Mahar dan Hak Finansial Perempuan

Maha Suci Allah yang telah mendesain alam semesta ini sedemikian rupa hingga tiap elemen di dalamnya memiliki karakter yang berbeda-beda. Begitu pula laki-laki dan perempuan. Secara alamiah, kecantikan, sifat ingin dikejar dan dicintai, terdapat dalam sosok perempuan. Sementara laki-laki selalu membutuhkan dan mencinta. Perempuan lebih mampu mengendalikan naluri-nalurinya sedang laki-laki sebaliknya. Kekhususan yang terdapat dalam sosok perempuan inilah yang membuat perempuan secara alami tak mau mengejar laki-laki dan tak mudah menyerahkan diri. Sedang kekhususan yang terdapat dalam sosok laki-laki membuatnya berusaha mencari dan menundukkan hati perempuan. Salah satu langkah yang dilakukan laki-laki untuk menaklukkan hati perempuan agar mau menerimanya adalah memberi hadiah pada sang wanita saat melamarnya.

Selain itu, mahar merupakan penghargaan laki-laki pada perempuan. Secara naluri, perempuan menyadari bahwa dia tidak boleh menyerahkan dirinya di bawah otoritas laki-laki begitu saja. Dia harus membuat dirinya bernilai. Dan mahar merupakan salah satu bentuk penghargaan untuk dirinya. Ini adalah salah satu filsafat mahar.

Sehubungan dengan mahar, Al-Qur’an menyatakanوَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً   “Dan berikanlah pada perempuan mahar mereka sebagai sebuah pemberian yang spontan.” (Q.S. An-Nisa: 4) Dari ayat ini, terdapat tiga poin penting yang harus dijelaskan. Pertama, mahar diungkapkan dalam kata shaduqa. Dan ini menunjukkan bahwa mahar merupakan tanda kejujuran dan kesungguhan seorang laki-laki.

Kedua,  kata hunna (kata ganti untuk perempuan plural) dalam kalimat  itu menunjukkan bahwa mahar merupakan hak perempuan secara utuh. Bukan hak ayah, atau saudara perempuan seperti yang terjadi di zaman pra Islam.

Ketiga, kata nihlahtan yang berarti menjelaskan bentuk pemberian mahar itu sendiri yaitu dengan kerelaan dan spontan tanpa  disertai keberatan hati. Ini mengisyaratkan bahwa mahar perempuan adalah pemberian yang tidak memberatkan (Tafsir Kasyaf, Mufradat ar-Raghib al-Isfahani, Huquqe Zan dar Islam).

Ya, Al-Quran menekankan agar mahar tidak memberatkan calon suami. Tapi sayangnya, banyak pihak yang salah mengartikan hal ini. Menurut mereka, mahar yang baik adalah mahar yang murah dan sedikit dengan alasan bahwa perempuan baik adalah perempuan yang maharnya sedikit. Kemudian dalam beberapa kasus, suami dengan dengan mudah menceraikan atau meninggalkan istrinya dan mencari perempuan lain karena maharnya sangat murah. Hal ini sering terjadi dalam pernikahan siri (rahasia). Seorang laki-laki bisa menikah berkali-kali dan setiap kali istrinya mengandung, dia meninggalkan istri dan anaknya begtu saja. Fenomena seperti ini masih ditemukan di daerah-daerah terpencil.

Salah satu penyebab hal ini adalah minimnya pengetahuan yang dimiliki perempuan hingga dia tak mau atau tak berdaya menuntut haknya dan hak  anaknya. Sementara mahar sedikit yang telah menjadi haknya tak mampu meringankan beban ekonominya. Padahal, sang suami sebenarnya mampu memberikan mahar yang lebih banyak.

Bisa jadi, salah satu faktor kenapa laki-laki dengan mudah menikahi beberapa perempuan adalah murahnya mahar perempuan. Mungkin jika mahar perempuan cukup mahal, laki-laki tak akan menikah lagi dengan mudah. Dia akan berpikir panjang untuk menikah lagi karena harus menyediakan mahar mahal bagi calon istrinya yang baru.

Tapi harus diingat bahwa hal itu tidak berarti perempuan boleh menetapkan mahar sangat mahal hingga memberatkan laki-laki seperti yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah seperti Saudi dan Iran. Di Iran sendiri,  Pemimpin Tinggi Revolusi Islam, Ayatullah Ali Khamanei berusaha mengikis tradisi yang salah itu. Beliau tidak bersedia menikahkan pasangan yang maharnya terlalu mahal. Bahkan di sana sering dilakukan pernikahan massal antara mahasiswa dan mahasiswi dengan upacara pernikahan dan mahar yang wajar.

Langkah terbaik adalah menentukan mahar yang tidak terlalu murah atau terlalu mahal. Mahar harus sesuai dengan kemampuan laki-laki yang akan memberikan mahar. Islam melarang umatnya melakukan ifrath dan tafrith (berlebih-lebihan) sebagaimana sabda Rasulullah saw,  “Khairul umur ausathuha” sebaik-baiknya perkara adalah di tengah-tengah.

Perlu diingat  bahwa mahar tidak harus selalu berbentuk materi. Mahar bisa juga berupa sesuatu immateri.  Dikisahkan ada seorang sahabat yang ingin menikah. Rasulullah meminta sesuatu padanya yang dapat dijadikan mahar. Sahabat tersebut pulang ke rumahnya. Tapi sayang, dia tak menemukan  apa-apa di rumahnya. Lalu, Rasulullah bertanya padanya apakah dia bisa membaca al-Qur’an. Pria itu mengiyakan. Akhirnya Rasulullah menikahkan pria itu dengan mahar mengajarkan membaca al-Qur’an pada sang perempuan. Tentu saja setelah calon istri menyetujui mahar tersebut.

Pada hakikatnya, mahar merupakan sebuah hak finansial perempuan yang diakui oleh Islam. Hak finansial perempuan yang lain adalah warisan. Dalam warisan, perempuan hanya menerima setengah bagian dari hak laki-laki. Salah satu rahasia dalam hukum warisan ini adalah, karena perempuan telah mendapatkan mahar dari suaminya saat menikah. Karena laki-laki harus memberi mahar pada perempuan, maka dia menerima warisan yang lebih banyak dari perempuan. Jadi tidak ada diskriminasi atau kesewenang-wenangan sedikit pun dalam hukum Islam.

Dan mahar itu sendiri telah diberi batasan dalam Islam; sebaiknya mahar tidak memberatkan pihak laki-laki dan diberikan sebagai tanda kejujuran dan penghargaan laki-laki pada calon istrinya.