Ilmu Logika dan Kesalahan dalam Berpikir

Ilmu logika tidak mengajarkan manusia untuk berpikir, karena semua manusia telah Allah Swt ciptakan dengan memiliki potensi serta kemampuan untuk berpikir. Karena itu pula Allah Swt dalam banyak ayat al-Quran yang menekankan tentang berpikir “Apakah kalian tidak berpikir?” [QS al-An’am:50], “supaya kalian berpikir” [QS al-Baqarah:266], “apakah mereka tidak berpikir tentang diri mereka sendiri?”[QS ar-Rum:8], “sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir” [QS an-Nahl:11], dan ayat-ayat lainnya. Allah Swt dalam banyak ayat menyinggung tentang proses berpikir, karena sebagian manusia tidak berpikir dengan benar hingga bisa mencapai kebenaran. Allah Swt telah menganugrahkan daya pikir kepada manusia untuk digunakan dengan benar, namun sebagian manusia tidak memanfaatkan kemampuan dan daya pikirnya dengan benar. Dan, itu pula yang membedakan manusia dengan makhluk  lainnya, yaitu kemampuan untuk berpikir.

Karena manusia dalam berpikirnya terkadang salah, untuk mencegah hal tersebut, maka manusia perlu kepada satu bidang ilmu yang mengajarkan hal tersebut. Sementara itu dalam Ilmu Logika telah disebutkan bahwa Ilmu Logika ialah ilmu tentang aturan-aturan agar manusia dapat berpikir dengan benar. Dengan kata lain, ilmu logika ialah berupa aturan-aturan logika yang menjadi tolok ukur dan sarana penilaian pada saat kita ingin berpikir dan berargumentasi dalam obyek-obyek keilmuan  dan filsafat. Pemikiran dan argumentasi kita harus disandingkan dengan aturan-aturan dan tolok ukur-tolok ukur tersebut, supaya tidak salah dalam mengambil kesimpulan.

آلة قانونیة تعصم مراعتها الذهن عن الخطأ فی الفکر

“Sarana yang berupa aturan atau undang-undang yang dengan menjaga aturan atau undang-undang tersebut, akan menjaga akal dari kesalahan dalam berpikir.”

Dengan melihat definisi ilmu logika tersebut, manfaat dan faidah ilmu logika pun menjadi jelas bagi manusia, bahwa ilmu logika dapat mencegah manusia dari kesalahan dalam berpikir.

Namun, terdapat pertanyaan baru, bagaimana ilmu logika dapat mencegah kesalahan dalam berpikir? Karena dalam definisi tersebut belum dijelaskan secara gamblang. Di sini, kita akan menjelaskan secara global tentang hal itu. Akan tetapi, sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu tentang definisi ‘berpikir menurut ilmu logika’. Kenapa? Karena selama definisi berpikir menurut ilmu logika belum jelas, maka pengertian bahwa ilmu logika sebagai alat dan sarana tolok ukur dalam berpikir benar pun tidak akan dapat kita fahami.

Berkaitan dengan definisi proses berpikir dalam ilmu logika disebutkan,

ترتیب امور معلومة لتحصیل امر مجهول

“Menata obyek-obyek yang telah diketahui untuk menghasilkan obyek yang belum diketahui.”

Berdasarkan definisi tersebut bahwa proses berpikir menurut ilmu logika adalah saling mengkolaborasi atau menghubungkan satu dengan yang lainnya beberapa obyek yang telah diketahui, untuk mendapatkan pengetahuan obyek baru. Atau, lebih mudahnya, mengubah obyek yang belum diketahui (majhul) menjadi obyek yang diketahui (ma’lum). Dalam otak atau pikiran kita, sudah terdapat ilmu-ilmu atau obyek-obyek yang sudah diketahui. Dari obyek-obyek tersebut, dengan menghubungkan antara satu dengan yang lainnya, maka akan melahirkan suatu hal yang baru, atau pengetahuan baru.

Syahid Muthahari lebih jauh menjelaskan bahwa hakikat berpikir ialah aktifitas dan perjalanan akal dari satu obyek yang belum diketahui menuju deretan premis-premis yang telah diketahui, kemudian bergerak dari premis-premis tersebut menuju obyek yang diinginkan untuk mengubahnya menjadi sebuah pengetahuan.

Saat berpikir, di mana tujuannya ialah dengan menata dan menghubungkan antara pengetahuan-pengetahuan yang telah ada, agar dapat mengubah obyek yang belum diketahui menjadi sebuah pengetahuan, maka harus memberikan format, sistematika, dan muatan khusus kepada obyek-obyek yang telah diketahui tersebut. Artinya, obyek-obyek pengetahuan sebelumnya akan melahirkan obyek pengetahuan yang baru di saat memiliki format dan sistematika khusus yang telah ditetapkan dalam ilmu logika. Karena itu, ilmu logika telah menjelaskan aturan-aturan dan kaidah-kaidah format dan sistematika tersebut. ilmu logika juga telah menjelaskan bahwa obyek-obyek pengetahuan sebelumnya akan melahirkan pengetahuan baru melalui proses berpikir, di saat berdasarkan ketentuan dan kaidah ilmu logika.

Saat dikatakan bahwa ilmu logika adalah aturan-aturan agar berpikir dengan benar, di sisi lain, proses berpikir adalah aktifitas dan perjalanan akal dari premis-premis menuju konklusi dan kesimpulan, dari situ dapat kita katakan bahwa tugas ilmu logika ialah menunjukkan aturan-aturan benar aktifitas dan perjalanan akal. Dan, harus diketahui bahwa aktifitas dan perjalanan akal yang benar tidak lain lain adalah menata dan menghubungkan dengan benar, dengan memberi format dan sistematika benar, kepada obyek-obyek yang telah diketahui.

Dengan demikian tugas ilmu logika ialah mengontrol aktifitas akal saat proses berpikir itu terjadi.

Kesalahan dalam Berpikir

Mungkin saja saat berpikir, di mana dengan menetapkan obyek-obyek menjadi premis bagi obyek lainnya, dalam praktisnya bisa benar, juga, bisa terjadi kesalahan. Karena itu, kita harus mengetahui faktor penyebab terjadinya kesalahan dalam proses berpikir. Dalam ilmu logika  kesalahan tersebut tidak lepas dari dua faktor berikut ini;

1. Disebabkan premis-premis argumentasi yang salah, di mana premis-premis tersebut telah ditetapkan sebagai obyek yang diketahui. Karena itu, kesalahan terjadi karena premis-premis yang menghasilkan kebenaran argumentasi kita itu rusak dan salah.
2. Disebabkan sistematika, format dan muatan argumentasi yang salah.

Sebuah argumentasi dalam akal dan pikiran kita bagaikan sebuah bangunan. Sebuah bangunan akan sempurna di saat bahan-bahan juga bentuk bangunannya benar tanpa cela. Begitu juga sebuah argumentasi, bahan-bahan yang berupa premis mayor dan minor, juga bentuk argumentasi harus benar, agar kita mendapatkan hasil dan konklusi yang benar pula.

Misalkan, jika dalam premis minor dikatakan, ‘Socrates adalah manusia”, premis mayor, “Setiap manusia adalah zalim”, konklusi “Socrates adalah zalim”, ini adalah argumentasi yang salah. Kenapa salah? Premis minor benar, namun dalam kandungan premis mayor terjadi kesalahan, bahwa “setiap manusia itu zalim”, padahal dalam faktanya tidak demikian, karena itu konklusinya pun menjadi salah.

Namun jika dikatakan, “Socrates adalah manusia”, “Setiap manusia dapat berpikir”, maka “Socrates dapat berpikir”, argumentasi tersebut benar karena baik premis minor dan premis mayor, maupun bentuk dan sistematika argumentasinya pun benar.

Dengan mengetahui fungsi dan manfaat ilmu logika, maka urgensi belajar ilmu logika pun menjadi jelas.