Kisah-Kisah Tentang Anak Bagian 3

Shahib bin ‘Abad Belajar Kedermawanan Dari Ibunya

Shahib bin ‘Abad di masa kanak-kanak, setiap hari ibunya memberikan uang satu dinar dan satu dirham untuknya setiap kali pergi ke masjid untuk belajar membaca al-Quran. Ibunya berkata, berikan uang ini kepada orang miskin yang paling awal engkau lihat. Shahib pun menjalankan perintah ini, sampai ketika dia tumbuh besar dan balig. Setiap malam dia berkata kepada pembantunya agar tidak lupa, “Letakkan yang satu dinar dan satu dirham ini di bawa karpet.”

Hal ini berjalan dengan baik, sampai ketika suatu malam pembantunya lupa meletakkan dinar dan dirham di tempat biasanya. Seperti biasa, setelah melakukan salat subuh, dia menyingkap karpetnya, tapi kali ini dia tidak melihat uang di bawahnya. Dia menilai ini sebagai kesialan dan mentakbirnya sebagai kedekatan kematiannya. Kemudian berkata kepada para pembantunya, “Ambil segala karpet dan alas duduk yang ada di sini dan berikan kepada orang miskin yang paling awal kalian lihat. Supaya menjadi tebusan keterlambatan dalam memberikan dinar dan dirham.”

Para pembantu melihat seorang lelaki Hasyimi tuna  netra yang sedang dituntun oleh seorang wanita. kepadanya mereka berkata, “Terimalah ini!”

Lelaki itu bertanya, “Apa ini?”

Mereka mengatakan, “Karpet sutera dan bantal sandaran sutera.”

Mendengar ucapan itu, lelaki ini pingsan. Shahib dikabari tentang kejadian ini. Shahib mendatangi lelaki ini dan memercikkan air ke wajahnya. Begitu dia sadar dan siuman, ditanya tentang sebab perubahan kondisinya. Lelaki ini berkata, “Bila kalian tidak menerima ucapanku maka bertanyalah kepada wanita ini.”

Dikatakan kepadanya, “Kau ceritakan sendiri.” Lelaki buta ini berkata, “Aku adalah seorang lelaki yang punya harga diri. Aku juga punya anak dari wanita ini, dan ada peminang yang datang meminangnya. Akupun menerima lamarannya. Selama dua tahun lebihnya uang belanja aku kumpulkan untuk membeli jahiziyeh [perabot rumah tangga bawaan pengantin perempuan]. Tadi malam ibunya berkata, “Aku ingin membeli karpet sutera dan bantal sandaran sutera untuk anak kita.” Aku berkata kepadanya, “Dari mana kita harus menyiapkan barang seperti ini?” Akhirnya aku dengan dia ribut bertengkar dan aku minta kepadanya agar menuntunku keluar dari rumah, barang kali ada jalan keluar. Karena orang-orang lelaki ini berkata kepadaku demikian, lantas aku jatuh pingsan.”

Setelah mendengar kejadian ini Shahib bin ‘Abad berkata, “Selain karpet dan bantal sandaran sutera tentu ada barang-barang lain yang lebih layak.”

Kemudian dia membeli jahiziyeh yang sesuai dengan karpet itu dan menyerahkannya kepada ayah anak perempuan ini dan memanggil suami anak perempuan itu dan memberikan hadiah yang bernilai untuknya.

Penyusun kisah ini berkata, “Ini adalah hasil perbuatan baik yang diajarkan ibunya kepadanya.” Raudhatul Jannat, jilid 2, hal 23)

Nasihat Luqman Kepada Anaknya

Luqman berkata kepada anaknya dalam sebuah pesannya: Jangan berharap bisa menyenangkan semua orang, juga mendapat pujian atau pendustaan dari masyarakat. Karena hal ini tidak mungkin terjadi.

Sang anak berkata, “Saya ingin mendengar dari Anda, contoh terkait masalah ini baik pekerjaan atau ucapan.”

Luqman berkata, “Aku dan kamu, mari bersama-sama keluar dari rumah.”

Keduanya keluar sambil membawa binatang tunggangan. Luqman naik menunggangi binatang itu dan anaknya berjalan kaki membarenginya. Sampai keduanya bertemu dengan sejumlah orang. Begitu mereka melihat dua orang ini, mereka berkata, “Aneh! Lelaki tua tidak punya kasih sayang. Padahal dia mampu berjalan, tapi anaknya malah yang berjalan. ini adalah cara dan akhlak yang buruk!

Luqman berkata kepada anaknya, “Engkau mendengar? Anaknya berkata, “Iya.” Luqman berkata, “Sekarang engkau yang menunggangi dan aku yang berjalan.”

Pada saat itu mereka bertemu dengan sekelompok masyarakat. Mereka mengatakan, “Betapa buruknya orang ini sebagai bapak dan betapa buruknya dia sebagai anak lelaki! Adapun keburukan ayah ini adalah karena dia tidak mendidik tatakrama kepada anaknya. Ketika ada ayahnya, dia sebenarnya tidak boleh menunggang. Sementara keburukan anak lelaki adalah karena dia telah menghina ayahnya dengan perbuatannya ini.

Luqman berkata, “Putraku? Engkau mendengarnya? Sekarang ayo kita sama-sama menunggangi. Lalu keduanya menunggangi binatang itu dan melewati beberapa orang masyarakat. Masyarakat mengatakan, “Di dalam hati dua orang ini tidak ada rasa kasih sayang sama sekali. Dua orang menunggangi binatang dan punggungnya hampir patah. Bagaimana mereka ini membuat susah binatang? Tidakkah sebaiknya keduanya ini bergantian menunggangi?”

Luqman berkata, “Putraku! Engkau mendengarnya? Anaknya menjawab, iya. Luqman berkata, “Sekarang ayo kita berdua berjalan saja.

Kemudian keduanya berjalan dan binatangnya dibiarkan kosong dan dipegang talinya. Kemudian mereka sampai pada sebuah kumpulan masyarakat, dan mereka mengatakan, “Aneh! Padahal punya tunggangan, tapi keduanya berjalan kaki.”

Kesimpulannya, bagaimanapun juga masyarakat akan mencari-cari aib keduanya. Luqman berkata, “Putraku, engkau tahu bahwa tidak mungkin kita bisa menyenangkan masyarakat. Oleh karena itu, wahai putraku, jangan berpikir ingin menyenangkan orang lain. Hanya berpikirlah untuk menyenang Allah karena di sana ada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Penghormatan Nabi Ismail Kepada Ayahnya

Ketika Ibrahim Khalil as datang dari Syam ke Mekah untuk menjenguk putranya Ismail as, putranya tidak ada di rumah. Ibrahim kembali ke Syam. Ketika Ismail kembali dari safar, istrinya memberitahukan kedatangan ayahnya. Ismail mencari bekas telapak kaki ayahnya dan menciumnya sebagai penghormatan kepadanya.