Menulis

Teruslah menulis! Bagus dan tidaknya, biarkan pembaca menilai!" (Habib Muhamad Quraisy Sihab)

Menulis adalah jalan untuk hidup setelah kematian. Menulis adalah air ketuban imajinasi. Sedangkan karya adalah bayi peradaban. Dr. Muchlis Hanafi mengibaratkannya sebagai "umur kedua". Atau seperti dijelaskan penyair dan sastrawan kenamaan Mesir, Ahmad Syauqi, kenangan abadi yang tersisa setelah mati menjadi umur kedua bagi seseorang. Kalau anak keturunannya hanya hidup pada masa tertentu, tidak demikian halnya dengan sebuah karya. Ia akan dapat bertahan hidup sepanjang masa.

Ibnu Jarir al-Thabari, rektor para mufassir menulis setiap hari rata-rata empat belas lembar. Selama hidup beliau telah menulis 358.000 lembar dari berbagai fan-fan ilmu. Hebatnya, beliau termasuk ulama yang Hasûr, yang menahan nikah atau jomblo hingga akhir hidupnya. Keproduktifitasan Imam Thabari diakui hingga imam Nawawi pernah berkata dalam Tazhib Asma wa Luhgat-nya: لم يصنف أحد مثله "Jarang-jarang orang mengarang kitab sepertinya.

Imam Jalaluddin al-Suyuthi menulis hampir 600 kitab dari berbagai fan-fan ilmu yang berbeda. Konon suatu hari, ayahnya menyuruh sang ibu mengambilkan kitab. Sang ibu pada waktu itu dalam keadaan hamil. Ketika hendak menyerahkan kitab kepada sang suami, Imam Suyuthi lahir. Tak mengherankan kecintaan dan kegigihan beliau dalam ngaji dan menulis sangat-sangat besar.

Imam Nawawi--sebagaimana diceritakan dalam Arbain Nawawi syarah Ibnu Daqqiq al-Îed--ketika berjalan, beliau menyibukkan diri dengan menakrir hafalan yang telah dihafal maupun yang akan dipelajari. Keproduktifitasan-nya tidak disangsikan. Cukuplah Majmu Syarah Muhazzab, 28 Jilid menjadi saksi atas itu. Bahkan ada yang pernah berkata bahwa siapa yang hendak membaca semua karya Imam Nawawi, maka ia akan mati terlebih dahulu, sedangkan kitab Imam Nawawi belum selesai terbaca.

Manhaj menulis mereka juga tidak sebentar. Berproses. Badruddin al-Aini--salah satu pakar hadist kenamaan abad 8 H, menulis syarah Shahih Bukhari, Umdatu Al-Qari' selama 20 tahun! Syaikh Muhammad Thanthawi menulis tafsir al-Wasith selama sepuluh tahun. Syaikh Wahbah Zuhaili menulis tafsir al-Munir selama 4 tahun. Syaikh Quraish Shihab menulis tafsir al-Misbah selama 4 tahun. Bagaimana bisa perhatian mereka terhadap tulis-menulis sedimikian rupa? Jawabannya singkat: waktu. Mereka benar-benar menghargai waktu. Benar apa yang disampaikan syaikh Hasan Syafi'i pada suatu kesempatan,

انصحكم نصيحة واحدة؛ عدم تبذير الوقت، واقتصاد الشديد في ادارة الوقت. وهذا تصنع العلماء!

"Aku menasehatimu satu hal: jangan sampai menyia-nyiakan waktu dan cermat-cermatlah dalam menggunakan waktu. Inilah yang membuat seseorang menjadi ulama!"

Imam Zamkasyari selah menulis, konon beliau membawa thawwaf tulisan itu. Tujuannya barangkali agar bisa memekarkan kemanfaatan. Habib MQS juga melakukan hal serupa, yaitu membawa thawwaf Flasdisk yang di dalamnya terdapat file buku "Sirah Nabi Muhammad dalam pandangan Alquran dan Hadist-Hadist Shahih". Imam al-Shanhaji--shahibu Jurumiyah--setelah menulis menceburkan ke dalam laut, demi menguji keikhlasan jiwanya. Dan masih banyak lagi kisah-kisah seperti itu, bagaimana mereka menautkan Allah dalam tulisan-tulisan mereka, hingga benar-benar meresap ke hati para pembacanya.

Kadang diri ini amat malu melihat semangat mereka dalam menulis. Ya, mereka menulis secara manual. Menggunakan tangan. Tidak ada Laptop ataupun Komputer. Kertas pun terbatas, kadang baru ada setelah menunggu selama dua tahun. Tapi tulisan mereka bejibun menumpuk bak gunung. Bahkan kalau seandaikan kertas-kertas yang berisi tulisan-tulisan itu dijadikan karpet di masjid Istiqlal, maka pasti sangat mencukupi. Sedang kita, kertas banyak. Laptop dan Komputer di mana-mana, namun tulisan minim. Baru menulis ketika datang ilham berupa "mood".

Ibnu Katsir dalam tafsirnya;

وقوله : ( والقلم ) الظاهر أنه جنس القلم الذي يكتب به كقوله ( اقرأ وربك الأكرم الذي علم بالقلم علم الإنسان ما لم يعلم ) [ العلق : 3 - 5 ] . فهو قسم منه تعالى ، وتنبيه لخلقه على ما أنعم به عليهم من تعليم الكتابة التي بها تنال العلوم ; ولهذا قال : ( وما يسطرون ) قال ابن عباس ، ومجاهد ، وقتادة : يعني : وما يكتبون .

Firman-Nya: "Demi pena" secara dhahir ia adalah jenis pena alat menulis. Seperti firman-Nya: "Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang mulia, yang mengajari manusia dengan pena. Juga mengajari apa yang belum diketahui. Al-Alaq. 3-5. Ayat ini merupakan sumpah Allah. Dan peringatan kepada hamba-Nya tentang nikmat yang telah dianugerahkan berupa tulis-menulis yang dengannya ilmu bisa diperoleh. Kalimat يسطرون oleh Ibnu Abbas, Mujahid dan Qatadah ditafsiri sebagai menulis.

Yang sedemikian pentingnya menulis, sampai-sampai Allah bersumpah atas-nya.

Terakhir, ada Quetes indah dari JK. Rowling, shahibu Harry Potter:

“Apa yang kau tulis, menjadi siapa dirimu. Maka yakinkan bahwa kau mencintai apa yang kau tulis!”

Yuk nulis!