kisah imam musa alkhadzim(1)

Mengetahui Pikiran Yang Tersembunyi

Seseorang bernama Abdullah bin Khalil. Dia tertarik pada aliran Fathhi yakni dia mengatakan bahwa Abdullah Afthah putra Imam Shadiq adalah imam ke tujuh bukan Imam Kazhim as. Suatu hari dia pergi Samarra dan dia meninggalkan keyakinan yang salah itu dan menjadi pengikut dua belas imam maksum as.

Ahmad bin Muhammad berkata, “Saya melihatnya dan saya katakan kepadanya, “Mengapa engkau meninggalkan aliran Fathhi? Apa rahasianya?”

Dia menjawab, “Saya berencana menemui Imam Kazhim as dan ingin menanyakan hakikat kepada beliau. Kebetulan saya melewati gang yang sempit. Saya melihat beliau belok menuju ke arah saya. Ketika mendekati saya, beliau melemparkan sesuatu dari mulutnya dan jatuh di dada saya. Saya mengambilnya dan benda itu adalah secarik kertas yang tertulis di dalamnya, “Dia [Abdullah] bukan dalam posisi itu. Tapi dia mengklaim sebagai imam. Dia juga tidak memiliki kelayakan sebagai imam. Pengetahuan beliau akan pikiran saya yang tersembunyi inilah sehingga membuat saya keluar dari aliran Fathhiyah.”

Jangan Pernah Meremehkan Seseorang

Ali bin Yaqthin merupakan salah satu pemuka sahabat dan mendapatkan perhatian dari Imam Musa bin Jakfar. Dia juga sebagai menterinya Harun Rasyid.

Suatu hari Ibrahim Jamal [seorang penuntun onta] ingin menemuinya. Ali bin Yaqthin tidak mengizinkannya. Pada tahun itu juga Ali bin Yaqthin pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah haji dan ingin menemui Imam Musa bin Jakfar di Madinah.

Pada hari pertama Imam tidak mengizinkannya untuk bertemu. Pada hari kedua dia menemui Imam dan berkata, “Ya Imam apa kesalahan saya sehingga Anda tidak mengizinkan saya untuk menemui Anda?”

Imam berkata, “Aku tidak mengizinkan engkau untuk bertemu karena engkau tidak mengizinkan saudaramu Ibrahim Jamal ke rumahmu karena dia sebagai tukang penuntun onta, sementara sengkau sebagai menteri.

Allah tidak akan mengabulkan hajimu kecuali bila engkau meminta keridhaan pada Ibrahim.

Ali bin Yaqthin berkata, “Wahai Maulaku! Bagamaina saya bisa menemui Ibrahim, sementara saya ada di Madinah dan dia ada di Kufah?”

Imam berkata, “Ketika malam tiba, pergilah ke kuburan Baqi sendirian tanpa diketahui oleh para pembantu dan orang sekitar. Di sana engkau akan melihat seekor onta yang sudah disiapkan. Naiklah dan engkau akan dibawa ke Kufah.”

Ali bin Yaqthin pergi ke kuburan Baqi. Dia naik onta dan tidak lama kemudian dia sudah sampai di depan rumah Ibrahim. Dia mengetuk pintu dan berkata, “Aku adalah Ali bin Yaqthin.”

Ibrahim dari balik pintu berkata, “Ada apa Ali bin Yaqthin menterinya Harun Rasyid di rumahku?”

Ali berkata, “Aku punya masalah penting.”

Ibrahim tidak percaya bahwa Ali bersumpah demi dia sehingga dia membuka pintu rumahnya. Begitu pintu terbuka Ali masuk ke dalam dan bersimpuh memohon kepada Ibrahim dan berkata, “Ibrahim! Maulaku Imam Musa bin Jakfar as tidak mau menerimaku kecuali bila engkau memaafkan kesalahanku.”

Ibrahim berkata, “Allah yang harus mengampunimu.”

Sang menteri tidak puas dengan cara seperti ini. Dia meletakkan wajahnya ke tanah dan bersumpah demi Ibrahmi supaya meletakkan kakinya di wajahnya. Tapi Ibrahim tidak mau melakukan hal ini. Ali bersumpah yang kedua kalinya demi Ibrahim. Ibrahim mau menerima dan meletakkan kakinya di wajah Ali. Pada saat itu Ibrahim meletakkan kakinya di wajah Ali, Ali berkata, “Ya Allah! Jadilah saksi!”

Kemudian dia keluar dari rumah dan naik onta. Pada malam itu juga dia mendudukkan onta tersebut di depan pintu rumah Imam Musa bin Jakfar dan meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Imam. Kali ini Imam menginzinkan dan menerimanya.

Menjaga Harga Diri Seorang Mukmin

Seseorang datang menemui Imam Musa bin Jakfar as dan berkata, “Saya sebagai tebusan Anda. Orang-orang telah mengabarkan tentang perilaku salah satu saudara seagama, sehingga membuat saya sedih. Saya bertanya kepada dia sendiri ternyata dia mengingkarinya. Padahal sejumlah orang yang bisa dipercaya telah mengabarkannya tentang dia.”

Imam Musa bin Jakfar berkata, “Tutuplah mata dan telingamu di hadapan saudara muslimmu. Meski lima puluh orang bersumpah bahwa dia telah melakukannya dan dia mengatakan, aku tidak melakukannya. Terimalah ucapannya dan jangan terima ucapan mereka. Jangan sampai menyebarkan sesuatu yang membuatnya malu dan menjatuhkan harga dirinya di tengah-tengah masyarakat.”

Tawadhu dan Merendahkan Hati

Suatu hari Imam Kazhim as bertemu dengan seorang lelaki yang tinggal di pinggiran kota. Orang tersebut wajahnya sangat jelek. Beliau mengucapkan salam kepadanya dan lama duduk berbincang-bincang dengannya. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Bila engkau punya keperluan, saya siap untuk menyelesaikannya.”

Dikatakan kepada Imam, “Wahai putra Rasulullah! Apakah Anda akan duduk bersama orang jelek seperti ini kemudian menanyakan kebutuhannya?”

Imam Kazhim as berkata, “Dia adalah salah seorang hamba Allah dan saudara menurut hukum alquran, tetangga di bumi Allah. Yang menyatukan kita dengannya adalah sebaik-baiknya ayah yaitu Adam as dan sebaik-baiknya agama yaitu Islam. Boleh jadi suatu hari dialah yang menyelesaikan hajat dan kebutuhan kita. Itupun dia mendapati kita tawadhu dan merendahkan hati setelah bersikap takabur dan sombong di hadapannya.