Jalan sufi: Jalan Cinta

Banyak cara dan jalan yang dipilih oleh orang untuk mendekati Tuhan Yang Mahakuasa. Ada yang menghampiri Allah Azza wa Jalla dengan kepintaran logika dan kedahsyatan argumentasinya. Kaum filosof bisa mewakili kelompok ini. Ada lagi yang menjamah Wajibul Wujud dengan slogan nafyu tasybih (penafian penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan isbat tanzih (penetapan kesucian dan kemahadigdayaan Tuhan). Kaum mutakallimin (para teolog) yang    selalu waspada dan sensitif terhadap kuman dan virus syirik berada dalam barisan dan pola pikir ini.

 

Dan kaum sufi justru memilih jalan moderat: la syarqiyyah wa la gharbiyyah (tidak condong ke timur atau ke barat) tetapi al-amru bainal amrain (jalan tengah di antara dua jalan). Yakni, jalan logika yang diusung kaum filosof–menurut kaum sufi– tidak mampu menguraikan pengalaman-pengalaman mistik ‘abid (ahli ibadah) dan zahid (pelaku Zuhud).

Akal hanya sebagai penerang jalan yang sifatnya sementara dan terbatas dan Tuhan Yang mahaagung tidak bisa dijangkau oleh akal yang kerdil dan mungil ini. Perjalanan spiritual dan suluk    ma’nawi hanya bisa dinikmati dengan ilmu rasa (dzauq) dan penyaksian (Syuhud) serta tetesan anugerah (ifadhah).

 

Syahdan, dikisahkan bahwa Ibnu Sina bertemu dengan Abu Sa’id Abul Khair. Lalu keduanya terlibat dalam diskusi yang hangat. Hingga larut malam mereka tampak  asyik-maksyuk dalam obrolan yang menggugah penasaran murid-murid masing-masing mereka.

Usai pertemuan tersebut, murid-murid Ibnu Sina bertanya perihal Abu Sa’id Abul Khair lalu Ibnu Sina menjawab, ia menyaksikan acara apa yang saya ketahui. Dan ketika Abu Khair ditanya tentang kualitas Ibnu Sina oleh murid-muridnya, beliau menjawab: kemanapun si buta ini  (Ibnu Sina maksudnya) pergi maka ia selalu bawa tongkatnya

 

Ya, sufi selalu mengandalkan ketajaman mata batin alias basirah. Sufi memadang Jamaliyyah Ilahiyyah (Keindahan Ketuhanan) dengan kebeningan hatinya. Maka tasawuf adalah ilmu rasa, bukan ilmu hafalan, ilmu hudhuri (kehadiran pengetahuan pada diri alim seperti kehadiran rasa pedas pada orang yang kepedasan), bukan ilmu hushuli (ilmu melalui panca indera dan melalui proses belajar-mengajar alamiah).

Lalu bagaimana jalan sufi itu? Dengan kata lain, bagaimana cara menjadi sufi? Sederhananya adalah bahwa jalan sufi itu adalah jalan cinta. Orang belum dikatakan sufi kalau hatinya masih menyimpan bara kebencian dan permusuhan. Hati sufi adalah hati yang sunyi dari hasud/iri dan dendam. Hati sufi adalah hati yang berisi luberan cinta dan kasih sayang. Hati sufi adalah hati yang pemaaf, pengasih, dan pengayom serta pengertian.

Mungkin kita pernah mendengar riwayat yang intinya mengatakan bahwa andaikan para nabi yang jumlahnya ribuan (ada yang mengatakan 124.000 nabi) bertemu dalam satu tempat maka mereka semua tidak akan berantem dan berselisih pendapat. Mengapa demikian? Karena keharmonisan dan kekompakan hati mereka. Sebaliknya, kita saksikan dua-tiga orang berkumpul dan ujungnya adalah perselisihan dan pertengkaran. Sesama saudara bermusuhan. Sesama sahabat saling menghujat. Sesama anak bangsa saling menghina. Ini terjadi karena kekotoran hati. Hati yang belum mengalami proses “tazkiah” (penyucian batin) adalah hati yang berbahaya dan mengancam perdamaian dan keharmonisan masyarakat.

Sekali lagi, jalan sufi adalah jalan cinta dan cinta ini bersemayam di hati. Maka pencinta sejati adalah pencinta yang berhati bening dan bersih. Dan surga terbuka lebar bagi orang yang berhati bersih. Sebab, syarat utama menghuni surga adalah kebersihan hati. Allah Swt berfirman:

 

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ

 

Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. (Qs. Al Hijr: 47).

 

Demikianlah suasana hati penghuni surga. Mereka berhadapan-hadapan dengan saudara dan sahabat mereka dalam suasana riang-gembira tanpa ada permusuhan dan kebencian serta dendam. Masalahnya adalah di dunia ada sebagian orang yang merasa memegang kunci surga tapi amalannya tidak menunjukkan sebagai amalan penghuni surga.

Orang sufi karena “terlanjur” memilih jalan cinta maka ia siap berhadap-hadapan dengan siapapun dan kelompok manapun dengan asas cinta dan penghargaan terhadap sesama manusia. Sufi mendahulukan memaafkan daripada menghukum. Sufi memprioritaskan kedamaian daripada keributan.

Akhirnya, untuk menjadi sufi, kita perlu belajar mencintai diri kita sendiri lalu belajar mencintai orang lain. Belajar mencintai diri kita berarti kita waspada jangan sampai melakukan sesuatu yang membahayakan dan tidak membawa manfaat bagi duniawi dan ukhrawi kita. Kita menjaga badan kita dari terjerumus dalam dosa dan perbuatan sia-sia. Dan belajar mencintai orang lain bermakna kita menghargai orang lain sebagai manusia terhormat, meskipun kita berbeda pendapat dan keyakinan dengan kita. Dan seyogianya kita perlakukan orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri.

Hari ini kita kehilangan nafas cinta dan kasih sayang ini di tengah masyarakat. Padahal, ibadah yang dibangun tanpa penghormatan kepada sesama dan akhlak karimah adalah ibadah yang semu dan tidak bermutu. Ibadah sufi adalah ibadah yang dibangun berdasarkan kejujuran dan pelaksanaan amanat. Sayangnya, kita sering menyaksikan orang yang rajin beribadah tapi tidak jujur dan tidak amanat. Ini ibadah orang-orang munafik.

Jalan sufi adalah jalan cinta dan jalan cinta ini diperoleh dengan qalbun salim (hati yang sehat) dan bebas dari virus-virus dan kuman-kuman penyakit hati. Dan qalbun salim diperoleh dengan pantang terhadap dosa, khususnya dosa kemanusiaan.