Efektifnya Revolusi Mental di Bulan Ramadhan

Betapa tragisnya ketika kita cermati fenomena dan realita masyarakat kita saat ini. Bulan Ramadhan yang mestinya membuat seseorang mengurangi dan menghentikan dosa tapi bagi sebagian orang, Ramadhan justru digunakan untuk meningkatkan kualitas kejahatannya. Kasus-kasus persekusi (pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas) justru marak akhir-akhir ini. Realita memprihatinkan ini terjadi karena dzillah nafs (kehinaan jiwa). Dapat dipastikan bahwa tindakan kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang hina dan kehinaan itu diperoleh karena akumulasi/tumpukan dosa, utamanya dosa kemanusiaan. Maka, siapapun yang hina jiwanya—meskipun ia orang dekat Anda—maka Anda jangan pernah merasa aman dari kejahatannya. Dan mustahil orang yang berpuasa melakukan persekusi. Sebab, hakikat puasa adalah “membakar” sifat-sifat kebinatangan dan kebuasan dalam diri manusia.

Penjabarannya adalah: kata Ramadhan berasal dari akar kata (رمض) “ramadh” yang bermakna membakar. Seakan-akan orang yang berpuasa dengan meninggalkan makanan dan minuman pada level syariat dan dengan mencampakkan egoisme, angan-angan panjang dan seluruh karakter buruk pada jenjang thariqat dan bersihya akal dari keraguan dan sampainya pada yaqin syuhudi (yakin karena menyaksikan langsung), maka pelbagai kekotoran dirinya “terbakar” (musnah) dalam tiga tahapan, yaitu amal, akhlak dan pikiran, sehingga yang bersangkutan sampai pada keikhlasan amal dan jiwa.

Auliya dan muqarrabin (orang-orang dekat Tuhan) mempunyai pemahaman berbeda terkait dengan penyebutan Ramadhan dengan syahr dhiyafatillah (bulan jamuan Ilahi). Mereka memaknai syahr dhiyafatillah sebagai bulan penyaksian kehadiran terdekat dan terbaik Sang Mahaagung dan Mahaindah. Dan jamuan yang dihidangkan-Nya bukanlah jamuan fisik. Jamuan ini tidak ada kaitannya dengan kolak, es kelapa muda, dan kurma sekalipun. Tapi perjamuan Ilahi yang dimaksud adalah cahaya, kebeningan hati, spiritual dan pelbagai hidangan ma’nawi (metafisik) yang dengan sedikit mencicipinya saja salik (pejalan spiritual) akan terbebaskan dari belenggu dan tawanan alam materi.

Oleh karena itu, ibadah puasa sebagaimana ibadah shalat, haji dan zakat juga memiliki aspek zahir dan sekaligus aspek batin. Dan batin puasa adalah takwa, basirah (ketajaman batin), kebersihan dan kebeningan hati, kebahagiaan kalbu dan merasa ringan (menghadapi cobaan dan derita dunia) serta tidak mengalami ketergantungan dengan materi dan dunia. Maka, puasa yang hanya terhenti dan mandek pada level zahir (menahan lapar dan dahaga serta meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana diatur dalam fikih) tentu tidak akan pernah mendatangkan revolusi mental yang sedang didengungkan keras di negeri ini.

Ahli sayr (perjalanan spiritual) dan suluk menjadikan Ramadhan sebagai awal tahun bagi mereka. Mereka melakukan hisab (perhitungan) dari bulan Ramadhan sampai Ramadhan tahun berikutnya; pada Ramadhan sebelumnya dan pada Ramadhan tahun ini, derajat dan maqam apa yang telah mereka dapatkan. Jadi, bulan Ramadhan adalah bulan terbaik untuk melakukan tahdzib nafs (pembinaan diri). Ramadhan adalah sahabat terbaik untuk melakukan riyadhah nafs (bina jiwa). Maka, siapapun yang gagal membina dirinya dan merevolusi jiwanya di bulan ini, maka dapat dipastikan ia akan terpuruk di sebelas bulan berikutnya.

Salah satu pelajaran berharga yang diberikan oleh Ramadhan adalah kepedulian sosial. Artinya, Ramadhan mengajarkan kepada kita supaya kita merasakan kelaparan dan kehausan kaum fakir-miskin. Ibadah individual tidak cukup mengantarkan seseorang kepada haribaan Tuhan bila tidak diikuti dengan ibadah sosial. Dengan kata lain, kesalehan personal tidak akan pernah “memuaskan” Tuhan bila tidak dibarengi dengan kesalehan sosial. Bahkan Allah Swt dengan nada keras memperkenalkan orang-orang yang dianggap-Nya mendustakan agama, yaitu:

 

أَ رَأَيْتَ الَّذي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?

 

 

فَذلِكَ الَّذي يَدُعُّ الْيَتيمَ

Itulah orang yang menghardik anak yatim,

وَ لا يَحُضُّ عَلى‏ طَعامِ الْمِسْكينِ

dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

 

Membahas surat al-Ma’un tersebut mengingatkan saya terhadap apa yang dilakukan oleh KH.Ahmad Dahlan (rahmatullah ‘alaih). Beliau memiliki pendekatan menarik terkait dengan penafsiran surat tersebut yang kemudian dikenal dengan sebutan teologi al-Ma‘un. Teologi ini seringkali diterjemahkan dalam tiga pilar kerja, yaitu: healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial). Kiai Dahlan mengulang-ulang pelajaran penafsiran surat al-Ma’un dan tidak terburu-buru berpindah ke materi lain. Dan pengamalan surat ini diterapkan Kiai Dahlan dengan meminta murid-muridnya untuk mencari orang paling miskin yang bisa ditemui di masyarakat untuk dimandikan dan  disuapi. Inilah yang kemudian disebut dengan pemahaman pertama dari teologi al-Ma‘un itu.[1]

Ya, Ramadhan adalah kesempatan berharga bagi manusia untuk melepaskan diri dari penjara dan belenggu yang diciptakannya sendiri. Penjara yang dimaksud adalah penjara ananiyyah (keakuan/egoisme), istikbariyyah (kesombongan), dan mengikuti nafsu ammarah bissu’ (yang memerintahkan kejahatan).

Ramadhan datang untuk memanusiakan manusia dan untuk memuliakan manusia. Ramadhan tiba untuk menumpas sifat-sifat tercela dan menyandera sifat-sifat kebinatangan. Ramadhan berkunjung untuk menjinakkan kebuasan, kebengisan dan kebiadaan nafsu angkara murka. Dan Ramadhan menghampiri kita untuk mengingatkan kita bahwa puncak agama adalah berbagi cinta kepada sesama manusia, utamanya saudara seagama dan seiman. Bukankah Nabi saw bersabda: “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.”[2]

 

 
CATATAN :

 

[1] Kiai Dahlan tidak hanya menerjemahkan teologi itu dalam tindakan karikatif seperti tersebut di atas. Dengan menggandeng Budi Utomo dan kraton Yogyakarta, Kiai Dahlan lantas mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Apa yang dirintisnya seratus tahun yang lalu itu kini telah berkembang pesat di seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan Pimpinan Pusat  Muhammadiyah, organisasi ini telah memiliki 161 perguruan tinggi, 5.500 sekolahan, lebih dari 300 rumah sakit, dan lebih dari 300 panti asuhan (Tuhuleley 2003). (sumber: http://muhammadiyahstudies.blogspot.co.id/2013/04/makna-teologi-al-maun-di-dua-generasi.html

 

[2] Hadits ini dikeluarkan oleh Iman Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Min Al Iman An Yuhibba Liakhihi Ma Yuhibbu Linafsihi, no. 13 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Al Dalil ‘Ala Ana Min Khishal Al Iman An Yuhibba Liakhihi Al Muslim Ma Yuhibbu Linafsihi Min Al Khair, no. 45.