Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keutamaan Ikhlas (2)

1 Pendapat 05.0 / 5

Dalam hadis lain mengenai tafsiran firman Allah SWT “Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.”, Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;

أتمّكم عقلاً، وأشدّكم لله خوفاً، وأحسنكم فيما أمر الله به ونهى عنه نظراً، وإن كان أقلّكم تطوّعاً.

“Yaitu orang yang di antara kalian paling sempurna akalnya, paling takut kepada Allah, paling baik dalam memahami apa yang diperintahkan dan dilarang olehNya, walaupun dia paling sedikit amalan sunnahnya.” [1]

Semua ini berarti bahwa keikhlasan adalah spirit semua amal ibadah, karena Allah-lah Zat Yang Maha Sempurna (al-Kamal al-Muthlaq) sehingga siapapun yang berhasrat kepadaNya pasti akan berjumpa denganNya dan tidak akan sia-sia harapannya. Ini berbeda dengan orang yang berhasrat kepada selainNya karena segala sesuatu selainnya pasti berkekurangan dan jauh dari sempurna. Manusia akan mengerti dan menyadari kecacatan tujuan selain Allah SWT ketika dia berproses menuju kesempurnaan (takamul), atau menyadarinya sebagai fatamargona ketika dia sampai ke tujuan itu, atau menyadari kesia-siannya ketika nyawa sudah tak lagi dikandung raganya.

Keikhlasan berada di puncak segala sifat mulia. Keikhlasan adalah motivasi bagi sifat-sifat mulia lainnya. Sebab orang yang ikhlas kepada Allah adalah orang yang memenuhi apa yang menjadi kehendak dan seruanNya, sedangkan Dia menghendaki hambaNya agar menyandang sifat-sifat mulia.

Keikhlasan yang paling minim tingkatannya adalah keikhlasan dalam pengertiannya secara fikih, yaitu meninggalkan larangan Allah SWT dan memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan kepatuhan kepada perintah Allah SWT semisal tujuan untuk bisa masuk ke dalam surga dan terjauh dari azab neraka, atau tujuan duniawi dan ukhrawi lainnya.

Keikhlasan yang tertinggi levelnya adalah keikhlasan dalam segala sesuatu, tidak hanya berkenaan dengan ritus-ritus ibadah seperti yang ada dalam pengertiannya secara fikih. Keikhlasan tertinggi meniscayakan tujuan dan niat bertaqarrub kepada Allah SWT semata, bukan kepada surga dan bukan pula karena takut kepada neraka.  Masuk surga dan terjauh dari neraka hanya faktor sekunder yang tercapai dengan sendirinya berkat kemurahan Allah SWT, sebagaimana dipaparkan dalam firman-firman Allah SWT:

وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ * إِلاَّ عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ * أُوْلَئِكَ لَهُمْ رِزْقٌ مَّعْلُومٌ * فَوَاكِهُ وَهُم مُّكْرَمُونَ * فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ * عَلَى سُرُر مُّتَقَابِلِينَ * يُطَافُ عَلَيْهِم بِكَأْس مِن مَّعِين * بَيْضَاءَ لَذَّة لِّلشَّارِبِينَ * لاَ فِيهَا غَوْلٌ وَلاَ هُمْ عَنْهَا يُنزَفُونَ * وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ * كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَّكْنُونٌ * فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْض يَتَسَاءلُونَ * قَالَ قَائِلٌ مِّنْهُمْ إِنِّي كَانَ  َقُولُ أَ إِنَّكَ لَمِنَ الْمُصَدِّقِينَ * أَ إِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَاباً وَعِظَاماً أَ إِنَّا لَمَدِينُونَ * قَالَ هَلْ أَنتُم مُّطَّلِعُونَ * فَاطَّلَعَ فَرَآهُ فِي سَوَاء الْجَحِيمِ * قَالَ تَاللَّهِ إِنْ كِدتَّ لَتُرْدِينِ * وَلَوْلاَ نِعْمَةُ رَبِّي لَكُنتُ مِنَ الْمُحْضَرِينَ * أَفَمَا نَحْنُ بِمَيِّتِينَ * إِلاَّ مَوْتَتَنَا الاُْولَى وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ * إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ * لِمِثْلِ هَذَا فَلْيَعْمَلِ الْعَامِلُونَ * أَذَلِكَ خَيْرٌ نُّزُلاً أَمْ شَجَرَةُ الزَّقُّومِ ..

“Dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan, tetapi hamba-hamba Allah yang dimurnikan. Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh nikmat. Di atas takhta-takhta kebesaran berhadap-hadapan. Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya. Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya, seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik. Lalu sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain sambil bercakap-cakap.

“Berkatalah salah seorang di antara mereka: ‘Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata: Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit)?’ Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?’ Berkata pulalah ia: ‘Maukah kamu meninjau (temanku itu)?’ Maka ia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka menyala-nyala. Ia berkata (pula): ‘Demi Allah, sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku, jikalau tidaklah karena nikmat Tuhanku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret (ke neraka). Maka apakah kita tidak akan mati?, melainkan hanya kematian kita yang pertama saja (di dunia), dan kita tidak akan disiksa (di akhirat ini)? Sesungguhnya ini benar-benar kemenangan yang besar. Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.’ (Makanan surga) itukah hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum.”[2]

(Bersambung)

CATATAN :

[1] Tafsir Namuneh, jilid 44, hal. 314.

[2] QS. Al-Shaffat [37]: 39 – 62.