HARI KIAMAT (MA’AD) (2)



Argumentasi Kemandirian Ruh

Dalam masalah ruh, kaum materialis bersiteguh bahwa fenomena-fenomena ruh merupakan ciri dan gejala sel-sel otak. Pikiran, hafalan, inovasi, cinta, kebencian, dan amarah, serta ilmu dan pengetahuan, seluruhnya berada dalam jajaran masalah laboratorium dan di bawah hukum-hukum materi. Akan tetapi, filsuf yang mendukung kemandirian ruh memiliki bukti-bukti kuat dalam menolak pandangan kaum materialis. Kami akan uraikan bukti-bukti tersebut dalam beberapa poin di bawah ini:

a.Gejala Realistik (Pengetahuan tentang Inner World)

Pertanyaan pertama yang dapat diajukan kepada kaum materialis adalah, sekiranya pikiran-pikiran dan fenomena-fenomena ruh adalah gejala “fisis-kimiawi” otak, pasti tidak akan ada perbedaan mendasar antara aktifitas otak dan aktifitas perut, ginjal, atau hati. Hal itu lantaran aktifitas perut, misalnya, adalah mensintesakan antara aktifitas-aktifitas fisik dan kimia dengan prosedur khasnya melalui mengunyah dan mempersiapkan badan untuk mengeluarkan acid-acid makanan. Demikian juga aktifitas saliva (air liur) —sebagaimana yang telah disebutkan di atas— merupakan sintesa antara aktifitas fisik dan aktifitas kimia. Sementara kita melihat aktifitas ruh berbeda dengan semua itu.

Seluruh aktifitas anggota badan masing-masing —kurang-lebih— serupa dengan yang lainnya, kecuali otak. Semua ini bersangkutan dengan dimensi-dimensi internal. Sementara fenomena-fenomena ruh memiliki dimensi eksternal dan menerangkan kepada kita ihwal keadaan eksternal keberadaan kita.

Untuk lebih jelasnya, kita renungkan beberapa poin di bawah ini:

Pertama, apakah dunia luar (diri kita) ada atau tidak? Tentu saja, ada. Kaum idealis yang mengingkari keberadaan dunia luar berpendapat, apa pun yang ada hanyalah kita dan konsep kita. Dunia luar ibarat panggung yang kita lihat dalam dunia mimpi; hanyalah sebuah khayalan. Mereka cukup getol dengan kesalahannya. Dan kesalahan mereka telah kami telah buktikan di tempat yang lain. Pembuktian ini berkisar tentang bagaimana kaum idealis pada tataran praktis menjadi kaum realis. Dan apa yang dipikirkan pada lingkungan perpustakaan, tatkala melangkahkan kaki ke lorong, jalan dan kehidupan umum, mereka melupakan semua idenya.

Kedua, apakah kita mengetahui kehidupan dunia luar atau tidak? Tentu saja jawaban pertanyaan ini adalah afirmatif (iya). Karena kita memiliki data yang melimpah tentang dunia luar. Dan kita memiliki informasi yang banyak tentang makhluk-makhluk yang berada di seputar kita atau bahkan, makhluk-makhluk yang mendiami tempat yang jauh dari kita namun berada di luar jangkuan kita. Pertanyaannya, apakah dunia luar dapat masuk ke dalam ruang internal wujud kita? Tentu saja tidak. Akan tetapi, kita dapat memahami keberadaan dunia luar dengan menggunakan gejala yang nyata dan riel. Gambaran dunia luar berada dalam benak kita.

Gejala nyata ini bukan gejala fisis-kimia otak. Lantaran gejala fisis-kimia otak ini merupakan reaksi efek-efek kita atas dunia luar. Istilahnya, merupakan akibat dari aktifitas fisis-kimia otak. Persis dengan efek-efek yang disisakan oleh makanan pada perut kita; hanya efek makanan atas perut, aksi dan reaksi fisis dan kimia tersebut yang membuat perut mengetahui makanan-makanan yang disodorkan kepadanya. Lalu bagaimana otak kita dapat mengetahui dunia luar?

Dengan kata lain, untuk mengetahui wujud-wujud eksternal, ia memerlukan satu jenis pengetahuan tentangnya. Dan lingkungan kerja ini bukanlah pekerjaan sel-sel otak. Sel-sel otak hanya dapat menerima efek dari luar. Dan efek ini seperti efek-efek anggota badan lainnya dari keadaan dunia luar. Kita dapat memahami perkara ini dengan baik.

Apabila efek dari dunia luar adalah dalil atas pengetahuan kita terhadap dunia luar, mestinya kita dapat memahaminya dengan perut dan lisan kita, sementara tidaklah demikian adanya.

Kesimpulannya, keadaan unik perangkat pengetahuan kita merupakan dalil bahwa terdapat suatu hakikat lain di sana, yang hukum-hukumnya sama sekali berbeda dengan hukum-hukum fisik dan materi. (Perhatikan baik-baik).

b. Kesatuan Pribadi

Argumentasi lain tentang kemandirian ruh yang dapat disebutkan di sini adalah kesatuan pribadi sepanjang usia seorang manusia.
Penjelasan

Apabila kita dalam segala hal dapat sangsi dan ragu, dalam perkara ini kita tidak akan merasa ragu bahwa kita ini ada.

Tentang "Aku ada dan dalam keberadaanku", aku tidak memiliki keraguan. Pengetahuanku tentang keberadaanku disebut sebagai ilmu hudhûrî (pengetahuan dengan kehadiran), bukan ilmu hushûlî (pengetahuan dengan perolehan). Maksudnya adalah bahwa aku hadir dalam diriku dan tidak terpisah dariku.

Bagaimanapun, pengetahuan kita tentang diri kita merupakan pengetahuan yang paling jelas. Pengetahuan ini tidak memerlukan penalaran. Penalaran yang terkenal adalah penalaran yang dilakukan oleh Descartes, seorang filsuf besar Prancis, yaitu “Aku berpikir, maka aku ada”. Tampaknya penalaran ini bukan penalaran yang benar dan hanya bersifat lateral. Lantaran sebelum ia membuktikan wujudnya, ia sudah mengakui wujudnya sendiri! (Sekali ia berkata “aku”, kembali ia berkata “aku berpikir”). Ini dari satu sisi.

Dari sisi lain, “aku” ini sejak awal hingga akhir usia hanya memiliki satu kesatuan (pribadi), tidak lebih. “Aku hari ini” adalah “aku kemarin” dan “aku dua puluh tahun yang lalu”. Sejak kecil sampai sekarang ini, Aku adalah seorang, tidak lebih. Aku adalah orang yang dulu dan hingga akhir usia juga aku tetap orang yang sama, bukan orang lain. Tentu saja, aku belajar, aku telah memiliki ilmu, aku telah mencapai kesempurnaan, dan aku akan tetap mencapainya, akan tetapi aku tidak menjadi orang lain.

Dengan demikian, seluruh manusia sepanjang hidupnya dikenal sebagai seorang manusia; aku memiliki satu nama, aku memiliki satu tanda pengenal, dan sebagainya.

Kini kita lihat, apakah wujud satu yang telah memenuhi segenap usia kita ini? Apakah ini merupakan partikel atom, sel-sel badan, atau kumpulan sel-sel otak, serta aksi dan reaksi otak? Di sepanjang usia kita, semua ini berulang kali akan berganti. Kira-kira dalam setiap tujuh tahun, seluruh sel-sel akan mengalami pergantian (shift). Lantaran kita ketahui bahwa jutaan sel dalam badan kita setiap hari akan mati, dan jutaan sel baru akan tumbuh menggantikannya. Sebagaimana sebuah bangunan yang batu batanya secara gradual keluar, dan batu-batu bata yang baru akan datang menggantikan pekerjaan batu-batu bata yang lama. Setelah beberapa waktu, bangunan ini secara keseluruhan akan berganti meskipun orang-orang awam tidak mengetahuinya. Tak ubahnya seperti kolam renang besar. Dari satu sisi, air baru secara perlahan akan masuk ke dalam kolam renang, dan dari sisi lainnya, air yang lama akan keluar. Jelas bahwa setelah beberapa lama, seluruh air yang ada dalam kolam tersebut akan berganti, meskipun orang-orang yang melihatnya secara lahiriah tidak mengetahui perubahan ini, bahkan mereka melihat bahwa kolam renang tersebut tetap pada keadaaanya semula.

Secara umum, setiap wujud yang menerima makanan dan dari sisi lainnya menkonsumsi makanan tersebut, secara perlahan-lahan akan mengalami pembaruan dan pergantian.

Oleh karena itu, seorang anak manusia yang berusia tujuh puluh tahun, perubahan yang terjadi pada anggota badannya kira-kira sebanyak sepuluh kali (mengingat setiap tujuh tahun mengalami perubahan—AK.). Atas perhitungan ini, apabila kita —sebagaimana kaum materialis— harus memandang manusia sebagai jasad dan kumpulan organisme otak dan syaraf, serta akumulasi ciri-ciri fisis-kimiawi, maka “aku” ini dalam masa tujuh puluh tahun mengalami sepuluh kali pergantian dan bukan lagi orang yang sebelumnya, padahal tidak satu pun fitrah (wijdân) yang akan menerima asumsi ini.

Berangkat dari sini, jelas bahwa selain bagian-bagian material, terdapat satu hakikat tunggal yang permanen pada segenap usia kita, dan ia tidak akan pernah berubah sebagaimana bergantinya bagian-bagian materi. Ia adalah bentuk dasar wujudnya, maka standar kesatuan pribadi kita adalah hakikat tunggal tersebut.

Menghindari Sebuah Kekeliruan

Sebagian orang beranggapan bahwa sel-sel otak tidak akan berganti. Mereka berkata, “Dalam buku fisiologi, kami membaca bahwa jumlah sel-sel otak sejak semula hingga akhir usia adalah satu jenis saja. Maksudnya, sel-sel ini tidak akan bertambah dan juga tidak akan berkurang selamanya. Sel-sel ini hanya akan menjadi besar. Akan tetapi, sel-sel ini tidak akan melahirkan sel baru untuk meneruskan keturunannya. Dari sudut pandang ini, tidak dapat diilustrasikan kerusakan pada sel-sel ini. Oleh karena itu, kita percaya bahwa dalam keseluruhan badan kita terdapat satu kesatuan yang permanen yang merupakan sel-sel otak itu sendiri. Dan sel-sel inilah yang menjadi standar kesatuan pribadi kita.

Namun, pandangan ini merupakan sebuah kesalahan besar, karena mereka telah mencampur-adukkan dua masalah. Yang telah dibuktikan oleh sains dewasa ini ialah bahwa dari sisi jumlah, sel-sel otak semenjak semula hingga akhir usia bersifat permanen; tidak bertambah, tidak pula berkurang, bukan atom yang menjadi pembentuk sel-sel ini yang tidak akan berubah. Sebab, bagaimana yang telah kami sebutkan, sel-sel badan menerima makanan secara terus-menerus dan atom-atom (dzarrât) yang telah tua akan hilang secara bertahap. Persis seperti seorang yang senantiasa dari satu sisi menerima dan dari sisi lain memberi. Tentu saja modal orang seperti ini akan berganti secara perlahan, betapa pun banyaknya. Sebagaimana kolam renang, yang dari satu sisi air yang baru dialirkan ke dalamnya dan dari sisi lain, air yang lama dialirkan keluar. Dengan demikian, dalam beberapa waktu, muatan-muatan kolam akan berganti secara keseluruhan, meskipun ukuran air tetap dan tidak berubah.[1]

Begitu pula, sel-sel otak itu tidak permanen. Sebagaimana sel-sel yang lain, sel-sel ini akan mengalami pergantian dan perubahan.

c. Ketidaksesuaian antara Kecil dan Besar

Anggaplah, Anda duduk di tepi pantai yang indah. Beberapa perahu kecil dan sebuah kapal besar bergerak di atas ombak. Dari satu sisi, kita melihat matahari terbenam di sebelah barat dan dari sisi lain, kita melihat bulan berada dalam keadaan bersinar (terbit). Burung-burung menawan di pantai selalu bermain di atas air dan berdiri, dan gunung menjulang tinggi, puncaknya mencapai langit.

Kini, untuk beberapa detik, kita pejamkan mata kita. Lalu, kita ilustrasikan apa yang telah kita saksikan itu di dalam benak kita. Gunung dengan segala ketinggiannya, laut dengan segala keluasannya, dan kapal raksasa dengan segala kebesarannya kini menjelma dalam benak kita. Artinya layar pemandangan yang luar biasa besarnya itu berhadapan dengan ruh kita, atau papan gambar itu kini berada dalam ruh kita.

Pertanyaannya di sini adalah, di manakah tempat gambar raksasa ini? Apakah sel-sel maha mikro otak dapat menerima peta yang maha makro seperti ini? Tentu saja tidak. Oleh karena itu, kita harus memiliki bagian lain dari diri kita di balik badan fisis ini; bagian yang sedemikian luasnya sehingga meliput seluruh pemandangan itu di dalamnya.

Apakah gambaran satu bangunan yang tingginya 500 meter dapat dilukiskan pada satu tanah yang berukuran beberapa millimeter? Tentu saja, tidak. Sebab, satu wujud yang lebih besar dengan tetap menjaga kebesarannya tidak akan sesuai dengan wujud yang lebih kecil. Kelaziman persesuaian ini, baik sama dengannya atau lebih kecil darinya, dapat diterapkan di sini.

Kini, bagaimana kita dapat memberikan ruang bagi gambaran-gambaran mental yang luar biasa besarnya di dalam sel-sel mikro otak?

Kita dapat mengilustrasikan planet bumi yang berukuran 40.000.000 meter dalam benak kita. Kita dapat menjelmakan planet matahari yang berukuran 1.200.000 lebih besar daripada planet bumi. Demikian juga, galaksi-galaksi yang ukurannya jutaan lebih luas dari matahari kita. Seluruhnya ada dalam pikiran kita., apabila mereka ingin menggambarkan ilustrasi-ilustrasi ini dalam sel-sel kecil otak, sesuai dengan hukum ketidaksesuaian besar dan kecil, tidak akan mungkin dapat terjadi. Maka, kita harus mengakui suatu wujud yang lebih unggul di atas otak fisis ini yang merupakan sentral penerimaan gambaran-gambaran raksasa ini.

Sebuah Pertanyaan Penting

Barangkali disebutkan bahwa gambaran-gambaran benak kita adalah mikrofilm-mikrofilm atau peta-peta geografis, dan di dalam peta-peta ini telah ditulis satu angka fraksional seperti berikut: 1 per 1.000.000 atau 1 per 100.000.000 yang menunjukkan skala mikronya. Hal itu memberikan pemahaman kepada kita bahwa gambar ini harus kita besarkan sesuai dengan rasio di atas hingga peta yang real dapat kita peroleh. Dan juga banyak kita lihat potret-potret kapal raksasa yang telah diambil yang tidak dapat menunjukkan kebesaran kapal tersebut. Oleh karena itu, untuk menunjukkan kebesaran kapal itu, maka sebelum mengambil foto tersebut, kita menempatkan manusia di atas kapal tersebut, dan foto keduanya dapat diambil, sehingga berdasarkan perbandingan, kebesaran kapal tersebut semakin jelas.

Melalui gambaran-gambaran mental, kita juga dapat memperoleh gambaran-gambaran mikro yang dengan skala-skala tertentu telah dimikrokan dengan rasio yang sama. Dengan memakrokan gambaran tersebut, gambaran yang sebenarnya dapat diperoleh. Dan tentu saja, peta-peta mikro ini dapat memiliki ruang pada sel-sel otak kita. (Perhatikan baik-baik).

Jawaban

Masalah penting di sini ihwal mikrofilm-mikrofilm yang biasanya mereka besarkan dengan media projector dan memberikan reaksi di atas layar atau pada peta-peta geografi angka yang ditulis di bawahnya membantu kita mengalikan peta tersebut dengan angka yang telah ditentukan itu. Dan gambaran besar yang sebenarnya kita refleksikan dalam benak kita. Kini pertanyaan yang muncul adalah di manakah layar besar yang digunakan oleh mikrofilm-mikrofilm mental untuk merefleksikan gambar raksasa tersebut? Apakah layar besar ini adalah sel-sel otak itu sendiri? Tentu saja, tidak. Dan peta mikro geografi yang kita kalikan dengan angka besar itu dan kita merubahnya menjadi gambaran raksasa, tentu saja memerlukan tempat. Apakah tempat ini adalah sel-sel mikro otak itu sendiri?

Dengan kata lain, dalam perumpamaan mikrofilm dan peta geografi yang berada pada dunia luar, tempat film dan gambar-gambar yang berbentuk mikro itu adalah layar yang telah menerima gambar tersebut. Akan tetapi, pada gambaran mental kita, gambaran-gambaran ini persis seperti ukuran wujud luarnya. Dan tentu saja gambaran-gambaran ini memerlukan tempat seukuran dirinya, dan kita ketahui bahwa sel-sel otak lebih kecil dari gambaran dan mikrofim tersebut untuk dapat merefleksikan gambaran dan mikrofilim itu dengan segala kebesarannya.

Ringkasnya, kita mengilustrasikan gambaran-gambaran benak ini sebesar ukurannya yang terdapat di dunia luar. Dan gambar raksasa ini tidak dapat terefleksikan dalam sel-sel mikro. Dengan demikian, ia memerlukan tempat dan dari sini kita dapat memahami adanya suatu wujud hakiki di balik sel-sel ini.

d. Gejala-gejala Ruh bukan Kualitas materi

Dalil lain yang dapat menuntun kita kepada kemandirian dan kenonmaterian ruh adalah bahwa pada gejala-gejala ruh, kita melihat kualitas-kualitas yang tidak serupa dengan kualitas-kualitas materi. Karena:

Pertama, makhluk-makhluk memerlukan (waktu) dan berdimensi gradual (berproses).

Kedua, dengan berlalunya waktu, makhluk-makhluk tersebut akan menjadi usang (out of date).

Ketiga, materi dapat dianalisa atau dipecah kepada bagian-bagian wujud lainnya.

Akan tetapi, gejala-gejala mental tidak memiliki ciri-ciri dan efek-efek yang tersebut di atas. Kita dapat menggambarkan semesta persis dengan semesta yang kita huni sekarang ini dalam benak kita, tanpa melewati lintasan waktu dan tidak perlu berproses gradual.

Terlepas dari masalah ini, potret-potret masa lalu yang kita gambarkan dalam benak kita semasa kita kecil, dengan berlalunya waktu tidak mengalami antiquasi (kekunoan), tidak usang, dan tetap seperti ukuran aslinya. Boleh jadi otak manusia mengalami keusangan. Akan tetapi, dengan usangnya otak, rumah yang merupakan gambaran dua puluh tahun sebelumnya dalam benak kita terekam dengan baik dan tidak usang, dan memiliki konstansi yang merupakan ciri khas dunia metafisis.

Ruh kita dalam hubungannya dengan gambaran dan potret-potret, memiliki ciptaan yang menakjubkan dan pada detik itu kita dapat menggambarkan segala jenis peta dalam benak kita tanpa memerlukan sedikit pun pendahuluan. Gambaran benda-benda langit, galaksi-galaksi dan makhluk-makhluk bumi, laut, pegunungan, dan semisalnya bukanlah ciri khas satu wujud materi, akan tetapi ciri khas wujud metafisis.

Di samping itu, kita ketahui misalnya, 2+2=4, dan kita dapat menganalisa salah satu dari dua ekuivalen ini; angka dua atau angka empat. Akan tetapi, kita tidak dapat menganalisa equivalensi seraya mengatakan ada equivalensi seperdua dan setiap setengah bukan setengah yang lainnya. Equivalensi merupakan satu pemahaman yang tidak dapat dianalisis; ada atau tiada. Sekali-kali tidak dapat dibagi menjadi dua. (Antara ada dan tiada tidak dapat dibagi, setengah ada atau setengah tidak. Proposisi ini mustahil adanya—AK.)

Oleh karena itu, pemahaman mental ini tidak dapat dianalisa. Atas dasar ini, ia tidak dapat bersifat materi, sebab apabila ia materi, ia tersusun. Begitu pula,ruh kita yang merupakan pusat pemahaman ini bukanlah materi dan tidak dapat bersifat materi. Maka, ruh adalah wujud nonmateri. (Perhatikan baik-baik).[2]

Apakah Para Penemu Mendapatkan Ganjaran Ilahi?

Dengan menelaah sejarah ilmu pengetahuan, inovasi-inovasi dan penemuan, kita melihat bahwa sekelompok ilmuwan, bertahun-tahun lamanya menanggung jerih payah hingga dapat melakukan invensi dan inovasi demi mengurangi beban yang dipikul oleh sesamanya.

Sebagai contoh, Thomas Alfa Edison, penemu listrik. Betapa ia bersusah payah melakukan invensi yang sarat beban ini. Dan barangkali jiwanya menjadi tebusan untuk pekerjaan ini. Akan tetapi, ia telah berhasil menerangi dunia, mengaktifkan pabrik-pabrik. Berkat invensinya, susia-susia yang dalam, pepohonan yang hijau, dan ladang-ladang garapan bermunculan. Singkatnya, ia telah menggoncang wajah dunia.

Bagaimana dapat diyakini ia atau yang lainnya, seperti Louis Pasteur yang menemukan mikroba, yang telah menyelamatkan jutaan manusia dari kematian, serta puluhan orang sepertinya, akan dikirim ke jurang neraka dengan alasan mereka tidak beriman? Tetapi orang-orang yang pada masa hidupnya tidak satu pun pekerjaan yang dibaktikan untuk kemanusiaan, akan menghuni Firdaus sebagai kediaman abadinya?

Berdasarkan pandangan dunia Islam, hanya mengkaji dan menelaah suatu pekerjaan tidaklah memadai. Akan tetapi, pekerjaan yang bermuatan iman yang membentuk sebagai motivasi dan pendorong perbuatannya. Telah banyak terlihat orang-orang yang membangun rumah sakit, sekolah-sekolah atau bangunan-bangunan sosial lainnya dan mereka memiliki pretensi terhadap bantuan-bantuan kemanusiaan ini, bahwa tujuan mereka hanyalah pelayanan kemanusiaan terhadap masyarakat sehingga mereka merasa berhutang kepadanya. Sementara di balik semua kebajikan itu, terselubung tujuan lain, yaitu menjaga kedudukan, kekayaan, atau popularitas, dan mengokohkan kepentingan-kepentingan materinya. Bahkan, mereka melakukan perbuatan-perbuatan khianat yang jauh dari pandangan orang-orang.

Namun sebaliknya, terdapat seseorang yang melakukan pekerjaan kecil, dengan ketulusan yang sempurna dan motivasi murni insani dan ruhani.

Kini dokumen-dokumen orang-orang besar ini, baik dari sudut pandang perbuatan maupun dari sudut pandang motivasi, harus dikaji kembali. Tentu saja, motivasi tidak keluar dari beberapa hal di bawah ini:

Pertama, acapkali tujuan utama dari invensi atau penemuan tersebut adalah sebuah perbuatan destruktif, (seperti penemuan energi atom yang pertama kalinya dimaksudkan untuk merakit bom atom), sementara kemasalahatan manusiawinya ditempatkan pada prioritas kedua. Tujuan asli dari para penemu dan inventor ini bukanlah untuk hal ini (mendatangkan kemaslahatan) atau hal ini ditempatkan pada sasaran kedua. Kondisi sekelompok penemu ini sangat jelas.

Kedua, terkadang tujuan penemu adalah eksploitasi dan popularitas. Sejatinya, mereka tak ubahnya dengan peniaga. Untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar, mereka mendirikan fasilitas umum, menciptakan lapangan kerja bagi sekelompok orang, dan memberikan penghasilan bagi pemerintah. Mereka tidak memiliki tujuan selain mendapatkan keuntungan dan pendapatan. Dan apabila ada pekerjaan yang lebih menghasilkan, mereka akan segera menggarapnya.

Tentu saja, sekiranya perniagaan semacam ini dilakukan berdasarkan standar hukum syar’i, tidak termasuk pekerjaan haram dan pelanggaran, akan tetapi tidak termasuk sebagai perbuatan suci.

Para penemu ini di sepanjang sejarah tidaklah sedikit. Ciri-ciri khas pemikiran mereka yaitu apabila ada keuntungan yang lebih besar, misalnya antara industri farmasi yang memberikan keuntungan dua puluh persen dan industri heroin yangmenghasilkan lima puluh persen, tentu mereka akan memberikan mengusahakannya meskipun melalui jalan-jalan yang berbahaya bagi keadaan masyarakat sekalipun.

Keadaan kelompok ini juga jelas. Mereka tidak menuntut apa-apa dari Tuhan, dan tidak juga dari sesamanya. Dan ganjaran mereka hanyalah keuntungan dan popularitas yang ingin dicapai.

Ketiga, kelompok ini memiliki motivasi humanis, atau mereka memiliki motivasi Ilahi, karena mereka percaya kepada Tuhan. Terkadang bertahun-tahun lamanya mereka lalui hidup dengan segala kesusahan di sudut laboratorium-laboratorium dengan harapan; mereka dapat memberikan pelayanan terhadap sesamanya. Dan ia dapat memberikan persembahan kepada dunia kemanusiaan, memecah rantai yang mengekang kakinya yang luka, dan menyapu deru dan debu yang memenuhi wajah-wajah lelah.[3]

Apabila orang-orang semacam ini memiliki iman dan motivasi Ilahi, yang sebagian dari mereka tidak demikian, dan apabila tidak memiliki iman dan motivasinya adalah manusia atau masyarakat, tanpa syak lagi mereka akan mendapatkan ganjaran yang sesuai dari Allah Swt. Ganjaran ini boleh jadi mereka dapatkan di dunia, dan mungkin juga di dunia yang lain. Tentu saja Tuhan semesta alam tidak akan memasung keadilan mereka. Namun, bagiamana? Uraian persoalan ini tidak terang bagi kita.

Sebatas ini dapat kita katakan bahwa Tuhan tidak akan mengabaikan ganjaran orang-orang yang melakukan kebaikan ini begitu saja. (Namun, jika mereka menolak iman karena kekurangan yang tak disengaja [jâhil qâshir][4], masalahnya akan menjadi sangat jelas).

Dalil atas masalah ini, di samping hukum akal, juga disinggung oleh ayat dan riwayat.

Sejauh pengetahuan kita, tidak satu pun dalil yang menyatakan bahwa redaksi “Allah tidak akan mengabaikan ganjaran orang-orang yang melakukan kebaikan”[5] tidak meliputi orang-orang seperti ini. Lantaran orang-orang yang melakukan kebaikan (muhsinîn) yang disebutkan dalam Al-Qur’an tidak hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin. Oleh karena itu, kita melihat saudara-saudara Yusuf tatkala mereka datang kepadanya tanpa mereka kenali, sementara mereka beranggapan bahwa Yusuf adalah ‘Aziz Mesir (panggilan terhormat untuk seorang penguasa di Mesir—AK.), mereka berkata kepada Yusuf, “Kami melihat engkau adalah bagian dari orang-orang yang baik.”

Terlepas dari itu, ayat “Barangsiapa yang mengamalkan kebaikan walaupun sebiji atom ia akan mendapatkan ganjaran, dan barangsiapa yang mengamalkan keburukan walaupun sebiji atom, ia akan mendapatkan keburukannya” dengan jelas juga menyinggung orang-orang seperti ini.

Dalam hadis dari Ali bin Yaqtin yang menukil dari Imam Al-Kazhim a.s. disebutkan, “Di antara kaum Bani Israil terdapat seorang beriman yang memiliki tetangga seorang kafir. Orang yang tidak beriman ini selalu berbuat kebaikan terhadap jirannya yang kumin itu. Ketika orang kafir itu meninggal dunia, Tuhan membangunkan baginya rumah yang menjadi perisai dari api neraka …. Disebutkan bahwa ia mendapatkan ini lantaran perbuatan baiknya terhadap tetangganya yang mukmin.”[6]

Diriwayatkan dari Nabi saw. tentang Abdullah bin Jadz‘an, seorang musyrik jahiliyah dan juga sesepuh suku Quraisy, “Serendah-rendahnya azab Jahannam adalah yang menimpa Jadz‘an.” Rasulullah saw. ditanya, “Mengapa?” Beliau bersabda, “Ia memberikan makanan kepada orang-orang yang lapar.”[7]

Dalam riwayat yang lain, kita membaca bahwa Nabi saw., bersabda kepada ‘Adi bin Hatim, putra Hatim ath-Thai, “Tuhan mengangkat azab yang menimpa ayahmu lantaran kebaikan dan sikap pemurah yang dimilikinya.”[8]

Kita juga menjumpai hadis dari Imam Ash-Shadiq a.s. yang menyebutkan, “Sekelompok orang dari Yaman hendak menjumpai Rasulullah saw. dengan maksud untuk berdebat ilmiah dengan beliau. Di antara mereka, ada seorang yang paling tua. Ia berbicara dan menunjukkan sikap permusuhan dan keras kepala di hadapan Nabi saw. Beliau sedemikian kesalnya sehingga nampak kesan pada wajah beliau. Pada saat-saat seperti ini, Jibril turun dan menyampaikan pesan Ilahi, ‘Allah Swt. berfirman bahwa orang ini adalah orang pemurah.’ Ketika mendengar pesan Jibril itu, kekesalan beliau mereda. Beliau menoleh kepada orang itu dan bersabda, ‘Tuhanku mengirimkan pesan seperti ini, dan sekiranya bukan karena itu, aku akan bersikap keras kepadamu, sehingga engkau menjadi pelajaran bagi yang lain.’

Orang itu berkata, ‘Apakah Tuhanmu menyukai orang-orang pemurah?’ ‘Iya’, jawab beliau. Orang itu berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan-Nya. Aku bersumpah kepada Tuhan yang mengutusmu, hingga kini tidak seorang pun yang berpisah dariku dengan tangan kosong.’”[9]

Pertanyaannya adalah, di sebagian ayat dan riwayat disebutkan bahwa iman, bahkan wilâyah (imâmah) merupakan syarat dikabulkannya amal dan perbuatan atau masuknya ke dalam surga. Dengan demikian, sebaik-baik amal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak beriman tidak akan diterima di sisi Allah.

Jawabannya, masalah dikabulkannya amal kebaikan adalah satu persoalan, dan ganjaran yang sesuai adalah persoalan lain. Berangkat dari sini, disebutkan di dalam hukum Islam bahwa shalat tanpa kehadiran hati (khusyu’), atau pelakunya jatuh dalam dosa seperti ghibah, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Padahal kita ketahui bahwa secara syar’i, shalatnya sahih dan ia dianggap telah mengerjakan perintah Allah serta menunaikan tugasnya. Tentu saja, tidak mungkin seseorang menaati perintah Allah tanpa mendapatkan ganjaran yang sesuai.

Oleh karena itu, dikabulkannya amal perbuatan adalah peringkat amal yang tertinggi. Dalam pembahasan kita ini, apabila ia berkhidmat kepada manusia dan masyarakat disertai dengan iman, ia akan memiliki ganjaran yang paling tinggi. Akan tetapi, selain dari itu, secara umum ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Baginya, berada di ambang pintu surga pun sudah cukup. Ganjaran amal tidak terbatas pada ganjaran Firdaus.[10]

Catatan Amal dan Filsafat Keberadaannya

Dalam surat Al-Isra’ [17], ayat 13 disebutkan, “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya [sebagaimana tetapnya kalung] pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. ‘Bacalah kitabmu ....’”

Pertanyaannya, apakah catatan amal ini dan apakah tujuan dari diadakannya?

Dari kumpulan ayat-ayat dan riwayat-riwayat dapat dipahami bahwa seluruh amal manusia secara detail akan tercatat dengan baik di dalam catatan amal mereka. Dan di Hari Kiamat, sekiranya ia telah berbuat kebaikan, ia akan menerima catatan amalnya dengan tangan kanan, dan apabila ia telah melakukan keburukan, ia akan menerima catatan amalnya dengan tangan kiri.

Tanpa syak, catatan amal ini bukan dari jenis kitab dan buku biasa. Oleh karena itu, sebagian mufassir berkata bahwa catatan amal ini tidak lain adalah “ruh insan” yang merekam seluruh amal dan perbuatan manusia.[11] Sebab, setiap amal yang kita perbuat, mau tidak mau, akan menyisakan kesan pada ruh kita. Atau, catatan amal ini adalah anggota tubuh kita, bahkan kulit kita, bahkan tanah, udara, dan ruangan yang di dalamnya kita melakukan amal dan perbuatan. Karena amal kita yang telah lalu berperan pada raga kita dan seluruh atom badan kita, lalu bereaksi pada tanah dan udara. Kendati kesan ini bukanlah sesuatu yang dapat dirasakan, namun jelas sekali bagaiman kuatnya kesan tersebut. Dan kita kelak pada suatu hari dapat melihat dan membacanya.

Kata “membaca” jangan sampai menyelewengkan kita dari apa yang disebutkan oleh tafsir di atas. Sebab, membaca juga memiliki pengertian yang luas; mencakup setiap jenis penyaksian. Umpamanya, dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap berkata: “Dari matanya, aku membaca keputusan apa yang akan diambil", atau ”Aku melihat dampak amalan yang dilakukan si fulan itu". Dalam konteks ini, kita juga menggunakan kata membaca. Begitu pula, kini kata ini digunakan umum dalam pengambilan foto dari orang sakit.

Berangkat dari sini, kita membaca di dalam Al-Qur’an bahwa tulisan-tulisan catatan amal ini sama sekali tidak dapat dinegasikan. Karena, semua itu adalah dampak hakiki dan kausal dari amal itu sendiri, ibarat suara manusia atau gambar yang telah direkam dan diambil, atau dampak dari sidik jarinya.

Falsafah Catatan Amal

Tak syak lagi bahwa penjelasan yang luas ihwal catatan amal yang terdapat dalam berbagai ayat dan riwayat, khususnya yang berkaitan dengan seluruh rincian perbuatan, ucapan, dan niat, tercatat secara utuh di dalamnya. Maksud utama dair catatan amal semua itu adalah efek edukatif. Berulang kali telah kami katakan bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa seluruh ajaran-ajaran hak ini digunakan sebagai media tahdzîb al-Nafs, penyempurnaan ruh, penguatan fondasi-fondasi moral dan takwa. Selain itu, catatan amal juga memberikan peringatan kepada manusia untuk berhati-hati atas ucapan dan perbuatannya, karena segala sesuatunya tercatat, dan kelak pada Hari Kiamat akan ditunjukkan kepadanya secara lengkap dan utuh.

Benar bahwa kekuasan ilmu Tuhan berada di atas semua ini. Barangsiapa yang memiliki iman yang sempurna terhadap kekuasaan ilmu Tuhan dan kehadiran wujud-Nya di segala ruang dan waktu, niscaya ia tidak memerlukan kepada catatan amal. Akan tetapi pada umumnya manusia, hal itu dapat menjadi efek yang positif baginya.

Seseorang yang mengetahui bahwa tape recorder senantiasa menyertai langkahnya, dan sebuah kamera yang senantiasa meneropong dan mengambil gambarnya, baik ketika sepi dan ramai, lahir dan batin, luar dan dalam dirinya, dan akhirnya, seluruh film dan kaset itu menjadi dokumentasi yang hidup dan tidak dapat diingkari, serta akan dibeberkan pada mahkamah besar keadilan, niscaya ia akan selalu berhati-hati dalam ucapan dan perbuatannya. Dengan ini, kekuatan takwa akan berkuasa pada wujudnya, secara lahir maupun batin.

Meyakini adanya catatan amal yang akan mencatat segala perbuatan yang besar dan kecil, iman kepada para malaikat yang siang dan malam bertugas merekam dan mencatat amal perbuatan manusia, dan iman kepada realitas bahwa di Mahsyar, catatan amal ini akan dibentangkan di hadapan seluruh penduduk Masyhar sehingga seluruh dosa yang tersembunyi akan nampak jelas dan hal itu akan mempermalukannya di hadapan kawan dan lawan, iman kepada semua itu dapat menjadi faktor pencegah yang luar biasa terhadap perbuatan dosa.

Sebaliknya, catatan amal orang-orang yang melakukan kebaikan akan menjadi penyebab kehormatan dan kewibawaan mereka. Bahkan, dari perumpamaan kaset dan film yang disebutkan di atas, hal itu lebih utama, tinggi, dan lebih berpengaruh. Motivasi penting semacam ini akan menjadi pendorong perbuatan baik. Akan tetapi, terkadang iman lemah dan terkadang juga hijab lalai akan menjadi penyebab jauhnya manusia dari realitas penting ini. Kalau tidak, iman terhadap kaidah Al-Qur’an ini sudahlah memadai untuk mendidik manusia.[12]

Timbangan (mîzân) Amal di Hari Kiamat

Mereka yang beranggapan bahwa timbangan-timbangan pada Hari Kiamat seperti timbangan-timbangan di dunia ini, terpaksa harus meyakini bahwa untuk menimbang amal dan perbuatan manusia pada Hari Kiamat diperlukan semacam timbangan berat dan beban sehingga seluruh amalan dapat tertimbang dengan timbangan tersebut.

Akan tetapi, indikasi-indikasi yang ada menunjukkan bahwa maksud dari mîzân adalah sebuah alat timbangan yang bermakna umum. Karena, kita ketahui bahwa segala sesuatu memiliki alat yang layak untuk menimbang diri mereka. Alat timbangan (ukur) panas disebut sebagai mîzânul harârah. Media untuk mengukur udara disebut termometer.

Oleh karena itu, maksud dari timbangan amal dan perbuatan umat manusia yang melakukan kebaikan dan keburukan ditimbang dengan mîzân tersebut. Allamah Al-Majlisi menukil dari Syaikh Mufid, “Amirul Mukminin dan para imam dari putra-putra beliau a.s. merupakan para mîzân keadilan pada Hari Kiamat.”

Dalam Ushûl Al-Kâfî dan Ma'ânî Al-Akhbâr diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq a.s. bahwa seseorang datang kepada beliau dan bertanya ihwal makna ayat, “Kami meletakkan timbangan-timbangan keadilan pada Hari Kiamat”. Imam bersabda, “Timbangan-timbangan keadilan itu adalah para nabi dan para washî.”[13]

Dalam sebuah doa ziarah umum Amirul Mukminin Ali a.s., kita membaca, “Assalâmu 'ala mîzân al-A‘mâl” (Salam atas timbangan amal).[14]

Pada hakikatnya, orang-orang besar dan teladan ini merupakan timbangan amal dan perbuatan. Amal dan perbuatan setiap orang akan menjadi berat lantaran keserupaannya dengan mereka, dan amal perbuatan yang tidak serupa dengan mereka tidak akan memiliki bobot sama sekali atau sedikit bobotnya. Bahkan di dunia ini, para wali Allah adalah tolok ukur timbangan (amal). Hanya saja pada Hari Kiamat, masalah ini akan tampak.[15]

Hakikat Jembatan (Shirâth)

Meskipun pengetahuan detail tentang realitas-realitas yang bertalian dengan Kiamat dan dunia pascakematian sebagai dunia yang lebih utama dari dunia ini bagi penduduk dunia tidak mungkin adanya, akan tetapi perkara ini tidak lantas menjadi kendala untuk mengetahuinya secara global.

Yang dapat dipahami dari beberapa ayat dan riwayat adalah, bahwa shirâth merupakan jembatan yang melintang antara jalan neraka dan surga yang akan dilintasi oleh orang-orang yang berbuat kebaikan dan orang-orang yang berbuat keburukan. Orang-orang yang berbuat kebaikan dengan cepat akan melintasi jembatan tersebut dan mendapatkan anugerah-anugerah yang tak-berkesudahan dari Allah Swt.. Sementara orang-orang yang berbuat keburukan akan jatuh dan menjadi penghuni neraka. Bahkan, dari sebuah riwayat dapat dipahami bahwa kecepatan melintas manusia dari jembatan tersebut tergantung kepada timbangan iman, ikhlas, dan amal saleh mereka.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. disebutkan, “Sebagian orang melintas di atas jembatan tersebut laksana kilat, sebagian melintas laksana kuda cepat, sebagian merangkak, sebagian bak orang-orang yang berjalan, dan sebagian bergelantung untuk dapat melintasi jembatan tersebut. Terkadang api jahannam membakar sebagian dan membebaskan sebagian.”[16]

Mengapa harus melalui neraka untuk dapat sampai ke surga? Di sini terdapat poin-poin teliti yang perlu diperhatikan.

Dari satu sisi, penghuni surga, dengan menyaksikan jahanam, dapat mengetahui nilai dan keutamaan surga. Dan dari sisi lain, kondisi jembatan pada saat itu merupakan manifestasi (tajassum) kondisi kita di dunia ini. Mereka harus melintasi jahannam yang membakar hingga dapat mencapai surga ketakwaan. Dan dari sisi ketiga, jembatan ini merupakan ancaman serius bagi semua pendosa dan pemaksiat bahwa pada akhirnya lintasan mereka melalui jalan tipis dan licin serta berbahaya ini.

Oleh karena itu, dalam hadis Mufaddal bin Umar dari Imam Ash-Shadiq a.s. ihwal shirâth disebutkan, “Shirâth adalah jalan yang membentang menuju makrifat dan pengetahuan tentang Allah swt.”

Selepas itu, beliau menambahkan, “Shirâth terbagi menjadi dua: shirâth di kehidupan dunia ini dan shirâth di kehidupan akhirat. Shirâth dunia adalah ketaatan kepada imam yang wajib hukumnya. Barangsiapa yang mengenalnya dan mengikuti petunjuknya, ia akan dapat melintasi shirâth yang membentang di atas jahannam. Dan barangsiapa yang tidak mengenalnya di dunia ini, langkah kakinya akan bergetar di atas shirâth akhirat dan akan terpuruk pada api jahannam.[17]

Dalam Tafsir Imam Hasan Al-‘Askari a.s., kedua shirâth ini ditafsirkan sebagai shirâth yang lurus (mustaqîm) yang seimbang antara gulluw (kelebihan) dan taqsir (kekurangan), dan shirâth akhirat.[18]

Nuktah yang layak untuk diperhatikan adalah bahwa dalam riwayat-riwayat, melintas dari jalan ini penuh resiko dan berbahaya. Dalam hadis yang dinukil dari Rasulullah saw. (dan juga dari Imam Ash-Shadiq a.s.) disebutkan, “Sesungguhnya di atas neraka terdapat sebuah “jisr” (jembatan) yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari mata pedang”.[19]

Shirâth mustaqîm (lurus) dan hakikat wilâyah (imamah) dan ‘adâlah (keadilan) di dunia ini juga demikian adanya. Ia lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari mata pedang, lantaran garis lurus ini tidak lain adalah garis yang tipis. Dan selainnya, apa pun itu, adalah garis-garis yang menyimpang di kiri dan kanan.

Wajar kiranya shirâth Kiamat merupakan manifestasi nyata (tajjassum ‘aini) dari shirâth dunia ini.

Akan tetapi, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, ada sekelompok orang yang melintas dengan cepat di atas jalan yang sangat berbahaya ini; di bawah pelita iman dan amal saleh.

Tanpa syak bahwa hubungan dengan Nabi saw. dan Allah swt. dapat memudahkan untuk dapat melintas jalan yang berbahaya ini. Hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. menyebutkan: “Pada Hari Kiamat, tatkala shirâth dibentangkan di atas jahannam, hanya orang-orang yang dapat melintasinya,yaitu orang-orang yang memiliki izin. Dan izin itu adalah wilâyah Imam Ali.”[20]

Makna hadis yang serupa dengan hadis ini, meskipun berlainan redaksi, juga diriwayatkan dari Sayidah Fatimah Az-Zahra a.s.

Jelas bahwa wilâyah Imam Ali dan Fatimah a.s. tidak terpisah dari wilâyah Nabi saw. dan Al-Qur’an, Islam, dan para imam yang lain. Pada kenyataannya, kalau tidak berhubungan dengan para imam besar ini dari sisi iman, akhlak dan amal, seseorang tidak akan dapat melintasi jembatan ini. Dan dalam masalah ini, terdapat banyak hadis yang mengungkapkan kenyataan ini.[21]

Hal terakhir yang perlu disinggung di sini adalah dimensi tarbiyah pada iman terhadap shirâth; lintasan yang mengerikan, menggetarkan, lebih tipis dari rambut, lebih tajam dari pedang. Lintasan itu memiliki beragam terminal. Pada setiap terminal, seseorang akan ditanya; di satu tempat ditanya ihwal shalat, di tempat lain ditanya soal amanah dan silaturahmi, di satu tempat tentang keadilan, dan seterusnya. Melintasi lintasan ini tanpa izin dari wilâyah Nabi saw. dan Imam Ali dan berakhlak sebagaimana akhlak mereka, tidak akan berhasil. Dan akhirnya, cara melintasi jembatan tersebut sesuai dengan kadar cahaya iman dan amal saleh seseorang. Apabila seseorang tidak dapat melintasi jembatan tersebut dengan selamat, niscaya ia terpuruk ke dalam neraka jahannam, sekali-kali tidak akan mendapatkan sumber nikmat materi dan anugerah maknawi, yaitu kenikmatan surgawi dari sisi Allah swt.

Atas dasar uraian ini, beriman kepada shirat tentu akan terefleksi pada amal perbuatan dan pendidikan manusia. Imamlah akan menuntunnya dalam memilih jalan kehidupan, dan memilah antara hak dan batil dengan teliti, serta berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan.[22]

Falsafah Syafa'at itu; Apakah Syafa’at merupakan Pendorong untuk Melakukan Dosa?

Syafaat bukanlah pendorong untuk melakukan dosa, bukan juga lampu hijau untuk melakukan maksiat. Syafaat bukan merupakan faktor yang membuat orang terbelakang dan bukan perbuatan nepotisme, persekongkolan pada kehidupan dunia ini. Syafaat merupakan masalah signifikan dalam urusan pendidikan dari berbagai dimensi, serta memiliki efek positif dan konstruktif.

Poin-poin positif dan konstruktif syafaat antara lain:

a. Menumbuhkan Asa dan perjuangan melawan putus asa

Banyak hal yang menjadi sebab kuatnya hawa-nafsu sehingga seseorang terjerembab dalam perbuatan dosa besar. Menyusul perbuatan dosa tersebut, patah arang dan putus asa menyergap mereka yang telah berbuat dosa. Putus asa ini membuat orang lebih tercemari dan malah memberikan semangat dalam berbuat dosa. Sebab, mereka berpikir segalanya telah terjadi, lalu pasrah apakah terjadi sekali atau seratus kali.

Akan tetapi, harapan akan syafaat para wali Allah memberikan berita gembira kepada mereka. Dan apabila mereka berhenti melakukan dosa, dan memperbaiki diri, barangkali dosa-dosa mereka yang sebelumnya dapat tertutupi dengan kebaikan dan kesucian melalui jalan syafaat. Oleh karena itu, harapan akan syafaat membantu orang untuk berhenti melakukan perbuatan dosa dan kembali ke arah perbaikan dan takwa.

b. Menjalin Hubungan dengan Para Wali Allah

Dengan memperhatikan makna syafaat yang disebutkan di atas, dapat ditarik konklusi bahwa syafaat bergantung kepada adanya relasi antara pemberi syafaat (syâfi‘) dan penerima syafaat (musyafa‘ ‘anhu), yaitu hubungan dan relasi maknawi dari aspek iman, dan sebagian merupakan keutamaan serta termasuk kebaikan.

Tentu saja seseorang yang berharap syafaat, ia akan berusaha untuk menjalin hubungan ini, berbuat untuk meraih keridhaan mereka, tidak merusak tangga-tangga yang telah didakinya, dan tidak meruyak hubungan cinta dengan mereka.

Kumpulan dari semua itu akan menjadi faktor determinan dalam proses pendidikan dan secara gradual akan mengeluarkannya dari barisan orang-orang penyimpang dan pendosa. Atau setidaknya, di samping segumpal noda-noda dosa, ia dapat melakukan perbuatan baik, dan menghindarkan diri dari keterjerumusan yang lebih besar dalam perangkap setan.

c. Memperoleh Syarat-syarat Syafaat

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an disebutkan syarat-syarat yang beragam tentang syafaat. Yang terpenting di antaranya adalah izin Allah swt. Tentu saja, seseorang yang memiliki harapan akan syafaat, sebaiknya menyediakan lahan untuk diberikan syafaat, yaitu ia harus melakukan perbuatan sehingga menjadi kecintaan dan kekasih Allah swt.

Pada sebagian ayat ditegaskan bahwa pada Hari Kiamat, syafaat hanya akan berguna bagi orang yang diberikan izin oleh Tuhan untuk mendapatkan syafaat dan ia ridha atas firman-Nya. (QS. Thaha [20]: 109)

Pada ayat 28, surat Al-Anbiya [21] disebutkan bahwa orang-orang yang diampuni (dosa-dosanya) melalui syafaat adalah hanya orang-orang yang telah mencapai makam irtidhâ’ (keridhaan Tuhan). Dan sesuai dengan ayat 78, surat Maryam [19], orang-orang tersebut memiliki perjanjian dengan Tuhan. Dan sebagaimana yang telah kami sampaikan, seluruh kedudukan ini akan dapat dicapai melalui iman kepada Allah swt. dan kepada mahkamah keadilan-Nya, serta pengakuan akan nilai baik atau buruknya suatu perbuatan, dan kesaksikan terhadap kebenaran seluruh aturan-Nya yang diturunkan untuk umat manusia.

Selain itu, pada sebagian ayat lain disebutkan bahwa pemberian syafaat tidak termasuk untuk orang-orang dzalim. Dengan demikian, orang-orang yang berharap mendapatkan syafaat harus berada di luar barisan kaum dzalim.

Seluruh dimensi syafaat ini akan menyebabkan orang-orang yang berharap mendapatkan syafaat memperbaiki perbuatannya di masa lalu dan untuk hari esok, mengambil keputusan untuk menjadi lebih baik. Dimensi syafaat ini bernilai positif dan berperan besar dalam urusan pendidikan.

d. Perhatian terhadap Silsilah Para Pemberi Syafaat

Memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh para pemberi syafaat yang disebutkan dalam Al-Qur’an, demikian juga elaborasi yang terdapat dalam riwayat adalah dalil lain atas aspek pendidikan dalam masalah syafaat.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. disebutkan, “Lima hal yang memberikan syafaat pada Hari Kiamat, antara lain Al-Qur’an, silahturahmi, amanah, Nabimu, dan Ahlul Baitnya”.[23]

Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Nabi saw. disebutkan, “Pelajarilah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan pemberi syafaat pada Hari Kiamat.”[24]

Dari beberapa riwayat juga dapat dipahami bahwa sebaik-baik pemberi syafaat adalah taubat. Riwayat tersebut dinukil dari Imam Ali a.s., “Tidak ada syafaat yang lebih menyelamatkan daripada taubat”.[25]

Dalam beberapa riwayat dijelaskan pula bahwa syafaat dapat diberikan oleh para nabi, para washî, kaum mukmin, dan malaikat. Seperti hadis yang dinukil dari Nabi saw. bahwa, “Syafaat adalah milik para nabi, washî, kaum mukmin, dan malaikat. Dan di antara mukminin yang dapat memberikan syafaat adalah kabilah Rabi’ah dan Mudhar! Dan sekurang-kurangnya syafaat kaum mukmin adalah mereka dapat memberikan syafaat kepada tiga puluh orang.”[26]

Dalam hadis lain yang dinukil dari Imam Ash-Shadiq a.s. tercatat bahwa pada Hari Kiamat, Allah swt. membangkitkan orang alim dan orang ‘âbid. Tatkala mereka berada di mahkamah Ilahi, dikatakan kepada si abid, “Bergeraklah menuju Firdaus.” Dan kepada si alim dikatakan, “Berdirilah dan berikanlah syafaat kepada manusia berkat pendidikan baik yang engkau lakukan kepada mereka.”[27]

Sementara itu, redaksi-redaksi hadis ini -khususnya redaksi yang tertuang pada hadis yang terakhir di atas- secara jelas menunjukkan bahwa syafaat merupakan kelahiran baru, hubungan maknawi antara orang-orang baik, suci, kaum mukmin, dan para ulama.

Tentang para syuhada, Nabi saw. bersabda, “Seorang syahid dapat memberikan syafaat kepada sekitar tujuh puluh ribu orang dari keluarga dan kerabatnya (serta selainnya).”[28] Bahkan, sebuah riwayat menegaskan bahwa yang memberikan syafaat kepada manusia adalah ketaatannya kepada Allah swt. dan mengamalkan kebenaran”.[29]

Singkatnya, pembicaraan kita adalah ihwal kumpulan riwayat yang berjumlah sangat banyak yang terdapat dalam sumber-sumber hadis.

Konklusi jelas yang dapat kita ambil di sini adalah syafaat merupakan urusan terpenting dalam pendidikan islami yang menunjukkan nilai-nilai tinggi Islam dengan memperhatikan jenis pemberi syafaat. Seluruh muslimin termotivasi untuk bergerak ke arah nilai-nilai ini dan sifat-sifat pemberi syafaat, serta menjalin hubungan dengan mereka. Dengan ini, masalah syafaat terbebas dari setiap bentuk penafsiran yang tidak benar dan batil.[30]

Kontradiksi antara Tauhid dan Syafaat

Anggapan adanya kontradiksi antara masalah tauhid dan masalah syafaat sudah cukup populer. Hal ini muncul lantaran propaganda yang dilakukan oleh para penganut Wahabiyah, dan investasi mereka dalam perkara ini harus mendapatkan perhatian yang serius.

Pada prinsipnya, Ideologi Wahabiyah berkisar pada beberapa poros. Poros yang paling jelas berputar pada masalah Tauhid Af‘âli dan Tauhid Ibadah. Cabang-cabang tauhid ini sedemikian rupa mereka tafsirkan sehingga nampaknya terdapat pertentangan antara masalah syafaat, tawasul, pertolongan arwah para nabi dan wali, dan syafaat mereka di sisi Allah swt. hanya engan alasan bahwa seluruh mazhab Islam (selain Wahabi) menerima semua masalah ini, mereka (kaum wahabi) menghukumi mubah darah, jiwa, dan kehormatan mereka, layaknya orang-orang musyrik jahiliyah. Lantaran ideologi semacam ini, mereka telah menumpahkan banyak darah orang-orang Hijaz dan Irak dan menjarah harta mereka, serta melakukan perbuatan aniaya yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam sejarah Islam.

Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri aliran ini (wafat tahun 1206 H.) dalam sebuah kitab yang berjudul Risâlah Arba‘ah Qawâ‘id telah menjelaskan masalah ini. Berikut kami petikkan kesimpulannya di bawah ini:

Melepaskan diri dari syirik dapat dilakukan dengan mengenali empat kaidah:

1. Kaum musyrik yang berperang melawan Nabi saw. mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta, Pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta. Al-Qur’an berfirman, “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa [menciptakan] pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mengapa Kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’” (QS. Yunus [10]: 31)

Dengan demikian mereka percaya kepada tauhid râziqiyyah (yang memberikan rezeki), khâliqiyah (yang menciptakan), mâlikiyah (yang memiliki kekuasaan mencipta), dan tadbîr (yang mengatur).

2. Keserbasalahan perbuatan kaum musyrik adalah seperti yang mereka katakan, “Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak [pula] kemaslahatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah Kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya, baik di langit dan tidak [pula] di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan itu.” (QS. Yunus [10]: 18)

3. Nabi saw. memerangi seluruh orang yang beribadah kepada selain Tuhan, seperti orang-orang yang menyembah pepohonan, bebatuan, matahari, dan bulan. Atau mereka yang menyembah para malaikat, para nabi, dan kaum saleh. Nabi saw. tidak membedakan di antara keduanya. Kedua kelompok ini adalah musyrik.

4. Kaum musyrik pada masa kini (maksudnya adalah seluruh mazhab muslimin selain Wahabi) lebih buruk dari kaum musyrik Jahiliyah. Karena, jika dalam kondisi normal dan tenang, mereka menyembah berhala, dan tatkala merasa susah dan kepayahan, mereka hanya menyembah kepada Tuhan. Keadaan ini seperti yang dikisahkan Al-Qur’an, “Maka apabila mereka naik bahtera, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan mereka kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah].” (QS. al-‘Ankabut [29]: 65)[31]

Anehnya, sedemikian mereka kokoh dan teguh dalam pernyataan mereka, namun pada hakikatnya mereka terjerat di dalam mughalathah (kerancuan berpikir). Dengan mudahnya mereka menganggap mubah harta dan jiwa orang-orang yang berseberangan dengan mereka dan membolehkan membunuh mereka. Syaikh Sulaiman, seorang tokoh aliran sesat ini berkata dalam “Al-Hidâyah As-Sunniyah-nya; “Kitab dan Sunnah memberikan kesaksian bahwa barangsiapa yang menjadikan para malaikat, para nabi, Ibnu Abbas, dan Abu Thalib sebagai perantara antara mereka dan Allah Swt. sehingga lantaran kedekatan mereka dengan-Nya, mereka akan mendapatkan syafaat di hadirat Allah swt., maka orang seperti ini adalah kafir dan musyrik; harta dan jiwa mereka mubah hukumnya, meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, dan berpuasa".

Ketegaran dan kekokohan mereka pada penghukum keji dan memalukan ini, yaitu menganggap mubah darah dan harta kaum muslimin, dalam beberapa peristiwa sejarah yang berbeda, seperti pembunuhan massal masyarakat Tha’if di Hijaz (pada bulan Shafar 1342) dan pembunuhan massal di Karbala, Irak (18 Zulhijjah 1216) menjadi bukti dan saksi atas kebiadaban mereka.

Poin-poin Deviasi Penalaran Wahabiyah

1. Ayat-ayat Al-Qur’an dengan tegas menerangkan bahwa masalah syafaat telah termuat di dalam Al-Qur’an dan Islam. Begitu pula, syarat-syarat yang dimiliki oleh orang yang memberikan syafaat dan orang yang menerima syafaat tercantum dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang mengklaim Islam dan Al-Qur’an tetapi mengingkari kaidah ini, karena terdapat bukti-bukti nyata yang menegaskan kaidah ini. Dan kita terkejut bagaimana mereka (Wahabiyah) menggangap diri mereka sebagai muslim lalu menolak kaidah yang merupakan hal-hal yang sudah gamblang agama dan Al-Qur’an (dharûriyât). Apakah mungkin seorang muslim dapat mengingkari dharûriyât dan kebenaran Al-Qur’an?

2. Syafaat yang dibela di dalam Al-Qur’an merupakan syafaat yang kembali kepada garis utamanya, yaitu izin Allah Swt. Kalau Dia tidak memberikan izin syafaat, seseorang tidak berhak untuk mendapatkan syafaat. Dengan kata lain, syafaat berasal dari izin Allah swt., bukan syafaat yang dimiliki oleh para sultan, yang berasal dari bawah dan berdasarkan hubungan pribadi.

Syafaat ini (dari Allah Swt.) semacam penegasan atas prinsip tauhid, sebab garis utamanya berasal dari sisi Allah Swt. Tauhid ini lepas dari segala bentuk syirik. Akan tetapi, Wahabiyah salah menempatkan antara syafaat qur’ani dan syafaat setani dari para sultan. Mereka mengingkari syafaat qur’ani. Mereka beranggapan bahwa syafaat semacam ini bertentangan dengan tauhid. Justru sesungguhnya mereka telah mengkritisi anggapan mereka sendiri dalam masalah ini, bukan terhadap syafaat qur’ani.

3. Syafaat sesungguhnya sejenis penyebab keselamatan, sebagaimana keyakinan akan adanya sebab-sebab di dalam alam semesta ini, seperti efek sinar matahari dan deras air hujan dalam pertumbuhan pohon-pohon, selaras dengan rinsip tauhid. Dan pada kenyataannya, perbuatan mereka sebentuk syafaat dalam tata cipta (takwînî). Begitu pula di alam tata hukum syaria’t (taysri’i), adanya sebab-sebab demikian untuk ampunan dan keselamatan juga terwujud berkat izin Allah swt. Hal ini tidak hanya selaras dengan tauhid, akan tetapi juga menegaskannya. Dan syafaat ini disebut sebagai syafaat tasyrî’î.

4. Syafaat berhala-berhala yang dinafikan oleh Al-Qur’an, dari satu sisi, adalah lantaran para penyembah berhala itu menempatkan wujud-wujud yang sama sekali tak berpengaruh ini sebagai pemberi syafaat kepada mereka. Oleh karena itu, di permulaan ayat 18, surat Yunus [10] yang secara khusus menjadi sandaran mereka, dengan gamblang ditegaskan, “Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemaslahatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.’”

Tentu saja syafaat jenis ini tidak ada kaitannya dengan syafaat para nabi dan wali. Syafaat jenis ini adalah syafaat arca-arca bebatuan dan baja yang tak berakal. Dari sisi lain, syafaat yang dicela oleh Al-Qur’an adalah syafaat yang berasaskan keyakinan pada kemandirian (istiqlâl) pemberi syafaat, yaitu mereka dapat memberikan efek dan pengaruh terhadap nasib manusia tanpa adnya izin dari Allah Swt. Oleh karena itu, di dalam surat Az-Zumar [39], ayat 3 yang secara khusus menyinggung dalil mereka, ditegaskan, “... dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka selain supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan.”

Sesuai dengan ayat ini, mereka menganggap sesembahan itu sebagai wali, pengurus, dan pelindung lalu mereka menyembahnya. Anggapan dan penyembahan ini merupakan kesalahan besar mereka.

Akan tetapi, apabila seseorang yang sama sekali tidak menyembah malaikat, para nabi, dan wali Allah, namun menganggap mereka sebagai budiman, santun, dan pemberi syafaat di hadirat Allah Swt dan dengan izin-Nya, ia sama sekali tidak termasuk dalam kategori kecaman ayat-ayat ini.

Para pengikut aliran Wahabiyah, lantaran ketidakcakapan mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an ihwal syafaat, iman, kufur, dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Allah Swt. terhadap para pemberi dan penerima syafaat, mereka campur-adukkan masalah ini dengan kepercayaan para penyembah berhala.

Lantaran tidak melihat hakikat,

Ia menyusuri jalan legenda.

5. Pendapat para pengikut alirah Wahabiyah -bahwa para penyembah berhala Arab masih menganggap penciptaan, kepemilikan, dan pemberian rezeki termasuk sifat-sifat khusus Allah swt. dan kesalahan mereka hanya pada masalah media dan syafaat berhala-berhala tersebut- adalah salah satu kesalahan mereka yang bersumber dari ketidakcakapan ilmiah dan kurangnya penguasaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Banyak ayat yang sebagiannya diyakini oleh mereka tentang sifat-sifat berhala tersebut, seperti surat al-‘Ankabut [29], ayat 65, “Maka apabila mereka naik bahtera, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan mereka kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah]”.

Dapat dipahami bahwa redaksi ayat ini dengan baik menunjukkan bahwa untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam keadaan normal, mereka mengadukannya kepada berhala-berhala, kendati dalam kondisi payah mereka menyebut nama Tuhan.

Di dalam surat Fathir [35], ayat 40, , Allah Swt. memerintahkan Nabi saw., “Katakanlah, ‘Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang Kamu seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku [bagian] manakah dari bumi yang telah mereka ciptakan ataukah mereka memiliki andil dalam [penciptaan] langit ....”

Apabila musyrikin beranggapan bahwa sifat pencipta hanya khusus milik Tuhan, dan memandang berhala-berhala sebagai pemberi syafaat, pertanyaan di ayat ini tidaklah bermakna, lantaran mereka menjawab, “Kami tidak meyakini berhala tersebut sebagai pencipta. Berhala itu kami anggap sebagai satu-satunya media antara makhluk dan pencipta. Memangnya harus ada media antara makhluk dan pencipta?

Hal ini menandaskan adanya sebuah bentuk syirik dalam penciptaan. Dan Nabi saw. ditugaskan untuk menerangkan kebohongan mereka dengan bertanya; siapakah yang menciptakan berhala-berhala tersebut?

Di dalam surat Al-Isra’ [17], ayat 111, juga mengindikasikan anggapan mereka bahwa berhala-berhala tersebut serupa dengan Tuhan dalam kepemilikan (mâlikiyah) dan pemerintahan (hâkimiyah) atas alam semesta. Bahkan mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut membantu Tuhan ketika menghadapi masalah. “Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong pun [untuk menjaga-Nya] dari kehinaan dan agungkanlah Ia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.”

Firman yang terdiri dari tiga bagian ini, masing-masing menafikan kepercayaan para penyembah berhala yang menyatakan bahwa “para malaikat itu adalah putri-putri Tuhan” (walad dapat digunakan pada putra atau putri)[32], berhala-berhala tersebut merupakan sekutu Tuhan dan menganggapnya sebagai pembantu Tuhan.

Jelas bahwa apabila kepercayaan ini tidak ada pada lingkungan seperti itu, redaksi Al-Qur’an ini tidak akan berarti apa-apa.

Patut untuk diperhatikan bahwa Al-Qur’an di berbagai tempat menengarai para penyembah berhala sebagai orang-orang musyrik dan perbuatan mereka merupakan perbuatan syirik. Sekiranya mereka tidak berkeyakinan akan adanya persekutuan antara Tuhan dan berhala, dan hanya memandang bahwa berhala-berhala tersebut sebagai pemberi syafaat di hadirat Tuhan, maka redaksi ayat ini tidak benar. Teks syirik dan musyrik menyatakan pandangan mereka bahwa berhala-berhala tersebut sekutu Tuhan dalam rubûbiyah atau khâliqiyah, dan semisalnya. (Tentu saja berhala-berhala batu dan kayu tersebut merupakan lambang dan manifestasi dari para orang saleh dan para malaikat).

Dengan kata lain, mereka percaya bahwa berhala-berhala tersebut dengan sendirinya dan mandiri mengelola alam semesta. Sesuai keterangan mereka, berhala-berhala tersebut merupakan sesuatu yang serupa dengan Tuhan, tidak sekedar sebuah media dan perantara di sisi-Nya.

Khususnya redaksi-redaksi beragam yang tertuang dalam Al-Qur’an bagaimana menyodorkan pembahasan ini secara jelas. Misalnya, dalam surat Al-‘Ankabut [29], ayat 22, “... dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah.”

Ayat ini menyiratkan kepercayaan para penyembah berhala. Ayat ini menyebutkan bahwa berhala-berhala tersebut adalah pelindung dan wali mereka (selain Tuhan). Kenyataan ini yang tercetuskan dalam surat Al-Jatsiyah [45], ayat 10, “... dan tidak akan berguna lagi bagi mereka sedikit pun apa yang telah mereka kerjakan, dan tidak pula berguna apa yang mereka jadikan sebagai sembahan-sembahan [mereka] selain Allah ....”

Redaksi “selain Allah” (mindunillah) secara berulang disebutkan dalam Al-Qur’an sehubungan dengan masalah kaum musyrikin. Ini menunjukkan bahwa berhala-berhala tersebut merupakan makhluk-makhluk yang menyita perhatian mereka selain Tuhan. Sehingga berhala-berhala tersebut menjadi wali, penolong, dan pembela mereka. Dan hal ini merupakan syirik rubûbiyah, yang tidak terkait dengan masalah syafaat.

Singkatnya, Al-Qur’an dalam pelbagai ayat mengkritisi secara tajam kaum musyrikin. Pertama, berhala-berhala tersebut merupakan makhluk yang tidak mengerti apa-apa. Mereka menganggapnya sebagai sumber kejadian (mabda’ atsar). Dan kedua, berhala-berhala tersebut berada di samping pengaturan Tuhan, dan mereka yakin terhadap rubûbiyah berhala tersebut.

Tentu saja, ucapan para penyembah Jahiliyah serbakontradiksi. Mereka bukanlah orang-orang yang berpengetahuan dan berpikiran logis. Mereka menjelaskan ucapan-ucapan mereka tanpa bebas dari kontradiksi dan kerancuan. Oleh karena itu, sembari mereka beranggapan bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sekutu Tuhan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi, mereka juga memperkenalkan berhala-berhala tersebut sebagai mindunillah dan terpisah dari Tuhan; sebagai wali dan pembela bagi mereka. Terkadang mereka menyebutkan masalah syafaat di sisi Tuhan, dan hal ini berarti adanya keyakinan terhadap syirik af'âli (menyukutan Tuhan dalam perbuatan-Nya—AK.).

Semua ini merupakan telaah dari sekumpulan ayat-ayat dan kondisi mereka. Lagi pula, mereka tidak beranggapan bahwa syafaat itu adalah bergantung kepada izin Tuhan.

Oleh karena itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa apabila seseorang menanti syafaat kepada manusia-manusia soleh dan para wali Allah (tidak mencarinya dari berhala-berhala bebatuan dan pepohonan) dan mempercayai mereka hanyalah sebagai pemberi syafaat di sisi Tuhan, (bukan sekutu dalam otoritas [wilâyah], pembela, dan pengatur), serta syafaat mereka dapat terlaksana berdasarkan izin-Nya (tidak mandiri dari-Nya), maka ini dibenarkan. Masalah kemudian yang akan mengemuka ialah jika seseorang tidak mengindahkan salah satu dari tiga prinsip (Tauhid, Kenabian dan Hari Kiamat) ini dan melampaui batas-batasnya.[33]

[1] Dalam buku fisiologi juga diisyaratkan masalah ini. Sebagai contoh, silakan Anda rujuk buku Hormon-hormon, hal. 11 dan buku Fisiologi Hewan yang disusun oleh Dokter Mahmud Behzad et. al., hal. 32

[2] Pembahasan ini adalah ringkasan dari buku Ma’âd, Jahân Pas az Marg (Dunia Pasca Kematian), Bakhsh-e Istiqlâl-e Ruh, dan Tafsir Nemûneh, jilid 12, hal. 250.

[3] Redaksi ini merupakan figuratif (kinâyah) yang berarti memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

[4] Jâhil qâshir ini adalah kebalikan dari jâhil muqashshir. Yaitu, seorang yang memiliki kapabilitas untuk mendapatkan ilmu. Namun, ia mengabaikan dan lebih memilih untuk tetap tidak tahu—AK.

[5] Surat Yusuf [12]: 90, dan juga surat-surat yang lain.

[6] Bihâr al-Anwâr, jilid 3, cetakan Kumpani, hal. 377.

[7] Idem, hal. 382.

[8] Safinat al-Bihâr, jilid 2, hal. 607.

[9] Idem.

[10] Tafsir Nemûneh, jilid 10, hal. 313.

[11] Tafsir ash-Shâfî.

[12] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 6, hal. 107.

[13] Tafsir al-Burhân, jilid 3, hal. 61; Ushûl al-Kâfî, jilid 1, hal. 419. Hadis semacam ini juga terdapat pada kitab-kitab tafsir lainnya.

[14] Muhaddits al-Qomi dalam Mafâtîh al-Jinân, menempatkan doa ziarah ini sebagai ziarah pertama ziarah mutlak.

[15] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 6, hal. 159.

[16] A^mâli ash-Shadûq, majlis 33.

[17] Ma'ânî alAkhbâr, hal. 32, hadis ke-1.

[18] Bihâr al-Anwâr, jilid 8, hal. 69, hadis ke-18.

[19] Mîzân al-Hikmah, jilid 5, hal. 348. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq as disebutkan, “Di atas neraka terdapat ungkapan shirâth, bukan jisr.” Bihâr al-Anwâr, jilid 8, hal. 64, hadis ke-1.

[20] Bihâr al-Anwâr, jilid 8, hal. 68, hadis ke-11.

[21] Bagi Anda yang hendak mengkajinya lebih dalam, silakan rujuk Bihâr al-Anwâr, jilid 8, bagian shirâth, khususnya riwayat 12, 13, 14, 15, 16, 17

[22] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 6, hal. 191.

[23] Mîzân al-Hikmah, jilid 5, hal. 122.

[24] Musnad Ahmad, jilid 5, hal. 251, cetakan Beirut, Dar ash-Shadr.

[25] Nahjul Balâghah, khutbah ke-176.

[26] Bihâr al-Anwâr, jilid 8, hal. 58, hadis ke-75.

[27] Bihâr al-Anwâr, hal. 56, hadis 66.

[28] Majma’ al-Bayân, jilid 2, hal. 538 (di bawah surat Ali ‘Imran [3], ayat 171)

[29] Gurar al-Hikam.

[30] Dalam kitab Tafsir al-Mîzân, setelah menafsirkan bahwa syafaat adalah pengaruh sebab-sebab (asbâb) terhadap akibat (musabbabât), dijelaskan bahwa para pemberi syafaat terbagi menjadi dua bagian, pada alam takwînî dan alam tasyrî’î, dan di antara para pemberi syafaat tasyrî’î adalah taubat, iman, amal saleh, Al-Qur’an, para nabi, para malaikat, dan kaum mukmin. Dalam hal ini, penyusun Tafsir al-Mîzân berdalil dengan ayat yang bertalian dengan syafaat yang diberikan oleh orang-orang ini dalam pengampunan dosa-dosa, kendati titel ayat tersebut tidak bertaut dengan masalah syafaat. Misalnya, surat Az-Zumar [39], ayat 54, Al-Hadid [57], ayat 28, Al-Ma’idah [5], ayat 9 dan 16, An-Nisa’ [4], ayat 64, al-Mu’min [40], ayat 7, dan Al-Baqarah [2], ayat 286). Silakan juga rujuk Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 6, hal. 523.

[31] Risâlah Arba‘ah Qawâ‘id, karangan Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Wahabi, hal. 24 hingga 27, sesuai dengan nukilan dari Kasyf al-Irtiyâb, hal. 163.

[32] Walad bermakna anak yang dilahirkan yang dinisbahkan kepada kecil, besar, putra atau putri, singular atau plural. Silakan rujuk, Mufradât ar-Râghib.

[33] Tafsir Payâm-e Qur’ân, jilid 6, hal. 536.