Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kiat Memilih Suami dalam Islam

1 Pendapat 05.0 / 5
Dalam memilih calon suami, Islam juga mengajarkan untuk memperhatikan sisi keturunan dan lingkungan tempat ia tinggal. Si calon suami tersebut hendaknya juga memiliki sifat-sifat yang terpuji sebab ia kelak akan menjadi panutan anak-anaknya dan menurunkan semua sifat dan wataknya kepada mereka. Selain itu, isteri juga akan terpengaruh oleh sebagian sifat-sifatnya melalui pergaulan sehari-hari dengannya.
Oleh sebab itu, Rasulullah SAWW menganjurkan para wanita untuk memilih calon suami yang sepadan. Suami yang sepadan menurut Rasulullah SAWW adalah sebagai berikut.
الكفؤ أن يكون عفيفا وعنده يسار
Artinya: Lelaki yang sepadan adalah lelaki yang menjaga kehormatannya dan sedikit berkecukupan.[1]
Imam Ja’far Shadiq a.s. memperingatkan kaum wanita agar jangan memilih lelaki yang kesehatan jiwanya terganggu. Beliau berkata,
تزوّجوا في الشكاك ولا تزوّجوهم , لأن المرأة تأخذ من أدب زوجها و يقهرها على دينـه
Artinya: Kawinilah wanita yang peragu tetapi jangan kalian berikan wanita kalian pada lelaki yang peragu karena isteri selalu belajar dari perangai dan kebiasaan suami serta mengikutinya dalam beragama.[2]
Islam menjadikan ketaatan pada agama sebagai penilaian terpenting dalam memilih calon suami. Rasulullah SAWW bersabda,
إذا جاءكم من ترضون خلقه و دينه فزوّجوه
Artinya: Jika seorang lelaki yang kalian sukai perangai dan agamanya datang meminang, terimalah pinangannya itu![3]
Menurut Islam, seorang wanita muslimah tidak diperbolehkan untuk menikah dengan lelaki nonmuslim. Hikmah dari hukum ini adalah demi menjaga keselamatan anak-anak dan keluarga dari hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk yang menyangkut kepercayaan (agama) dan perilaku, sebab istri dan anak akan sangat terpengaruh oleh kepercayaan dan perilaku si ayah.
Islam juga melarang kita mengawinkan wanita anggota keluarga kita dengan seorang lelaki yang tidak taat beragama dan berperilaku tidak Islami demi menjaga wanita tersebut serta anak-anaknya kelak dari penyimpangan terhadap agama.
Imam Ja’far Shadiq a.s. mengatakan,
لا تتزوّجوا المرأة المستعلنة بالزنا ولا تزوّجوا الرجل المستعلن بالزنا إلاّ أن تعرفوا منهما التوبة
Artinya: Jangan kalian menikahi wanita yang terang-terangan berzina dan jangan kalian kawinkan wanita kalian dengan lelaki pezina kecuali jika kalian yakin bahwa mereka telah bertaubat.[4]
Imam Ja’far Shadiq a.s. juga melarang mengawinkan wanita anggota keluarga kita dengan seorang lelaki peminum arak. Beliau berkata,
من زوّج كريمته من شارب خمر فقد قطع رحمها
Artinya: Jika seseorang mengawinkan anak atau saudara perempuannya dengan peminum arak, berarti ia telah memutuskan tali persaudaraan dengannya.[5]
Orang yang berperilaku menyimpang akan memberikan dampak yang negatif pada perilaku anak-anaknya karena semua tindak-tanduknya akan terekam pada memori anak-anak dan dipraktekkan dalam tingkah-laku mereka. Selain itu, orang seperti ini tidak akan pernah mempedulikan pendidikan anak-anaknya. Dia juga akan membuat banyak masalah dengan isterinya dan hal itu akan menciptakan ketidakharmonisan dalam keluarga. Jika hal ini terjadi, rumah tangga yang semestinya menjadi tempat yang aman dan tenteram bagi perkembangan dan pendidikan anak-anak berubah menjadi tempat yang seram dan menegangkan.
Riwayat hidup Rasulullah SAWW dan Ahlul Bait a.s. memperlihatkan contoh teladan dalam memilih pasangan untuk anak-anak mereka. Rasulullah SAWW tidak memberikan anaknya yang bernama Fatimah kepada para sahabat-sahabat besarnya. Setiap datang lamaran dari salah seorang sahabat, jawaban yang selalu diberikannya adalah bahwa beliau menunggu ketentuan Allah.[6] Kemudian beliau mengawinkan putri kesayangannya itu dengan Ali bin Abi Thalib a.s. sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.[7]
Diriwayatkan, bahwa Dzalfa’, seorang wanita muslim yang terkenal karena kecantikan dan kebangsawanannya, dipuji oleh Rasulullah SAWW karena mau menikah dengan Juwaibir, lelaki muslim yang miskin dan tidak tampan tetapi taat beragama dan beriman tebal.[8]
 
 
 CATATAN :
 
[1] Alkafi 5:347, hadis ke-1
[2] Ibid:348, hadis ke-1
[3] Ibid:347, hadis ke-2
[4] Makarim Al-Akhlaq:305
[5] Wasail Al-Syi’ah 20: 79, Al-Kafi 5:347, hadis ke-1
6 Majma’ Al-Zawaid 9:206
7 Ibid:204, Al-Mu’jam Al-Kabir 22:408, Al-Shawaiq Al-