Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Silaturrahim

1 Pendapat 05.0 / 5

Sambunglah Silaturrahim Dengan Orang Yang Memutuskan Hubungan Denganmu

Seorang lelaki datang menemui Rasulullah Saw dan berkata, “Seluruh keluargaku telah memutuskan hubungan denganku dan mereka mencaci maki aku. Apakah bagus bagiku untuk memperlakukan mereka dengan cara yang sama dan aku memutuskan hubungan dengan mereka?”

Rasulullah Saw menjawab:

“Sambunglah hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu. Berikan sesuatu kepada orang yang tidak mau memberikan sesuatu kepadamu. Maafkanlah orang yang menzalimimu. Bila engkau melakukan hal ini, maka Allah akan menolongmu.”

Imam Shadiq as Melakukan Silaturrahim

Abdullah bin Hasan Mutsanna yang terkenal dengan sebutan Abdullah Mahdh adalah cucu dari Imam Hasan dari pihak lelaki dan Imam Husein dari pihak perempuan. Dia bangkit melawan Manshur Dawaniqi dan mencapai syahadah. Antara dia dan Imam Shadiq as terjadi perdebatan mulut sedemikian parah sehingga keduanya saling bersuara keras. Masyarakat pun berkumpul dan ketika malam tiba, keduanya berpisah.

Shafwan Jammal mengatakan, “Paginya saya keluar dari rumah karena sebuah urusan dan saya melihat Imam Shadiq as sedang berdiri di tepi pintu rumahnya Abdullah bin Hasan dan mengatakan, “Hai budak perempuan! Katakan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Hasan untuk datang ke sini!”

Abdullah keluar dari rumah dan berkata kepada Imam Shadiq as, “ Hai Abu Abdillah! Mengapa engkau datang ke sini pagi-pagi?”

Imam Shadiq as berkata, “Tadi malam aku membaca sebuah ayat dalam al-Quran yang membuatku galau.

Abdullah berkata, “Ayat yang mana?”

Imam Shadiq as berkata, “Allah berfirman dalam ayat itu, “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. Ar-Ra’d: 21)

Abdullah berkata, “Engkau benar! Seakan-akan aku belum pernah membaca ayat ini.

Kemudian Abdullah dan Imam Shadiq as saling berpelukan dan keduanya sama-sama menangis sebagai tanda silaturrahim dan hubungan yang baru.

Riwayat ini secara jelas menunjukkan bahwa silaturrahim harus dijaga meski keluarga sebatas ini menjauhi keluarga. (Biharul Anwar, jilid 74, hal 98)

Bacalah Kisah Ini!

Ustad Amin seorang penulis buku Rah-e Takamol [Jalan Kesempurnaan] mengatakan, “Guru fikihku mengatakan, “Aku menziarahi makam Imam Husein as di hari Arafah. Pada waktu itu aku bergumam, “Betapa bagusnya bila aku membaca ziarah Arafah sekali sebagai naib [pengganti] kakekku.” Kemudian aku membacanya dengan niat sebagai naib ziarah kakekku. Begitu aku masuk ke Najaf, ayahku berkata, “Kemarin pekerjaan baik apa yang telah engkau lakukan?”

Aku berkata, “Kemarin aku membaca ziarah Arafah sekali dengan niat sebagai naib ziarah kakekku.”

Ayahku berkata, “Aku tadi malam bermimpi melihat kakekmu turun dari kudanya dan berkata, “Aku baru pulang dari ibadah haji” dalam mimpi aku mengetahui bahwa ziarah Arafah sama dengan ibadah haji.”

Sang penulis buku mengatakan, “Jangan lupakan keluargamu setelah kematiannya.”

Bibi Kedudukannya Sama Sebagaiman Ibu

Ketika Sayidina Hamzah; paman Nabi Muhammad Saw mencapai syahadah di perang Uhud, dia meninggalkan seorang anak perempuan yang masih kecil bernama Umamah. Untuk mengasuhnya, terjadi perdebatan antara tiga orang [Ali as, Jakfar dan Zaid bin Abdul Muthalib. Masing-masing mengatakan ingin mencapai pahala dalam urusan ini.

Ali as berkata, “Aku yang akan mengasuhnya karena dia adalah anak pamanku.”

Zaid mengatakan, “Aku yang akan mengasuhnya karena dia adalah anak saudaraku.”

Jakfar Thayyar mengatakan, “Aku yang akan menjaganya, karena selain dia sebagai anak pamanku, bibinya [Asma binti Umais] adalah istriku.”

Terkait mengadili masalah ini diserahkan kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw mengadili seperti ini; Jakfar yang harus mengasuhnya. Karena “Alkhalatu Bimanzilatil Ummi” Bibi sama sebagaimana ibu.” (Ushul Kafi, bab Afw)

Mengontrol Kemarahan

Suatu hari salah satu keluarga Imam Sajjad as di depan umum mengatakan sesuatu yang tidak pantas kepada beliau. Imam Sajjad as diam. Kemudian orang tersebut pergi. Imam Sajjad as berkata kepada orang-orang yang ada di situ, “Kalian semua telah mendengar apa yang dikatakan oleh orang tersebut dan saya ingin kalian semua bersama saya pergi menemuinya, sehingga saya jawab ucapannya dan kalian mendengarnya.”

Semuanya sepakat untuk pergi bersama Imam Sajjad as dan sepanjang perjalanan beliau terus menerus berkata, “Walkazdiminal Ghaizha”...salah satu dari sifat orang yang bertakwa adalah meredamkan kemarahan... (QS. Ali Imran: 34)

Orang-orang pun paham bahwa Imam Sajjad as tidak akan menjawabnya dengan kata-kata yang kasar. Akhirnya mereka sampai di rumahnya orang yang berkata tidak pantas tersebut dan memanggilnya. Dia keluar dari rumahnya. Imam Sajjad as berkata kepadanya, “Hai saudaraku! Bila apa yang engkau tuduhkan ada padaku, maka aku memohon kepada Allah agar mengampuniku.”

Lelaki tersebut benar-benar terpengaruh oleh kata-kata Imam dan dia maju mencium kening Imam dan berkata, “Bahkan akulah yang mengatakan sesuatu yang tidak ada padamu dan akulah yang pantas dikatakan seperti [yang aku katakan] itu.”

Dengan demikian Imam Sajjad as telah mengajarkan kepada kita pelajaran sabar dan menjaga hubungan kekeluargaan dan mengontrol kemarahan. (Dastan-e Doustan, jilid 2, hal 56)