Hikmah Berpuasa

Orang-orang beriman yang disifati Allah swt didalam Al-Quran adalah orang-orang yang telah sampai kepada keyakinan akal dan hati bahwa Islam yang dibawa oleh Rasulullah saww adalah benar. Dengan Akal dan hatinya ia mencari kebenaran sehingga sampai kepada satu titik bahwa Islam adalah benar dan konsekwensi dari itu semua adalah menjalani apa-apa yang diperintahkan Allah swt dan menjauhi larangan-larangannya.

Dalam ilmu teologi dibahas panjang lebar bahwa segala manfaat mentaati segala perintah dan menjauhi segala laranganNya kembali kepada manusia itu sendiri, bukan Allah swt. Karena Allah swt maha sempurna yang tidak mungkin membutuhkan kepada akibatNya. Justru Allah swt memerintahkan dan melarang adalah agar manusia sampai kepada kesempurnaan penciptaan dan melebur bersamaNya dalam kesempurnaan.

Salah satu tangga-tangga kesempurnaan yang Allah swt sediakan untuk manusia adalah memerintahkan orang-orang beriman untuk berpuasa dibulan Ramadhan yang mulia. Allah swt berfirman didalam surat Al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Allah swt mewajibkan orang-orang beriman dikarenakan orang beriman pasti Islam (Muslim) dan telah sampai kepada cahaya kebenaran, baik itu kebenaran akal, maupun hati. Berbeda dengan orang-orang Islam yang belum tentu beriman dan hanya masuk Islam karena sebab-sebab tertentu, bisa karena terpaksa, ikut-ikutan atau warisan keluarga.

Dengan kata lain Allah swt memiliki tujuan khusus mewajibkan puasa untuk orang-orang beriman, bukan untuk menahan lapar dan haus saja, melainkan lebih tinggi dari itu.

Berpuasa untuk meraih ketakwaan

Al-Quran dengan jelas bahwa hikmah berpuasa dan filosofis berpuasa adalah agar orang-orang beriman meraih ketakwaan. Namun apakah setiap yang berpuasa akan meraih ketakwaan? Tentu jawabannya belum tentu, karena puasa tidak hanya berbicara menahan lapar dan haus saja, namun menahan dari segala sifat-sifat tercela yang menjauhkan manusia sampai kepada kesempurnaan. Berpuasa lisan seperti:  ghibah, berbohong, mencaci-maki, merendahkan orang lain dan puasa anggota –anggota badan lainnya.

Untuk itu Imam Shadiq as berkata,

Sesungguhnya berpuasa tidak hanya menahan lapar dan haus saja, kemudian Imam Shadiq as membaca ayat Al-Quran surat Maryam ayat 26:

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا (صمتا) فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا —  فاذا صمتم فاحفظوا السنتکم و غضوا ابصارکم ولا تنازعوا

Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa (Lisan-tidak berbicara) untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.  Untuk itu jika kalian berpuasa, maka jagalah lisan dan pandangan mata kalian dan janganlah kalian bertikai satu sama lain..!!

(Al-Kafi, Al-Kulaini, juz.3 adab shaum)

Imam Shadiq mengatakan bahwa puasa yang dipraktekan Sayidah Maryam, tidak hanya menahan lapar dan haus, melainkan menahan diri dari berbicara.

Diriwayatkan Rasulullah saww mendengar seorang wanita berpuasa mencaci maki budaknya. Kemudian Rasulullah saww mengundang wanita tersebut untuk makan dan berkata kepadanya, “ Silahkan makan?!” Wanita itu berkata, “ Ya Rasulallah, saya sedang berpuasa.” Kemudian Rasulullah saww berkata, “ Bagaimana bisa anda berpuasa dan mencaci maki budak anda, ketahuilah bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus saja, melainkan menahan tubuh dan nafsu kita dari segala sifat-sifat tercela.”


(Al-Kafi, Kulaini, Juz. 3 Adab Shaum)