Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

KECINTAAN IBNU SIKKIT KEPADA IMAM ALI

2 Pendapat 04.5 / 5

Sejarah mengenal serta menyaksikan bahwa banyak orang yg mengorbankan dirinya demi kencintaan kepada Imam Ali. Di mana hampir tidak dapat lagi ditemukan daya tarik seseorang yg sehebat dan sedahsyat itu. Daya tarik yang begitu kuat, mengikat dan betapa mempesonanya kehidupan beliau itu.
Seorang Penulis Nasrani asal Lebanon, George Jordac, pernah menulis sebuah buku yg menurut saya sangat manis dan layak dijadikan koleksi dalam rak buku. Buku tersebut berjudul 'Khalifah Terakhir', Terjemahan Indonesia (judul asli Suara Keadilan). Tapi, kali ini kita tidak akan bahas buku tersebut, Insya Allah di lain waktu.
Tiada lain, karena daya tarik Imam Ali mampu menawan siapa saja yang hendak membuka hati dan pikirannya. Kefasihan bahasa beliau tidak berhenti atau hanya di tujukan pada satu mazhab, suku dan bangsa tertentu, melainkan kalimat-kalimat dan pribadi beliau itu bersifat universal, untuk semua kalangan dan memiliki makna-makna yang mendalam. (Baca: Ghurar al-Hikam).
Di sisi lain, beliau merupakan teladan penting setelah Rasulullah Saww, inspirasi besar bagi siapa saja yang bermoral, peduli kepada kaum mustad'afin dan yang hendak menentang kedzaliman-kedzaliman. Bak medan magnet, Imam Ali menarik segala macam paku, yang lurus maupun yang bengkok, yang di atas maupun yang tergeletak di bawah, yang bagus maupun yang sudah berkarat.
Namun demikian, sebagaimana Imam Ali mempunyai para pencinta yang sedemikian kuat ikatan batinnya dengan beliau, pada saat yang sama juga beliau memiliki musuh-musuh bebuyutan yang tidak akan pernah rela padanya. Dan mungkin saja kita termasuk orang-orang yang sebatas klaim dalam mencintai beliau (mudah-mudahan tidak begitu).
Kisah Ibnu Sikkit di bawah ini, barangkali bisa memberi gambaran bagi kita.
Di dalam 'Kumpulan Hikayat Penuh Hidayah', hal.252, Muhammad Jawad Shohibi meriwayatkan sebuah kisah yang menarik,
Ibnu Sikkit adalah seorang alim besar, tokoh di bidang sastra dan termasuk salah seorang pencetus ide dan rumus dalam bahasa Arab sekelas Sibawaih.
Ibnu Sikkit hidup di masa kekhalifahan Mutawakil Abbasi sekitar dua ratus tahun pasca syahadah Imam Ali as. Oleh pemerintahan Mutawakkil dia dijerat dan ditawan karena terbukti sebagai pengikut dan pencinta Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi karena dia adalah seorang yang sangat alim dan penuh keutamaan, maka Mutawakil menjadikannya sebagai guru bagi putera-putranya.
Suatu hari ketika putra-putra Mutawakil datang menemui ayahnya bersama Ibnu Sikkit dan diberitakan kepadanya bahwa mereka dapat mengikuti pelajaran degan baik, maka Mutawakil di samping menunjukan kerelaan serta rasa senang atas upaya Ibnu Sikkit dalam hal mengajar, bertanya padanya (pertanyaan ini sengaja dia tanyakan untuk mengetahui apakah Ibnu Sikkit benar-benar seorang pencinta Imam Ali atau bukan),
"Wahai Ibnu Sikkit, katakan padaku manakah yang lebih kau cintai antara kedua puteraku ini dgn Hasan dan Husain putera Ali?"
Ibnu Sikkit sangat marah dan tdk senang degan kelancangan Sang Khalifah yang hendak mensejajarkan putera-putranya degan Imam Hasan dan Imam Husain. Ibnu Sikkit naik pitam, darahnya seakan mendidih lalu berkata dalam hati,
"Begitu angkuh dan bodohnya orang ini sehingga berani membandingkan putera-putranya dengan dua cahaya mata Rasul Saww, mungkin ini adalah salahku yg mau menerima tanggung jawab sebagai guru bagi mereka."
Oleh karenanya, dgn tegas Ibnu Sikkit berkata kpd Mutawakil,
"Demi Allah, Qanbar (pelayan Imam Ali), bertingkat-tingkat jauh lebih mulia dari kedua puteramu ini dan lebih aku cintai!"
Pada saat itu juga Mutawakil memerintahkan para algojonya untuk mengeluarkan lidah Ibnu Sikkit dari belakang lehernya.