Peran Puasa Dalam Tazkiyah Nafs (1)

Dalam agama Islam puasa merupakan satu bentuk ibadah yang melengkapi bentuk-bentuk ibadah lain semisal mendirikan shalat, membaca kitab suci al-Quran, berzikir, dan lain-lain. Puasa tercatat sebagai salah satu ibadah yang kedudukannya sangat tinggi karena juga berperan kunci dalam tazkiyah atau penyucian ruhani dan bahkan juga jasmani.
 
Tulisan ini akan membahas ibadah puasa lebih dari sebatas kedudukannya sebagai satu kewajiban yang harus ditunaikan sesuai aturan fikih, melainkan lebih menelisik jauh pada dimensi ruh, spirit, dan hakikat yang terkandung di baliknya dan yang menjadi kunci dalam tazkiyah dan pembersihan jiwa manusia dari segala jenis kotoran dan nista, dan pada gilirannya dalam ketersandangan sifat-sifat ilahiyah pada manusia.
 
Pendahuluan
 
Puasa merupakan ibadah yang juga pernah ada dan berlaku dalam semua tradisi dan syariat terdahulu. Suku-suku primitif Arab (Baduwi) bahkan juga menjalankan tradisi berkuasa dengan niat membersihkan diri dari dosa-dosa, mengusir syaitan, dan berharap mendapat kerelaan dari tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang mereka yakini. Kaum Arab Jahiliyah juga meyakini puasa sebagai ibadah dan penyucian diri.[1]
 
Terinspirasi oleh teks-teks suci, para arif atau bijakawan Muslim memandang puasa sebagai zakat bagi raga. Mereka juga mengatakan bahwa dengan berpuasa manusia akan dapat menemukan dimensi karakteristik malaikat, karena dapat menahan diri dari santapan-santapan lahirian agar dapat berpesta lebih sempurna dengan santapan-santapan ruhani berupa zikir, tasbih dan tahlil.[2]
 
Syeikh Abu Hafas Syihabuddin Suhrawardi, pendiri aliran irfan Suhrawardiyah dalam karyanya yang tersohor, Awarif al-Ma’arif, saat menjelaskan keutamaan puasa mengutip sabda Rasulullah SAW;
 
اَلصَّوْمُ نصْفُ الصَّبْر وَ الصَّبْرُ نصْفُ الاْیمان.
 
“Puasa adalah separuh kesabaran, dan kesabaran adalah separuh iman.”
 
Dia juga mengutip hadis qudsi;
 
الصَّوْمُ لِی وَ أَنَا أُجْزَى بِهِ.
 
“Puasa adalah untukKu, dan Aku adalah balasannya.”
 
Disebutkan bahwa puasa dikaitkan langsung dengan Allah dengan maksud bahwa Dia akan menghiasi orang yang berpuasa dengan keindahan akhlak ilahiyyah.[3]  Di mata para arif, puasa memiliki dimensi batin dan hakiki yang tak semua orang dapat melihatnya. Menurut mereka, keimanan terdiri atas dua unsur yang sama besarnya; satu kesabaran dan yang lain kebersyukuran, sementara puasa menggabungkan dua unsur ini.[4]
 
Artikel ini adalah dalam rangka menjelaskan puasa bukan sebatas menahan lapar, haus dan semisalnya yang hanya bersentuhan dengan faktor-faktor lahiriah, melainkan juga karena terdorong oleh pengetahuan akan dimensi spiritual dan hakikatnya dalam menunjang proses tazkiyah dan peningkatan kualitas eksistensial dan gradasi keruhaniannya. Kaum arif memandang puasa sebagai penempaan diri agar dapat menyandang sifat-sifat ilahiah dan mencapai kesempurnaan berada di sisi Allah SWT. .
 
Makna Shoum
 
Kata “shoum” dalam bahasa Arab berarti puasa, yakni menahan diri dari makan dan minum.[5] Sedangkan dalam terminologi syariat berarti menahan diri dari beberapa hal tertentu, yaitu makan, minum dan bersetubuh dari sejak tibanya waktu shalat subuh hingga tibanya waktu shalat maghrib.[6]
 
Dalam Majma’ al-Suluk disebutkan; “Puasa memiliki tiga jenjang. Pertama, puasa kalangan umum (awam) berupa menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Kedua, puasa kalangan khusus (khas) berupa menahan mata, telinga, dan semua organ tubuh dari perbuatan dosa agar tak satupun anggota tubuh berbuat dosa. Ketiga, puasa kalangan yang lebih khusus (akhash al-khawash) berupa menahan diri dari kepedulian-kepedulian yang hina, ingatan dunia, dan segala sesuatu selain Allah SWT.”[7]
 
(Bersambung)
 
CATATAN :
[1] Ahkam-e Qor’an, Mohammad Khazaili, hal. 415 – 416.
 
[2] Al-Risalah al-Aliyyah, Kamaluddin Husain Kasyifi, hal. 73.
 
[3]  Lihat Awarif al-Ma’arif , hal. 138.
 
[4] Ibid.
 
[5] Muntaha al-Irb.
 
[6] Ta’rifat-e Jurjani, hal. 119.
 
[7] Kasysyafu Ishthilahat al-Funun, hal. 818.