Kegaiban Imam Zaman

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Imam Zaman gaib lantaran takut akan kematian. Misalnya, dalam salah satu riwayat disebutkan, bahwa sebab kegaiban Imam Zaman “يخاف القتل” yakni Imam takut akan kematian.
Tentu, jika mengacu pada lahiriah riwayat, akan muncul pertanyaan dan kebingungan: mengapa seroang Imam maksum mesti takut akan kematian? Bukankah kematian adalah jembatan menuju kehidupan abadi? Tidakkah hal ini berkontradiksi dengan kepribadian Imam?
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa khauf (ketakutan) para Imam yang disebut dalam berbagai riwayat bukanlah ketakutan nafsi yang merupakan akhlak tercela, melainkan ketakutan akal (aqliy) yang bukan hanya merupakan akhlak terpuji, bahkan terkadang merupakan keniscayaan dan keharusan.
Apabila ketakutan berangkat dari egoisme atau keakuan dan disebabkan hal tersebut seseorang ‘lari’ dari tanggungjawabnya untuk membela Agama, maka jelas ketakutan tersebut adalah lawan dari keberanian; ia tak lain adalah ke-pengecut-an.
Namun, manakala ketakutan adalah menghindar dari perbuatan yang sia-sia, percuma dan gegabah, maka ketakutan semacam ini bukan hanya terpuji, tapi tentu merupakan keharusan bagi orang yang berakal.
Sebatas menumpahkan darah tidaklah penting, tapi yang penting adalah memastikan darah yang dikorbankan membuahkan hasil dan manfaat. Orang yang menumpahkan darahnya tanpa pertimbangan tidak dapat dikatakan berani, tetapi nekad!
Dalam salah satu khutbahnya, Amirul Mukminin berkata:
“Aku terus menunggu. Ketika aku melihat tiada lagi kawan, pembela dan penolong bagiku kecuali Ahlulbaitku, maka aku takut jikalau mereka (ahlulbayt) terancam kematian. Karena itu, aku (hidup) seperti orang yang ingin mengedipkan mata, sementara dalam kelopak matanya terdapat duri; begitu pula seperti orang yang ingin menelan ludah, sementara di tenggorokannya tersangkut tulang. Aku bersabar dengan ‘menelan’ kemurkaanku dimana hal ini lebih pahit dari menelan buah pahit sekalipun dan lebih perih bagi hati dibanding tebasan pedang sekalipun.” [Nahjul Balaghah, khutbah 217]
Keadaan telah membuat seorang yang terkenal paling berani dan selalu menjadi panglima dalam berbagai peperangan ‘menjadi’ takut (rasional) akan kelanggengan Islam dan nyawa ahlulbayt beliau.
Jelas, sejarah menjadi saksi bahwa ke-pengecut-an tidak memiliki keberanian, bahkan untuk sekedar menghampiri kepribadian Sang Imam. Meski begitu, Imam tetap memiliki rasa takut. Rasa takut atau resah inilah yang disebut sebagai takut rasional. Begitulah, rasa takut samacam ini bukan hanya tidak tercela, melainkan merupakan ejawantah yang amat tinggi dari keberanian itu sendri.
Dapat disimpulkan, salah satu sebab kegaiban Imam Zaman adalah ketakutan. Namun, ketakutan beliau adalah ketakutan rasional. Apabila beliau yang notabene merupakan hujjah terakhir Allah Swt. di dunia ini muncul dan langsung dibunuh oleh musuh, maka dunia tidak akan memiliki wasilah bagi turun-Nya rahmat Allah Swt.
Begitu juga, dengan terbunuhnya Imam Zaman, janji Tuhan menjadikan hamba-Nya yang saleh untuk memimpin dunia dengan keadilan tidak akan terealisasi.
Apalagi, mengingat para tiran amat mengetahui bahwa Imam Mahdi adalah Ia yang dijanjikan untuk memenuhi dunia dengan keadilan dan membersihkan dunia ini dari kebusukan kezaliman, termasuk para penguasa zalim.
Untuk itu, bila dahulu para tiran masih sedikit bersabar untuk memenjarakan para Imam maksum sebelum membunuh beliau, hal ini tidak akan dilakukan oleh mereka terhadap Imam Zaman, Sang Wujud yang Dijanjikan. Para penguasa zalim tersebut tentu tidak punya pilihan, kecuali harus segera membunuh Penegak Keadilan yang telah dijanjikan kepemimpinannya oleh Allah Swt.
Berangkat dari sana, yang terpenting bukanlah meneteskan darah, tapi meneteskan darah dengan manfaat dan hasil yang tidak sia-sia. Begitu juga, ketakutan rasional bukan hanya tidak tercela, namun pada kondisi tertentu adalah keniscyaan.
*mengacu pada kitab Ayatullah Jawadi Aamuli yang berjudul ‘Usaareh-ye Khelqat.