Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mekah di Masa Qushai Sampai Khalifah Umar

1 Pendapat 05.0 / 5

Makkah (baca: Mekah) memiliki banyak nama -selain nama-nama yang disebutkan dalam Alquran. Kebanyakan nama-nama untuk Mekah merupakan sifat-sifatnya. Kemudian dengan berlalunya zaman menjadi isim alam (nama diri)nya.
Mengapa dinamai Makkah (Mekah)? Banyak pendapat, di antaranya secara ringkas:
Pertama, berasal dari kata Makuraba, yang disebutkan dalam buku Geografi Ptolemaeus (ilmuwan abad II M). Ialah mihrab. Makuraba menurut satu pendapat, berasal dari kata Muqarrabah, yang artinya dekat dan gelar bagi para penguasa Saba`. Karena, kepercayaan orang-orang zaman itu, para penguasa adalah yang paling dekat dengan Tuhan atau dengan berhala mereka. Masa kemudian lambat laun berubah bermakna kesucian.
Pendapat lain, Makuraba berasal dari kata makrab, melihat bahwa nabi Ibrahim as adalah seorang Babelonia. Ini berdasarkan pandangan bahwa nama Makkah memiliki rumpun dalam bahasa Aram Timur, bukan bahasa Suryani Arab. Makrab kata terdiri dari Mak (rumah) dan Rab (Tuhan). Jadi, Makrab artinya Rumah Tuhan.
Ada pendapat yang jauh sekali dari kemungkinan benarnya, bahwa Makkah dari kata Mahgah.
Kedua, mereka yang memandang Makkah dari bahasa Arab, menyebutkan alasan-alasan atas penamaannya, antara lain:
1-Makka artinya istakhraja (mengeluarkan), dikarenakan tak didapati air di Mekah, sehingga mereka harus menggalinya dari bawah tanah. Arti lainnya, adalah membinasakan; orang-orang lalim yang melampaui batas, seperti Abrahah dibinasakan olehnya. Diartikan pula dengan basatha, karena ketika bumi membentang, Allah membentangkan tanah dari Mekah.
2-Kalimat: imtakka al-fashîl dhara ummihi” (artinya, anak onta susah mengisap tetek induknya). Karena demikian orang-orang dari berbagai tempat datang ke kota ini, mereka menyebutnya Makkah.
3-Ia terletak di antara dua bukit, dan seperti mukûk, kata untuk tempat yang bagian atasnya sempit dan bagian tengahnya luas.
4-Ia berasal dari kata Mukâ, artinya bersiul. Karena haji jahiliyah disertai bersiul, kota ini dikatakan, Makkah.

Mekah di Tangan Qushai
Qushai setelah kepemimpinan atas Mekah di tangannya, memindahkan kabilahnya, Quraisy, untuk tinggal di lembah ini. Datuk kelima bagi nabi Muhammad saw ini lalu membangun rumahnya di dekat Kabah, yang ia kemudian namai dengan Darun Nadwah. Kaum Quraisy pun mengikuti langkahnya, membangun rumah-rumah untuk mereka hingga membentuk satu lingkaran sentra yang mengelilingi Kabah.
Mereka yang di dalam lembah Mekah itu disebut Quraisy Bawathin (Quraisy dalam). Sedangkan yang tinggal di luar lembah disebut Quraisy Zhawahir (Quraisy luar), yang hidup di sahara dan perkemahan.
Penduduk Mekah untuk menghormati Kabah, membangun rumah-rumah mereka tak seperti kubus, tetapi melingkar. Berbeda dengan Hamid bin Zuhair, dialah orang yang pertamakali membangun rumahnya empat persegi. Merasa heran dengan pola dia, dari mereka sampai melantunkan syair: Hamid mengkotakkan rumah dalam hidup dan matinya.

Aturan Bangun Rumah di Sekitar Kabah
Qushai membuat aturan terkait pembangunan rumah, di antaranya:
1-Tak diperkenankan bangun rumah lebih tinggi dari Kabah.
2-Antar rumah harus dibuatkan lorong-lorong untuk masuk sampai ruang lepas di Kabah, yang kemudian membawa nama Masjidil Haram baginya.
Dengan cara tersebut, di antara setiap dua rumah terdapat lorong jalan, dan di antara semua lorong itu Bani Syaibah sebagai jalan utamanya.
Di masa Qushai dan sesudahnya mereka mengadakan majlis umum di bawah bayangan rumah-rumah mereka di ruang Masjidil Haram. Yakni, di pagi hari. Lokasi majlis yang dihadiri para pembesar itu adalah Darun Nadwah. Bila matahari naik ke atas melenyapkan bayang-bayang rumah, mereka masuk ke dalam rumah masing-masing.
Rumah-rumah mereka tak berpintu, sehingga para peziarah yang datang menginap di halaman rumah mereka. Pola ini berlaku sampai zaman Rasulullah saw. Kemudian seorang sahabat beliau, Hathib bin Abu Baltaah, untuk pertamakalinya dia memasang pintu bagi rumahnya. Sampai masa khalifah Umar ra, tak banyak rumah yang berpintu. (Mungkin sudah menjadi aturan bahwa) Yang ingin memasang pintu bagi rumahnya, izin dulu kepada khalifah, seperti yang dilakukan oleh Hind putri Suhail.
Khalifah berkata kepadanya: Tidak aku perkenankan! Karena kalian menginginkan itu, agar jemaah haji dan umrah tidak datang ke rumah-rumah kalian.”
Hind mengatakan, Demi Tuhan, bukan untuk itu niat saya. Melainkan agar harta benda mereka yang ziarah aman dari tangan pencuri. Dengan alasan ini khalifah mengizinkannya.

 

Referensi:

-Makkah dar Bastare Tarekh