Makna Penyempurnaan Karunia Allah dalam Doa Arafah

Karunia-karunia yang Allah berikan kepada manusia ada di hadapannya, mengelilingi dirinya. Sampai tak tahu mulai dari yang mana di dalam bersyukur kepada-Nya. Semua pemberian dari-Nya itu harus dipelihara, diakui dan ditunaikan haknya. Salah satu bentuk dari pemeliharaan itu adalah bersyukur kepada Allah swt.
Syukrul Munim dalam istilah akidah, artinya bahwa akal mengharuskan seseorang bersyukur atau berterimakasih kepada Sang Pemberi karunia atas segala karunia yang Dia berikan kepadanya. Syukur ini:
Pertama, takkan terlaksana tanpa mengenal Dia.
Kedua, takkan berarti ucapan tanpa perbuatan.
Bersyukur ialah menunaikan hak sebuah karunia tak semata dengan perkataan. Tetapi mengeluarkan apa yang menjadi tanggungan seseorang, yang juga merupakan hak Allah swt, yaitu; khumus, zakat dan sedekah apabila karunia itu berupa harta. Demikian ini disertai pujian kepada-Nya dengan lisan dan hati.

Penyempurnaan Nikmat dengan Wilâyah Ali
Itulah cara pengakuan akan karunia-karunia yang Allah berikan kepada hamba-Nya, yang Imam Husein as sampaikan di dalam doa ‘Arafahnya:
حَتَّى إِذَا أَتْمَمْتَ عَلَيَّ جَمِيْعَ النِّعَمِ; hingga ketika Engkau cukupkan seluruh nikmat-Mu padaku..” Lalu mengatakan: وَ صَرَفْتَ عَنِّيْ كُلَّ النِّقَمِ; “dan Engkau tepis segala bencana dariku..”
Dengan begitu sempurnalah ihsân atau perlakuan baik Allah terhadap hamba-Nya. Karena, sekiranya semua karunia telah diberikan kepada manusia, dan ia senantiasa di dalamnya setiap saat, siang dan malam, tapi tak dijauhkan dari gangguan-gangguan yang membuatnya sulit menjalani hidup, maka sesungguhnya karunia-karunia itu tak lepas dari kesusahan (ujian)!
Masalah tersebut dapat kita giring -sebagai perkara teologis- kepada ayat suci yang turun pada hari Ghadir Khom: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً; “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS: al-Maidah 3)
Ialah bahwa dengan wilâyah Imam Ali as yang dinashkan maka terwujud kesempurnaan agama dan nikmat Allah. Artinya, maka teratasi segala kesulitan yang dihadapi dan rintangan yang menghalangi sampainya pada keridhaan Allah swt. Mengenai hal ini disinggung dalam firman-Nya: وَ أَنْ لَوِ اسْتَقامُوا عَلَى الطَّريقَةِ لَأَسْقَيْناهُمْ ماءً غَدَقاً; “Jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), Kami benar-benar akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)..” (QS: al-Jin 16)

Dimana Penyempurnaan Nikmat itu?
Pasca peristiwa itu sepeninggal Rasulullah saw, yakni pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh Sang Nabi Penutup saw sebagai pengganti dalam kepemimpinan ilahiah sesudah beliau, dan dengannya Allah sempurnakan agama dan lengkapi nikmat-Nya, keadaan berubah di dalam sejarah Islam. Masalah yang telah ditentukan menjadi titik terima dan tolak, pasti dan sangsi, dianalisa dan ditakwil oleh ambisi dan egoisme. Sementara itu banyak dalil-dalil naqli dan aqli yang menjelaskan masalah itu dengan terang dan gamblang.
Mengapa Ali yang diangkat? Banyak sekali riwayat keutamaan dan kelayakannya terkait perkara itu. Turmudzi dalam Sahihnya membawakan riwayat dari Zaid bin Arqam, bahwa Rasulullah saw telah mempersaudarakan antara para sahabatnya, dan membiarkan Ali (seorang diri). Tiba-tiba ia meneteskan airmata, dan berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah mempersaudarakan antara para sahabatmu. Mengapa engkau tidak mempersaudarakan antara aku dan seseorang?
Nabi saw bersabda, Engkaulah saudaraku di dunia dan akhirat!.
Masa kemudian beliau menyeru, Hai orang-orang, siapa yang aku adalah pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya. Turmudzi menambahkan nukilannya hadis-hadis yang mengingatkan hari pengangkatan Ali oleh Rasulullah saw sebagai imam bagi umat manusia. Dikuatkan dengan baiat kepada Amirul mu`minin, meskipun (di mana atau) apa nama tempat pengangkat yang disabdakan Nabi saw itu, ditiadakan sesudah masa itu.
Mereka sebutkan kapan dan bagaimana peristiwa itu, dan mengukuhkan pengangkatan itu dalam riwayat-riwayat dengan mentsiqahkan para perawinya dari berbagai jalur. Bahwa peristiwa itu terjadi setelah dari Arafat dan Mina. Tetapi soal tempat, mereka katakan: adalah antara Mekah dan Madinah, sebelum Rabdzah dan sesudah Rabigh.
Nama tempat itu adalah Ghadir Khom, dan peristiwanya pada tujuhbelas Dzulhijjah (10 hijriah). Tempat itu tak cocok untuk disinggahi karena tak ada air dan tanaman. Dalam riwayat, Rasulullah saw menyebut hari itu Ghadir Hari Raya dan Kebahagiaan” dengan penyempurnaan agama dan nikmat. Kemudian sampai di masa cucunya, Imam Husein as, dalam doanya di padang Arafah mengungkap penyempurnaan nikmat itu; حَتَّى إِذَا أَتْمَمْتَ عَلَيَّ جَمِيْعَ النِّعَمِ; hingga ketika Engkau cukupkan seluruh nikmat-Mu padaku…

Referensi:

Ushul al-Ma’rifah fi Syarh Du’a Arafah/Abbas Ahmad Rayis Darazi Bahrani