Hak dan Kewajiban Suami-Istri, antara Fikih dan Akhlak (Bagian Keempat)

Rasulullah saww bersabda,“Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak-hak keluarganya maka terlaknatlah ia.” [Wasa’il asy-Syi’ah, jilid 7, hal 151]

Kewajiban-Kewajiban Istri

Sebelumnya kita telah menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban suami yang merupakan hak-hak istri. Sementara sekarang ini kita akan mengupas tentang kewajiban-kewajiban istri yang merupakan hak-hak suami. Istri harus melakukan tugas dan kewajibannya berikut ini;

1. Pergi Keluar Rumah dengan Seizin Suami
Setelah menikah dan menjadi istri dari seseorang, seorang istri tidak dapat keluar rumah begitu saja tanpa ijin suaminya. Namun, bukan berarti setiap keluar rumah meski ke warung dekat untuk beli garam pun harus ijin suami. Jika ia mengetahui suaminya akan mengijinkannya maka bisa keluar tanpa ijinnya.

“Seorang istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suaminya, walaupun hal tersebut berkaitan dengan keluarga istri, ataupun untuk menjenguk orang tuanya, atau untuk menghadiri hari kesedihan keluarganya.”

Dalam kitab Istifta Imam Khomaeni menyebutkan, “Jika istri merasa yakin bahwa suaminya akan mengizinkannya, maka hukumnya tidak apa-apa keluar rumah tanpa meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu.”

2. Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami
Pemenuhan kebutuhan seksual suami oleh istri lebih ditekankan lagi dibandingkan pemenuhan kebutuhan seksual istri oleh suami. Hal ini mungkin kembali pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal seksual.

“Seorang istri harus menyerahkan dirinya untuk kenikmatan suaminya, dan tidak boleh menolak ajakan suaminya untuk berhubungan seksual, jika tidak ada halangan (uzur).”

3. Bernazar dan Bersumpah dengan Izin Suami
“Tidah sah hukumnya nazar seorang istri, jika nazar tersebut dilakukan tanpa seizin suami, meskipun nazar tersebut dari harta benda miliknya sendiri.”

“Jika dengan melaksanakan puasa sunnah, akan menyebabkan hilangnya hak suami atau suami melarang istri untuk melakukan puasa sunnah, maka ihtiyatnya ia tidak boleh berpuasa”.

“Jika suami tidak mengizinkan istrinya untuk bersumpah, maka sumpahnya tidak sah.”

Jika dalam hal-hal Sunnah seperti puasa dan sedekah dengan harta suami maka harus seijin suami. Namun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban istri seperti haji, zakat maka tidak memerlukan ijin suami.

“Disebutkan bahwa istri tidak memiliki wewenang dalam urusan, dalam perkara-perkara seperti sedekah, pemberian (hibah) dan nazar dengan harta, istri harus meminta izin suami.Kecuali dalam perkara-perkara seperti: haji, zakat, berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung silaturahmi dengan kerabat istri. Perincian masalah tersebut akan dijelaskan pada pembahasan sendiri…”

4. Menjaga Penampilan di Hadapan Suami
Biasanya perempuan akan berusaha tampil cantik dan sempurna saat mau hadir ke acara-acara seperti kondangan, arisan pengajian, pesta dan lainnya. Namun, tidak mempedulikan penampilannya saat di rumah di hadapan suaminya. Bahkan kadang suami disuguhi daster butut, bau keringat dan lainnya hingga suaminya merasa risih dan malas melihatnya. Padahal berdasarkan hukum fikih menjaga penampilan di hadapan suami itu merupakan kewajiban seorang istri. Dalam Tahrir Wasilah disebutkan,

“Istri harus menjauhkan dirinya dari hal-hal yang menyebabkan suaminya tidak bergairah kepadanya.”

“Seorang istri, harus membersihkan dirinya dan berhias jika suaminya menghendakinya.”

Itulah kewajiban-kewajiban suami-istri dalam berumah tangga, yang jika mereka tidak melakukan hal-hal tersebut maka dianggap suami-istri yang nusyuz. Nusyuz ialah istilah hukum yang diberikan kepada suami-istri yang tidak melakukan kewajiban-kewajibannya. Terdapat cara-cara yang telah dijelaskan dalam hukum fikih dalam menangani suami-istri yang nusyuz.

Fikih dan Akhlak, Pondasi dalam Kehidupan Rumah Tangga

Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa berdasarkan hukum fikih, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah bukan merupakan kewajiban istri. Artinya, jika istri tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut, ia tidaklah berdosa.

Itu jika kita bicara secara hukum fikih. Namun, di sisi lain, kehidupan rumah tangga tidaklah dapat hanya berlandaskan pada hukum-hukum fikih saja, tapi juga harus berlandaskan kepada akhlak. Kenapa? Karena jika kehidupan rumah tangga hanya berlandaskan hukum fikih saja, maka akan kering, jauh dari kehangatan dan menjadi ajang untuk saling menuntut hak-hak dan kewajibannya antara suami-istri. Tentu, itu bukanlah tujuan dari sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, sebagaimana yag telah disinyalir dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 21.

Dari sini kita faham bahwa dalam menjalankan kehidupan rumah tangga, antara fikih dan akhlak harus seiring. Tidak hanya berlandaskan pada fikih saja, atau sebaliknya hanya berlandaskan pada akhlak saja. Pekerjaan-pekerjaan rumah bukanlah kewajiban istri yang telah ditetapkan dalam fikih, namun merupakan anjuran agama yang bersifat kebaikan dan prilaku akhlaki.

Di saat pasangan suami-istri memahami dengan benar antara kewajiban-kewajibannya secara fikih, dan kebaikan-kebaikannya secara akhlaki, maka rumah tangga akan berpondasikan keikhlasan dan cinta Allah Swt. Suami tidak akan semena-mena memperlakukan istri dengan menganggapnya bahwa hal-hal tersebut sebagai kewajiban-kewajiban istri. Demikian istri juga, tidak mentang-mentang karena merasa bukan kewajibannya, bertindak semaunya. Suami maupun istri jika berperilaku sesuai tuntunan fikih dan akhlak keluarga maka, mereka akan saling melayani satu dengan yang lainnya dengan ikhlas dan karena Allah. Mereka akan melihat pengabdian kepada pasangan merupakan sebuah nikmat dan ibadah guna mencari keridhoan Allah Swt. Keikhlasan ini akan menghilangkan rasa lelah dan penat karena melayani pasagannya, dan selalu berusaha melakukannya dengan senang hati.