Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Filsafat Manusia; Melacak Peran Hakiki Manusia

1 Pendapat 05.0 / 5

Hewan & akal, Dua Substansi Manusia
Manusia adalah hewan yang berakal, begitu para filosof memaknai manusia. Dalam istilah logika, hewan adalah genus manusia yang juga dimiliki oleh hewan-hewan lain selain manusia, dan akal adalah diferensia manusia yang membedakan manusia dengan hewan-hewan lainnya. Oleh sebab itu, hewan dan akal adalah hakikat (substansi) manusia yang tidak akan terpisah dari manusia. Hal ini disebabkan sesuatu tidak akan pernah terpisah dari substansinya. Substansi berbeda dengan aksiden-aksiden yang bisa saja terpisah dari sesuatu. Misalnya, dalam filsafat dibuktikan bahwa gerak dan pluralitas adalah substansi alam materi. Kita tidak akan menemukan alam materi yang tanpa gerak dan pluralitas. Dengan kata lain, tanpa gerak dan pluralitas, alam materi bukan lagi alam materi. Karena itulah kita katakan, mengingkari gerak dan pluralitas di alam materi berarti mengingkari alam materi. Pada gilirannya, mengingkari alam materi berarti mengingkari ciptaan, mengingkari ciptaan berarti mengingkari Pencipta, mengingkari Pencipta berarti mengingkari Tuhan, dan mengingkari Tuhan berarti kafir. Jadi, mengingkari gerak dan pluralitas alam materi berarti kafir.


Contoh yang lebih sederhana sekaitan dengan substansi dan aksiden yaitu panas pada api, basah pada air, manis pada gula, putih pada warna putih atau ada pada ada (wujud). Dengan kata lain, jika segala sesuatu panas karena api, maka api itu sendiri sudah pasti panas; jika segala sesuatu basah karena air, maka air itu sendiri niscaya basah; jika segala sesuatu menjadi putih karena warna putih, maka warna putih itu sendiri niscaya putih. Pun juga dengan wujud, jika segala sesuatu ada karena ada, maka ada itu sendiri sudah tentu ada. Akan tetapi, jelas berbeda antara panasnya besi dengan panasnya api, antara basahnya baju dengan basahnya air, antara putihnya tembok dengan putihnya warna putih, dan antara adanya manusia dengan adanya ada. Panasnya besi dikarenakan oleh sesuatu yang lain selain besi, yaitu api (bil-ghoir). Sedang panasnya api disebabkan oleh dirinya sendiri (bidz-dzat). Dengan kata lain, panas adalah aksiden besi yang bisa saja terpisah dari besi. Karena itulah kita bisa menemukan besi tanpa disertai dengan panas. Lain halnya dengan panas yang merupakan substansi api dan tidak akan pernah terpisah dari api. Sehingga, musthahil kita menemukan api tanpa disertai dengan panas. Begitupula dengan basah pada air, putih pada warna putih dan ada pada ada. Semua ini menjelaskan pada kita bahwa sesuatu tidak akan terpisah dari substansinya lantaran melazimkan sesuatu itu adalah dirinya sekaligus bukan dirinya. Sebuah kontradiksi yang jelas mustahil.


Dari uraian di atas, dengan menerima fakta bahwa ‘hewan’ dan ‘akal’ adalah substansi manusia, maka keduanya tidak akan terpisah dari manusia. Sehingga, mustahil terdapat manusia yang bukan hewan dan tanpa akal. Setiap manusia adalah hewan yang memiliki akal. Atas dasar ini, apapun yang ada pada hewan, seperti benda, tumbuh, persepsi inderawi dan bergerak atas dasar kehendak, terdapat juga pada manusia. Akan tetapi, aktualisasi dari semua unsur ke-hewan-an tersebut belum cukup untuk mengaktualkan ke-manusia-an manusia. Disamping unsur ke-hewan-an, manusia juga mesti mengaktualkan unsur rasionalitasnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Aktualisasi rasionalitas yang ditandai dengan hadirnya pengetahuan yang objektif tentang realitas seluruhnya. Itulah mengapa Tuhan senantiasa menyeru pada manusia untuk senantiasa berfikir, bertafakkur, bertadabbur dan semacamnya. Semua itu adalah stimulus dari Tuhan agar manusia senantiasa berupaya menjadi manusia aktual, bukan sekedar manusia potensi dan hewan aktual.


Peran Ganda Manusia
Berbekal uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa manusia adalah entitas yang memiliki peran ganda; peran manusia sebagai hewan, dan peran manusia sebagai manusia (jiwa insani). Peran manusia sebagai hewan adalah peran-peran yang berkaitan dengan fisik (jism), pertumbuhan (namin), persepsi inderawi (hassas) dan gerak iktiyari (mutaharrik bil- irodah). Sedang menyingkap realitas sebagaimana realitas adanya adalah peran manusia sebagai jiwa yang (berpotensi untuk) mengetahui (nafs an-nathiqoh).


Amat disayangkan jika kebanyakan kita begitu sibuk memperindah fisik, pertumbuhan, persepsi inderawi dan gerak kita, namun kita lalai untuk memperindah jiwa kita dengan pengetahuan-pengetahuan objektif akan realitas. Dari sini, betapa indah seruan DR. Syari’ati yang mengatakan: perindahlah pandanganmu di saat orang –orang sibuk memperindah matanya. Hal ini jelas, dikarenakan mata yang indah mengundang bahaya datang padamu, sedang pandangan yang indah menjauhkan bahaya darimu; mata yang indah  hanya menyimak apa yang nampak, sedang pandangan yang indah akan melihat apa yang menampakkan yang nampak; mata yang indah hanya memperindah dimensi ke-hewan-nanmu, sedang pandangan yang indah akan memperindah substansi ke-manusia-anmu.


Amat disayangkan jika agenda kita sebagai hewan jauh lebih banyak ketimbang agenda kita sebagai manusia. Bagiku, tidak ada agenda yang membuatku merasa sebagai manusia selain agenda pencerahan; baik itu mencerahkan diri, maupun mencerahkan orang lain. Baik menghadirkan pengetahuan dalam diri, maupun menghadirkan pengetahuan dalam diri orang lain. Seperti kata Syari’ati, jika engkau tak mampu terbang ke atas, setidaknya jadilah seperti apel yang jatuhnya ke bawah dapat mengangkat orang lain ke atas.


Lebih jauh dari ini, jika kita komparasikan manusia dengan hewan lain, misalnya ayam, kita akan menemukan dimensi persamaan dan dimensi perbedaan antara keduanya. Yakni, ada hal-hal yang dimiliki oleh manusia, dan dimiliki juga oleh ayam. Selain itu, terdapat juga hal-hal yang dimiliki oleh manusia yang tidak dimiliki oleh ayam. Pun sebaliknya, ada hal-hal yang hanya dimiliki oleh ayam, tanpa dimiliki oleh manusia. Makan, minum, tidur, kawin, tumbuh, mempersepsi secara inderawi dan bergerak atas dasar kehendak adalah hal-hal yang dimiliki oleh ayam dan manusia.  Adapun berkokok adalah hal yang dimiliki oleh ayam dan tidak dimiliki oleh manusia, dan akal adalah hal yang khusus dimiliki oleh manusia tanpa dimiliki oleh ayam.


Perbedaan antara ayam dan manusia dari hal-hal khusus yang dimiliki oleh keduanya adalah, aktualitas ayam ditandai dengan ke-berkokok-annya, namun aktualitas manusia tidak dilihat dari keber-akal-annya. Dengan kata lain, ayam dapat dikatakan sebagai ayam aktual manakala ia telah berkokok, sedang manusia belum dikatakan manusia aktual hanya karena ia berakal. Umtuk menjadi aktual, manusia mesti berupaya tuk mengaktualkan akalnya dengan menyingkap realitas sebagaimana realitas adanya. Atas dasar ini, hal apa yang layak dibanggakan _sebagai hal yang khusus dimiliki oleh manusia_ oleh mereka yang belum mengaktual akalnya? Tanpa aktualitas akal, apapun yang dimiliki oleh manusia seperti makan-minum dan sebagainya, dimiliki juga oleh ayam. Tanpa aktualitas akal, manusia tidak memiliki hal yang tidak dimiliki oleh ayam. Sedang disisi lain, ayam memiliki hal yang tidak dimiliki oleh manusia, yaitu berkokok. Pada kondisi ini, ayam patut berbangga pada manusia yang tidak mengaktual akalnya lantaran ia memiliki hal yang tidak dimiliki oleh manusia tersebut, namun manusia itu tidak memiliki hal yang tidak dimiliki oleh ayam. Saat itu, berlakulah apa yang dikatakan Tuhan bahwa manusia akan terjatuh serendah-rendahnya, bahkan lebih rendah dari binatang ternak.


“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) meraka tidak melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) mereka mendengar. Mereka itu samahalnya dengan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al-‘arof: 179)


“sesungguhnya Kami benar-benar telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-bainya. Kemudian kami lemparkan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”. (At-tin; 4-5)