HARI KIAMAT (MA'AD) (1)



Argumentasi Rasional atas Kejadian Hari Kiamat

Di samping ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak terbilang jumlahnya tentang Hari Kiamat (sekitar ratusan ayat), terdapat dalil-dalil rasional (‘aqlî) yang sebagiannya secara garis besar akan kami uraikan di sini.

a. Argumentasi Hikmah

Apabila kita memandang kehidupan dunia ini tanpa adanya kehidupan yang lain, maka kehidupan dunia ini akan terasa nihil dan tanpa makna. Persis seperti kita beranggapan bahwa kehidupan di alam rahim tanpa adanya kehidupan dunia setelahnya adalah hampa.

Berdasarkan tata cipta, apabila manusia pada awal detik-detik penciptaannya akan binasa dan mati, betapa kehidupan alam rahim akan menjadi sebuah kehidupan yang tanpa makna? Demikian juga apabila dibayangkan kehidupan dunia ini terputus dari kehidupan lainnya, kehidupan ini akan mengalami kehampaan. Haruskah kita hanya hidup selama —kurang-lebih— tujuh puluh tahun di alam dunia ini dengan segenap masalah yang kita hadapi, lalu kita musnah begitu saja? Beberapa lamakah kita menjalani masa muda, dan tanpa pengalaman “Hingga menjadi matang wahai bocah ingusan”[1] usia ini akan berakhir?

Beberapa lama kita harus mengejar ilmu pengetahuan, dan setelah memperoleh segala pengetahuan, salju ketuaan datang menerpa kita.

Lalu, untuk apa kita hidup? Menyantap beberapa porsi makanan, memakai beberapa potong pakaian, bangun dan tidur, yang berulang-ulang terus menerus, melanjutkan aktivitas hidup yang membosankan dan melelahkan?

Sebenarnya, apakah langit yang membentang dan bumi yang menghampar, dan seluruh pendahuluan dan pengakhiran, seluruh guru, seluruh perpustakaan besar, dan seluruh pekerjaan-pekerjaan rumit dalam penciptaan kita dan makhluk-makhluk yang lain; seluruhnya dialokasikan untuk makan, tidur, pakaian, dan kehidupan materi?

Di sinilah mereka yang menolak kejadian Hari Kiamat harus mengakui kenihilan dan ketakbermaknaan hidup mereka. Ironisnya, sebagian mereka melakukan bunuh diri untuk menyelamatkan diri dari kehidupan nihil ini, dan itu malah menjadi kebanggaan bagi mereka.

Bagaimana mungkin seseorang yang beriman kepada Allah swt. dan kemahabijaksanaan-Nya yang tak terhingga, meyakini bahwa kehidupan dunia ini bukan sebagai penduluan untuk memasuki kehidupan abadi di alam lain?

Al-Qur’an berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakanmu secara main-main [saja], dan bahwa Kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mukminun [23]: 115)

Maksudnya, apabila kamu tidak kembali ke sisi Tuhan, maka dunia ini akan mengalami kesia-siaan dan ketanpamaknaan.

Ya! Kehidupan dunia ini akan memiliki makna dan sesuai dengan hikmah Ilahi jika “ad-dunyâ mazra'atul âkhirah” (dunia ini merupakan ladang akhirat). Kita harus memandang dunia ini sebagai lintasan untuk memasuki alam yang lebih luas. Dunia ini merupakan lahan persiapan untuk menjelang dunia lain, dan pasar bagi kehidupan akan datang.

Demikianlah Amirul Mukminin Ali a.s. bersabda dalam kalimat yang sarat makna: “Dunia ini adalah tempat yang benar bagi orang yang membenarkannya, tempat aman bagi mereka yang memahaminya; kediaman yang kaya bagi siapa yang mengumpulkan bekal di dalamnya (untuk kehidupan masa datang), istana nasihat bagi yang mengambil nasihat darinya, masjid bagi para pecinta Tuhan, kediaman ibadah para malaikat Allah, rumah bagi wahyu Ilahi, dan tempat perniagaan bagi yang berbakti kepada Tuhan.”[2]

Ringkasnya, menelaah dan mengkaji keadaan dunia ini dengan baik akan memberikan kesaksian bahwa di balik kehidupan dunia ini masih terdapat kehidupan yang lain. “Dan sesungguhnya engkau telah mengetahui penciptaan yang pertama. Maka mengapa engkau tidak mengambil pelajaran [untuk penciptaan yang kedua]?” (QS. Al-Waqi‘ah [56]: 62)

b. Argumentasi Keadilan (‘Adâlah)

Dengan memperhatikan sistem semesta dan undang-undang penciptaan, seluruhnya menunjukkan bahwa segala sesuatunya berlaku sesuai dengan perhitungan yang matang.

Dalam struktur badan kita, sedemikian sistem itu beroperasi secara adil sehingga secuil pun perubahan yang terjadi akan menjadi sebab penyakit dan kematian. Gerakan jantung, sirkulasi darah, kelopak mata, dan bagian sel-sel badan kita termasuk dalam sistem yang apik dan akurat yang berlaku di alam semesta. “Wa bil-'adl qâmat as-samâwâti wal-ardh.” Dengan keadilanlah langit dan bumi dapat tegak.”[3] Apakah manusia hanyalah sebuah potongan ganjil di alam semesta yang membentang ini?

Benar bahwa Allah Swt. menganugerahkan kehendak bebas kepada manusia hingga ia diuji dan dapat melintas dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Akan tetapi, sekiranya manusia menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya, apa yang akan terjadi? Apabila para tiran dan orang-orang yang tersesat dan menyesatkan menyalahgunakan anugerah Ilahi ini, apa yang dituntut oleh keadilan Ilahi?

Benar bahwa sekelompok orang yang buruk perbuatannya di dunia ini akan dikenakan hukuman atau setidaknya sebagian dari hukuman tersebut. Akan tetapi, tentu saja tidak seluruh pelaku kejahatan mendapatkan hukuman atas perbuatannya, atau seluruh orang-orang suci dan baik tidak mendapatkan ganjaran dari perbuatan baik mereka di dunia ini secara tunai. Lalu, apakah mungkin kedua kelompok ini berada pada satu telapak keadilan Ilahi? Menurut Al-Qur’an: “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berbuat dosa [orang kafir]? Mengapa kamu [berbuat demikian]; bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al-Qalam [68]: 35-36)

Di tempat lain Al-Qur’an menegaskan, “... Patutkah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS. Ash-Shaf [61]: 28)

Secara umum, tidak ada keraguan tentang perbedaan manusia dalam ketaatannya kepada Allah swt, sebagaimana juga ganjaran yang dapat diterima dunia ini tidaklah memadai. Mahkamah fitrah, dan reaksi dosa-dosa dengan sendirinya (tanpa adanya Kiamat) pun tidaklah cukup. Oleh karena itu, kita mesti menerima bahwa dalam upaya menegakkan keadilan Ilahi harus terdapat sebuah mahkamah pengadilan yang bersifat menyeluruh, sehingga sekecil apa pun kebaikan atau perbuatan buruk harus diperhitungkan di dalamnya. Apabila tidak, asas keadilan tidak akan pernah dapat tegak.

Dengan demikian, harus kita terima bahwa penerimaan keadilan Tuhan sama dengan penerimaan adanya Hari Kiamat (ma'âd) dan Hari Kebangkitan. Al-Qur’an menyebutkan, “Kami akan tegakkan neraca-neraca keadilan pada Hari Kiamat.” (QS. Al-Nabi’ [21]: 47)

Al-Qur’an juga menegaskan, “Pada Hari Kiamat mereka akan dihukum berdasarkan keadilan dan mereka tidak akan dizalimi dan dianiaya.” (QS. Yunus [10]: 54)

c. Argumentasi Tujuan Penciptaan

Berbeda dengan anggapan kaum materialis, manusia dalam pandangan dunia tauhid memiliki tujuan dalam penciptaannya. Tujuan ini dalam terma filsafat disebut sebagai takâmul (kesempurnaan), dan dalam bahasa Al-Qur’an dan hadis dikenal sebagai qurb ilallôh (kedekatan diri kepada Tuhan) atau ibadah (penghambaan). “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Di bawah cahaya penghambaan ini, mereka mencapai kesempurnaan dan merengkuh kedekatan kepada Allah swt.

Apakah tujuan agung ini dapat tercapai jika kematian merupakan akhir dari segalanya? Tanpa ragu, jawaban adalah tidak (negatif).

Kehidupan setelah kematian di dunia ini melazimkan adanya dunia lain dan penyempurnaan manusia menjalani proses kontiunitas. Dan tempat menuai hasil ladang dunia ini adalah alam sana. Bahkan, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, di dunia yang lain, perjalanan menuju kesempurnaan (takâmul) ini berlanjut sehingga tujuan akhir ini dapat tergapai.

Konklusinya, pencapaian tujuan penciptaan ini tanpa keberadaan ma'âd tidak akan dapat terwujud. Dan sekiranya kita memutus relasi kehidupan ini dengan kehidupan pasca kematian, maka seluruh kehidupan ini misterius, dan kita tidak akan pernah memiliki jawaban atas pertanyaan mengapa dan mengapa.[4]

Ruh dan Bagaimana Membuktikan Kesejatiannya

Di dalam surat Al-Isra’ [17], ayat 85 kita membaca, “Ketika bereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, ‘Ruh merupakan urusan-Ku.’”

Para penafsir besar, sejak dulu hingga kini, telah membahas makna ruh. Di sisi pertama-tama, kita amati makna ruh secara leksikal, lalu penggunaannya dalam Al-Qur’an, kemudian tafsir ayat dan riwayat yang bertautan dengan masalah ini.

a. Ruh Secara Leksikal

Ruh secara leksikal berarti “nafs” dan “berlari”. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa ruh dan rîh (angin), keduanya berakar kata satu. Dan apabila ruh manusia yang merupakan substansi mandiri yang abstrak disebut dengan nama ini, lantaran ia bergerak dan membawa kehidupan. Selain itu, keduanya (angin dan ruh) tidak terindra secara kasat mata.

b. Ruh di Dalam Al-Qur’an

Penggunaan kalimat ruh dalam Al-Qur’an sangat beragam. Terkadang bermakna ruh muqaddas yang menguatkan Rasulullah saw. dalam menyampaikan risalah, seperti yang tertuang dalam ayat, “... Dan Kami menganugerahkan kepada Isa bin Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat ia dengan Ruhul Qudus ...” (QS. Al-Baqarah [2]: 253)

Terkadang pula disebut sebagai kekuatan maknawi Ilahi yang menguatkan kaum mukmin, seperti dalam ayat, “Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya ....” (QS. Al-Mujadalah [58]: 22).

Arti lain dari ruh itu adalah “malaikat khusus wahyu” dan disifati sebagai amin, seperti dalam ayat, “... ia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin [Jibril] ke dalam hatimu [Muhammad] agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy-Syu‘ara’ [26]: 193-194), dan acapkali bermakna malaikat besar dari malaikat-malaikat khusus Tuhan, atau makhluk agung dari jenis malaikat, seperti dalam ayat, “Dan pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhan-Nya untuk mengatur segala urusan.” (QS. Al-Qadr [97]: 4) dan dalam ayat, “Pada hari itu, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf ....” (QS. An-Naba’ [78]: 38).

Terkadang ruh juga bermakna Al-Qur’an dan wahyu samawi, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu [Al-Qur’an] dengan perintah Kami ....” (QS. Asy-Syura [42]: 52)

Dan pada akhirnya, ruh terkadang pula bermakna ruh insani, sebagaimana pada ayat penciptaan Nabi Adam a.s., “Kemudian Ia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam [tubuh]nya ruh [ciptaan]-Nya.” Demikian juga pada surat Al-Hijr, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh [ciptaan-Ku], maka tunduklah engkau kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr [15]: 29)

c. Penafsiran Ruh

Inti persoalan kita kali ini adalah apakah yang dimaksudkan dengan ruh? Ruh manakah yang dimaksudkan sehingga beberapa orang begitu antusias bertanya tentang hakikatnya. Nabi saw. dalam menjawab pertanyaan ini bersabda, “Ruh adalah urusan Tuhan-ku dan Kamu tidak memiliki pengetahuan kecuali sedikit.”

Dari beberapa indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut dan selainnya, yang ditanyakan oleh beberapa penanya itu adalah hakikat ruh manusia. Ruh agung inilah yang membedakan kita dengan hewan-hewan dan menjadi kemuliaan superlatif kita. Seluruh kekuatan dan aktifitas kita bersumber darinya, dan dengannya kita dapat melakukan aktifitas dan kehidupan dunia ini. Berkatnya kita dapat menyingkap rahasia-rahasia ilmu dan menemukan jalan untuk menyelami kedalaman seluruh wujud. Mereka ingin mengetahui apa hakikat makhluk yang menakjubkan ini.

Ruh memiliki struktur yang berbeda dengan struktur materi. Asas yang berlaku atasnya bukanlah asas yang berlaku atas materi, serta tipologi fisis dan kimawi. Nabi saw. ditugaskan dalam satu kalimat yang ringkas dan padat: “Ruh berasal dari alam amr.” Artinya, ruh merupakan ciptaan yang sarat dengan rahasia.

Lalu, supaya tidak terkejut dengan jawaban yang diberikan, ditambahkan bahwa ilmu Anda dan manfaat yang Anda peroleh darinya bukanlah apa-apa (nothing). Oleh karena itu, sangat menakjubkan sekali Anda tidak mengetahui rahasia-rahasia ruh, betapa pun ia lebih dekat kepada Anda dari segala sesuatu.

Dalam Tafsir ‘Ayyâs diriwayatkan dari Imam Al-Baqir a.s. dan Imam Ash-Shadiq a.s. pernah ditanya tentang tafsir ayat tersebut. Mereka menjawab, “Sesungguhnya ruh adalah makhluk Tuhan yang memiliki penglihatan, kekuatan, dan kekuasaan. Tuhan meletakkan ruh di dalam hati para nabi dan kaum mukmin.”[5]

Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari salah satu dari kedua imam tersebut: “Ruh berasal dari alam malakût dan kekuasaan Tuhan.”

Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari sumber Syi’ah dan Ahli Sunnah, kita membaca bahwa musyrikin Quraisy menukil pertanyaan dari Ahli Kitab dan hendak menguji Nabi saw. Ahli Kitab berkata kepada mereka bahwa apabila Muhammad memberikan kabar yang banyak tentang ruh kepada Kamu, itu merupakan indikasi ketidakbenarannya. Namun, Nabi saw. menyampaikan ucapan yang singkat dan sarat makna kepada mereka. Sebuah ucapan yang sangat menakjubkan.

Akan tetapi, dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ahlul Bait, ihwal tafsir ayat di atas yang sampai kepada kita, dijumpai bahwa ruh diterangkan sebagai makhluk yang agung; Malaikat Jibril dan Mikail. Ruh ini yang menyertai Nabi saw. dan para imam a.s., dan mencegah mereka dari perbuatan-perbuatan yang menyeleweng.[6]

Riwayat-riwayat ini tidak hanya tidak bertentangan dengan tafsir ayat yang kami utarakan di atas, bahkan selaras satu dengan yang lainnya. Hal itu lantaran ruh manusia memiliki derajat. Derajat ruh yang melekat pada diri Nabi saw. dan para imam a.s. adalah derajat paling tinggi. Dan berkat ruh itu, mereka terjaga dari segala bentuk dosa dan kesalahan, serta memberikan pengetahuan dan ilmu yang luar biasa. Tentu saja derajat ruh mereka ini lebih tinggi dari seluruh malaikat, termasuk Jibril dan Mikail. (Perhatikan baik-baik)

Primordialitas dan Kemandirian Ruh

Sejarah ilmu dan pengetahuan manusia menunjukkan, permasalahan ruh, struktrur, tipologi, dan rahasia-rahasianya senantiasa menjadi perhatian para ilmuwan. Setiap ilmuwan berupaya untuk mendekati hakikatnya.

Dengan alasan ini, ulama dan kaum cendekiawan banyak melontarkan pendapat mereka tentang ruh. Barangkali ilmu dan pengetahuan kita hari ini, bahkan ilmu dan pengetahuan orang-orang di masa mendatang, tidaklah akan memadai untuk dapat menyingkap seluruh rahasia ruh. Dan meskipun ruh lebih dekat kepada kita dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, tetapi bagaimana substansi ruh dan apa yang ada di alam materi dengan kedekatan kita dengannya, dapat berbeda secara total. Kita tidak perlu terlalu kaget! Kita tidak dapat memahami rahasia dan kerumitan ciptaan yang menakjubkan dan makhluk metafisis ini.

Akan tetapi, secara umum, kendala ini tidak berasal dari ruh. Dengan pandangan akal yang tajam, kita dapat melihat lanskap ruh. Kita dapat mengetahui asas dan sistem universal yang belaku atas ruh.

Asas yang paling penting yang harus kita ketahui di sini adalah masalah primordialitas dan kemandirian ruh. Para penganut aliran-aliran materialis beranggapan bahwa ruh itu adalah materi dan bersumber dari tipologi materi otak dan sel-sel syaraf, dan segala sesuatu yang berada di balik itu adalah nihil. Hanya ini yang dapat kita bahas, tidak lebih. Sebab, persoalan “keabadian ruh” dan masalah "tajarrud sempurna atau tajarrud barzakhi” bersandar kepadanya.

Akan tetapi, sebelum memasuki pembahasan ini, kami memandang perlu untuk menjelaskan satu poin. Yaitu, melekatnya ruh pada badan manusia —sebagaimana sebagian orang beranggapan demikian— tidak sebagaimana hulul (menitis) sebagaimana angin merasuk ke dalam kesturi. Akan tetapi, hal itu adalah sebuah bentuk hubungan sebentuk hegemoni, kepemilikan, dan pengaturan ruh atas tubuh; yang diibaratkan oleh sebagian orang dengan melekatnya makna pada sebuah kata.

Tentu saja masalah ini akan menjadi jelas di sela-sela pembahasan kemandirian ruh. Kini kita kembali kepada pembicaraan utama kita.

Tak syak lagi bahwa ada perbedaan antara manusia dan batu dan kayu yang tidak memiliki ruh. Karena, kita merasakannya dengan jelas bahwa antara kita, manusia dengan wujud-wujud yang lain yang tanpa ruh, bahkan tumbuh-tumbuhan yang tanpa jiwa terdapat perbedaan. Kita, manusia memahami, mengkonsepsi, mengambil keputusan, berkehendak, mencinta, membenci dan .... Akan tetapi, tumbuh-tumbuhan dan bebatuan tidak satu pun memiliki kualitas perasaan (sense) ini. Oleh karena itu, antara kita, manusia dengan mereka terdapat satu perbedaan prinsipal, yaitu kepemilikan ruh insani.

Baik kaum materialis juga mazhab lain tidak mengingkari orisinilitas keberadaan ruh dan jiwa. Dan atas alasan keduanya (jiwa dan ruh), mereka menyebut psikologi dan psikoanalisis sebagai ilmu positif. Kedua ilmu ini, meskipun kira-kira keduanya telah melalui masa infant (balita), akan tetapi keduanya merupakan ilmu yang digunakan oleh para dosen dan peneliti di pusat-pusat pendidikan besar dunia. Dan sebagaimana yang akan kita lihat, jiwa dan ruh merupakan dua realitas yang tidak terpisah, melainkan merupakan tingkatan-tingkatan yang berbeda satu realitas.

Pada pembicaraan hubungan antara ruh dan raga dan efek mutual (saling mempengaruhi) di antara keduanya, akan menggunakan istilah “jiwa” untuknya. Dan pada pembahasan fenomena-fenomena ruh yang terpisah dari raga, kita menggunakan istilah ruh.

Kesimpulannya adalah tidak seorang pun yang mengingkari realitas yang bernama ruh dan jiwa yang berada dalam relung diri kita.

Kini harus kita lihat di manakah letak pertikaian yang melelahkan antara kaum materialis dan filsuf metafisika itu terjadi?

Jawabannya adalah, para cendekiawan Ilahi dan filsuf metafisika berkeyakinan bahwa selain materi-materi yang membentuk jasad manusia itu, terdapat sebuah realitas dan substansi yang tidak berasal dari dimensi materi, melainkan jasad manusia berada di bawah pengaruh langsungnya.

Dengan kata lain, ruh merupakan sebuah realitas metafisis. Struktur dan aktifitasnya bukan struktur dan aktifitas materi (fisik). Benar bahwa ruh ini senantiasa bertaut dengan materi, akan tetapi ia bukan materi dan tidak bercirikan materi.

Sebaliknya, para filsuf materialis berpendapat bahwa kita adalah suatu wujud yang mandiri dari materi yang bernama ruh, atau kita tidak memiliki nama lain selain materi. Apa pun yang ada merupakan materi benda dan atau efek fisik dan kimia darinya.

Organ-organ yang kita miliki yang bernama syaraf (nerve) dan otak (brain) yang memberikan aktifitas-aktifitas hidup adalah seperti organ-organ tubuh materi lainnya dan bekerja berada di bawah hukum-hukum materi.

Kelenjar yang berada di bawah lisan kita yang bernama “kelenjar saliva” (air liur) di samping melakukan aktifitas fisika, ia juga melakukan aktifitas kimia. Ketika makanan masuk ke dalam mulut, lubang-lubang artaziyan (lubang yang di dalamnya air meluap-luap) secara otomatis akan bekerja. Sedemikian lembabnya sehingga dengan ukuran itu, air itu digunakan untuk mengunyah dan menghaluskan makanan. Makanan-makanan berkuah, berkuah sedikit, dan kering, masing-masing —sesuai dengan kebutuhannya— mendapatkan bagian dari air liur (saliva) ini.

Bahan acid (asam) khususnya ketika terlalu tebal, acid ini menambahkan aktifitas terhadap saliva-saliva ini. Hingga saliva ini mendapatkan jatah yang lebih banyak dari air dengan ukuran yang cukup berair dan tidak akan mencederai dinding -dinding perut.Dan bila kita menelan makanan, aktifitas lubang-lubang ini akan menjadi diam.

Singkatnya, sistem yang berlaku atas mata-mata air yang meluap-luap ini sangat menakjubkan, sehingga sekiranya sesaat saja keseimbangan atau hitungannya saling berbenturan, air liur di mulut kita yang curam, dan atau seukuran lisan dan tenggorakan akan menjadi kering dan butiran-butiran makanan akan mengganjal di tenggorokan kita.

Pekerjaan fisik ini merupakan pekerjaan saliva. Akan tetapi, kita ketahui pekerjaan utama saliva (air liur) adalah pekerjaan kimiawi. Bahan-bahan yang beragam akan bergantung bersamanya dan akan tersintesakan dengan makanan, serta akan mengurangi pekerjaan perut.

Kaum materialis berkata, “rangkaian syaraf dan otak kita mirip dengan rangkaian kelenjar air liur (saliva), dan memiliki aktifitas-aktifitas fisis dan kimiawi (yang secara keseluruhan disebut sebagai fisis-kimiawi) dan kegiatan-kegiatan ini kita sebut dengan nama fenomena-fenomena ruh atau ruh.”

Mereka berkata, “Manakala kita tenggelam dalam kegiatan berpikir, akan muncul satu rangkaian gelombang elektrik, khususnya dari otak kita. Hari ini, gelombang dengan intrumen-instrumennya diambil dan direkam di atas kertas, khususnya pada rumah-rumah sakit jiwa. Dengan menelaah gelombang ini, mereka menemukan terapi-terapi untuk mendiagnosa dan mengobati orang-orang yang menderita penyakit kejiwaan. Kegiatan ini adalah kegiatan fisis otak kita.

Di samping itu, sel-sel ketika berpikir atau melakukan kegiatan-kegiatan kejiwaan lainnya memiliki satu fakultas perbuatan dan infialat kimiawi.

Oleh karena itu, ruh dan fenomena-fenomena ruh tidak lain adalah bagian tipikal fisik dan perbuatan, serta reaksi kimiawi sel-sel otak dan syaraf kita.

Dari uraian ini, mereka mengambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Kegiatan kelenjar-kelenjar air liur dan efek-efeknya yang beragam tidak terdapat pada badan, sebelum atau pun setelahnya. Kegiatan-kegiatan ruh kita juga akan lahir seiring dengan dijumpainya otak dan instrument-instrumen syaraf, dan akan hilang seiring dengan datangnya kematian.

b. Ruh merupakan ciri benda. Maka ia adalah materi dan tidak memiliki dimensi metafisis.

c. Ruh termasuk seluruh hukum-hukum yang berkuasa atas badan kita.

d. Tanpa raga, ruh tidak memiliki wujud yang mandiri. Ruh tidak dapat lepas dari raga.

Argumentasi Kaum Materialis atas Ketakmandirian Ruh

Untuk membuktikan bahwa ruh dan seluruh fenomena-fenomenanya adalah materi; dan bahwa ruh berasal dari ciri-ciri fisis dan kimiawi sel-sel otak dan syaraf, aliran-aliran materialis membawakan beberapa bukti yang kita catat di bawah ini:

1. Dapat dibuktikan dengan mudah bahwa dengan non-aktifnya satu fungsi sentral syaraf, satu bagian efek ruh akan tidak bekerja dengan aktif.[7] Misalnya, burung kakatua yang telah diobservasi. Bila kita ambil bagian-bagian khusus dari otaknya, ia tidak akan mati. Namun, kebanyakan pengetahuan yang dimilikinya akan hilang. Apabila ia disuap, ia akan memakan dan mengunyahnya. Dan apabila ia tidak disuap dan makanan itu hanya ditumpahkan di hadapannya, ia tidak akan menyetuhnya dan ia akan mati karena kelaparan.

Demikian juga, serangan-serangan otak yang menyerang manusia. Atau karena faktor sebagian penyakit, otaknya tidak akan bekerja. Survei telah membuktikan bahwa bagian pengetahuannya akan hilang dari ingatannya.

Beberapa waktu yang lalu, kita membaca dalam surat kabar, seorang pemuda yang menuntut ilmu. Lantaran serangan otak yang menimpanya pada sebuah kecelakaan di daerah sekitar Ahwaz (nama sebuah provinsi di bagian selatan Iran—AK.), pemuda ini lupa segalanya setelah beberapa waktu kejadian ini berlalu. Bahkan, ia tidak mengenal ibu dan saudara perempuannya. Ketika ia dibawa ke kampung halamannya; tempat ia dibesarkan, ia merasa asing di tempat itu.

Kejadian ini dan semisalnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan dekat antara “kegiatan-kegiatan sel-sel otak” dan “fenomena-fenomena ruh”.

2. Tatkala manusia berpikir, perubahan-perubahan fisis pada tataran otak akan semakin banyak. Otak lebih banyak mengkonsumsi makanan dan mengeluarkan bahan fosfor. Ketika kita tidur, lantaran otak tidak menjalankan aktifitas berpikir, ia hanya menkonsumsi sedikit makanan. Dan hal ini sendiri adalah dalil atas kematerian efek-efek berpikir.

3. Sekian banyak observasi menunjukkan bahwa beban otak setiap pemikir galibnya lebih dari ukuran medium. (Ukuran medium otak pria kira-kira 1400 gram dan ukuran medium otak wanita sedikit kurang dari ukuran medium otak pria). [8]

4. Apabila kekuatan berpikir dan pengetahuan adalah dalil atas keberadaan ruh yang independen, maka hal ini juga harus kita terima pada binatang. Lantaran mereka pada kadar tertentu juga memiliki pengetahuan.

Kesimpulannya, kami merasa bahwa ruh kita bukanlah wujud yang mandiri dan independen. kemajuan-kemajuan pengetahuan yang bertalian dengan hakikat manusia juga memberikan penegasan atas realitas ini.

Dari rangkaian di atas ini, kaum materialis mengambil kesimpulan bahwa kemajuan dan perkembangan fisiologi manusia dan hewan —hari demi hari— semakin mengukuhkan realitas ini. Mereka berpandangan bahwa antara fenomena-fenomena ruh dan sel-sel otak terdapat hubungan yang erat.

Poin-poin Lemah Penalaran ini

Kesalahan besar yang menjadi petaka bagi kaum materialis dalam penalaran seperti ini adalah kesalahan mereka dalam menempatkan antara “instrumen kerja” dan “pelaku kerja”. Untuk mengetahui kesalahan ini, kami akan bawakan sebuah perumpamaan ke hadapan Anda. (Perhatikan baik-baik)

Semenjak masa Galileo, telah muncul pendukung gagasan perubahan pada penelitian ruang angkasa. Galileo yang berkebangsaan Italia bersama pembuat kaca mata, berhasil menciptakan teropong kecil. Namun, tentu saja Galileo sangat gembira. Di malam hari, ia mengamati bintang-bintang di langit dengan menggunakan teropong. Ia menemukan panggung yang menakjubkan di hadapan matanya, yang hingga saat itu, tidak seorang pun yang pernah melihatnya. Ia sadar bahwa ia telah menemukan sesuatu yang penting. Dan sejak hari itu, seluruh penelitian atas rahasia-rahasia dunia atas (baca: tata surya) jatuh ke tangan manusia.

Hingga hari itu, seluruh manusia serupa dengan seekor kupu-kupu yang hanya dapat melihat di sekelilingnya. Akan tetapi, tatkala menggunakan teropong, mereka juga dapat menyaksikan pepohonan di sekeliling hutan besar penciptaan ini.

Masalah ini mengalami modifikasi hingga teropong-teropong raksasa dibuat. Ukuran lensanya lima meter atau lebih. Mereka memasang teropong-teropong ini di dataran-dataran tinggi atau gunung-gunung yang sesuai dan memiliki udara segar. Teropong yang menjadi peralatan mereka ini, terkadang seukuran satu bangunan beberapa lantai. Dengan media teropong tersebut, manusia dapat melihat alam-alam yang terdapat di dunia atas yang selama itu —meskipun seperseribu alam atas tersebut— tidak pernah disaksikan oleh mata biasa.

Kini Anda pikirkan, apabila suatu hari teknologi manusia memungkinkan untuk membuat teropong-teropong seukuran seratus meter dengan perlatan-peralatan yang mampu meliput satu kota, betapa dunia yang akan kita jumpai.

Sekarang, pertanyaan yang muncul adalah, jika Anda ambil apabila teropong-teropong ini, niscaya bagian atau bagian-bagian pengetahuan dan penyaksian kita akan benda-benda langit itu akan tidak lagi aktif. Yakni, apakah kita yang menyaksikan benda langit itu atau teropong? Apakah teropong dan teleskop sekedar media kerja pengamatan kita yang dengannya kita melihat atau pelaku kerja dan yang dengan sendirinya melihat dan mengamati?

Pada kaitannya dengan otak, juga tidak seorang pun yang mengingkari bahwa tanpa sel-sel otak, proses berpikir menjadi mustahil. Akan tetapi, apakah otak adalah media kerja bagi ruh atau ruh itu sendiri?

Singkatnya, seluruh dalil-dalil kaum materialis yang telah diketengahkan di sini hanya dapat membuktikan bahwa di antara sel-sel otak dan kerja pencerapan kita, terdapat hubungan. Akan tetapi, tidak satu pun dari dalil-dalil itu yang membuktikan bahwa otak adalah pelaku, bukan sekedar media pencerapan. (Perhatikan baik-baik).

Berangkat dari sini, jelas bahwa orang-orang mati tidak dapat memahami sesuatu, karena hubungan ruh mereka telah terputus dengan badan mereka, bukan lantaran ruh telah binasa. Seumpama bahtera atau pesawat yang seluruh instrumen nir-kabelnya tidak lagi berfungsi. Di sini bahtera, para pemandu, dan nakhoda tetap ada. Namun, orang-orang yang tinggal di tepi pantai tidak dapat mengadakan hubungan dengan mereka, lantaran media komunikasi di antara mereka telah terputus.

[1].Penggalan syair ini dikutip dari gubahan pujangga besar Persia, Sa'adi Syirazi. Bisyâr safar bâyad kard

Tâ pukhte syawad hei khâmi

Lakukanlah banyak perjalanan,

Hingga menjadi matang wahai bocah ingusan

Biasanya syair ini digunakan untuk memompa semangat kaum muda untuk melakukan perjalanan dan belajar dari pengalaman dan perjalanan tersebut—AK.

[2] Nahjul Balâghah, kalimat-kalimat pendek, no. 131.

[3] Tafsir ash-Shâfî, di bawah ayat 7, surat ar-Rahman (55).

[4] Tafsir Nemûneh, jilid 18, hal. 479.

[5] Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 216.

[6] Idem, hal. 216.

[7] Psikologi, Dokter Irani, hal. 23.

[8] Basyar az Nazar-e Mâddi (Manusia dari Persfektif Sang Materialis), Dr. Irani, hal. 2.