروا لنطفكم فان العرق دسّاس

Artinya: Pilihlah dengan benar wanita yang akan mengandung anakmu karena unsur keturunan sangat berpengaruh pada anak.[2]

Rasulullah menganjurkan untuk memilih isteri dari keluarga yang memiliki sifat-sifat terpuji karena keluarga yang baik akan membentuk karakter yang baik pula pada diri wanita tersebut. Bila kita menengok ke lembaran sejarah kehidupan beliau akan kita temukan bahwa Rasulullah juga sangat memperhatikan hal tersebut.

Beliau mengawini Khadijah a.s., seorang wanita mulia yang di kemudian hari melahirkan anak yang merupakan penghulu wanita seluruh dunia yaitu Fatimah Zahra a.s. Sunnah Nabi ini diikuti oleh keluarga suci beliau. Ahlul Bait a.s. selalu memilih isteri dari keluarga yang baik dan terhormat.

Selain memilih istri yang berasal dari keluarga yang baik dan mulia, Islam juga menekankan untuk memilih isteri dari lingkungan sosial yang bersih karena lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada wanita tersebut. Sebaliknya, Islam melarang kaum lelaki untuk memilih isteri dari lingkungan yang tidak baik. Dalam hadis disebutkan, bahwa Rasul SAWW melarang untuk mempersunting wanita cantik yang hidup di lingkungan yang sesat. Beliau bersabda,

إيّاكم وخضراء الدمن .. المرأة الحسناء في منبت السوء

Artinya: Berhati-hatilah terhadap wanita cantik yang hidup di lingkungan yang tidak baik.[3]

Imam Ja’far Shadiq a.s. melarang lelaki muslim menikahi wanita pezina. Beliau berkata,

لا تتزوّجوا المرأة المستعلنة بالزنا

Artinya: Jangan sekalipun kalian menikahi wanita yang terang-terangan berzina.[4]

Dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib a.s. memperingatkan pria muslim untuk tidak menikahi wanita dungu karena dikhawatirkan anak yang ia lahirkan akan mewarisi kedunguannya. Selain itu, wanita dungu tidak akan mampu mendidik anak dengan baik dan benar. Beliau berkata,

إيّاكم و تزويج الحمقاء فان صحبتها بلاء وولدها ضياع

Artinya: Jangan sekalipun kalian mengawini wanita dungu karena bergaul dengan wanita seperti itu merupakan petaka bagi seseorang dan anak yang dilahirkan akan tidak berguna.[5]

Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa tolok ukur yang benar dalam memilih isteri adalah tingkat keimanan dan keloyalan wanita terhadap agamanya. Rasulullah dalam banyak hadisnya sangat menekankan masalah ini. Suatu hari seseorang datang menemui Rasulullah SAWW dan meminta nasehat dari beliau tentang perkawinan. Beliau menjawab,

عليك بذات الدين تربت يداك

Artinya: Pilihlah wanita yang loyal pada agamanya, niscaya engkau akan berbahagia.[6]

Imam Ja’far Shadiq a.s. memprioritaskan masalah agama di atas harta dan kecantikan wanita. Beliau mengatakan,

إذا تزوّج الرجل المرأة لجمالها أو مالها وكّل إلى ذلك و إذا تزوّجها لدينها رزقه الله الجمال والمال

Artinya: Jika seseorang mengawini seorang wanita karena kecantikan atau hartanya, ia akan mendapatkan apa yang ia cari itu. Tapi bila ia mengawininya karena agamanya, Allah pasti akan memberinya kecantikan dan harta.[7]

Wanita yang berasal dari keturunan yang baik dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang beriman akan menjadi wanita yang taat beragama. Wanita seperti inilah yang dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam.

Dengan demikian, program pendidikan anak yang diterapkan oleh kedua belah pihak, suami dan isteri, akan sama, tanpa perbedaan yang berarti. Wanita seperti ini akan memiliki rasa tanggung jawab untuk menjalankan program pendidikan yang sesuai dengan nilai Islam dan menganggapnya sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Mental yang demikian ini akan mencegahnya melakukan hal-hal yang dapat menghalangi kelancaran program pendidikan anak dan meninggalkan dampak negatif pada diri anak.

 

 

CATATAN :

[1] Al-Kafi 5:332

[2] Faidh Kasyani, Al-Mahajjah Al-Baidhla 3: 93

[3] Makarim Al-Akhlaq:304

[4] Ibid : 305

[5] Al-Kafi 5:354, hadis ke-1

[6] Ibid:332

[7] Ibid:333, hadis ke-3