Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keutamaan Ikhlas (3)

0 Pendapat 00.0 / 5

Tafsiran mengenai beberapa ayat 39 – 62 dalam surat Al-Shaffat [37] yang disebutkan dalam artikel sebelumnya ialah dua asumsi sebagai berikut;

Pertama, firman “dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan” ditujukan kepada para penghuni neraka Jahannam saja seperti yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Sedangkan firman “tetapi hamba-hamba Allah yang dimurnikan” merupakan “pengecualian yang terputus” (istitsna’ munqathi’) yang mencakup semua penghuni surga sehingga “rizki tertentu” yang disebutkan dalam firman “mereka itu memperoleh rezki yang tertentu” merupakan ringkasan yang relevan untuk rincian yang disebutkan berikutnya dalam firman “yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh nikmat. Di atas takhta-takhta….” yang semuanya berkenaan dengan kenikmatan fisik yang dihiasi kenikmatan ruhani dengan gambatan yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum sehingga yang terlihat seolah surga pada jenjangnya yang terendah karena asumsinya ialah bahwa semua itu dinikmati oleh seluruh penghuni surga.

Kedua, firman “dan kamu tidak diberi pembalasan …” ditujukan kepada semua orang, baik yang beriman maupun yang durhaka sehingga firman “tetapi hamba-hamba Allah yang dimurnikan” merupakan “pengecualian yang terhubung” (istitsna’ muttashil), dan yang dimaksud dengan “mukhlashin” ialah orang-orang tertinggi tingkat keimanannya, yaitu mereka yang telah memurnikan jiwanya karena Allah atau mereka yang telah dimurnikan jiwanya oleh Allah agar semata-mata berbuat karena Allah dan terbebas dari segala cemar dan noda.

Ayat-ayat tersebut seakan menjelaskan bahwa kenikmatan fisik atau materi yang dihiasi dengan kenikmatan ruhani yang dapat dibayangkan meskipun secara global oleh manusia pada umumnya semata-mata merupakan balasan atau perwujudan dari amal baik mereka, sebagaimana azab dan siksa juga merupakan balasan atau perwujudan dari amal buruk mereka. Asumsi ini sesuai dengan teori “aktualisasi perbuatan” (tajassum al-a’mal) yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia memiliki manifestasinya yang hakiki.

Sedangkan kaum “mukhlashin” bukanlah kalangan yang berurusan dengan sebatas balasan untuk amal perbuatannya karena mereka berbuat memang dengan tujuan mendapatkan pahala, melainkan semata-mata karena Allah SWT.  Karena itu mereka mendapat perlakuan yang berbeda dengan perlakuan terhadap orang berbuat karena “dibayar”. Mereka bukanlah orang-orang bayaran. Karena itu, balasan untuk mereka bukan berada dalam lingkup amal perbuatan mereka, melainkan anugerah tersendiri dan istimewa dari Allah SWT.

Atas dasar ini balasan yang lebih layak untuk mereka adalah balasan yang bersifat ruhani, maknawi dan transenden semata berupa perjumpaan dengan Allah dan keadaan menikmati kemaha indahanNya yang tentunya tak terlukiskan dalam benak manusia pada umumnya.

Dengan demikian maka firman “mereka itu memperoleh rezki yang tertentu” bukanlah ringkasan dari rincian kenikmatan-kenikmatan yang disebutkan pada firman-firman berikutnya, melainkan isyarat global mengenai kenikmatan maknawi yang tak mungkin dapat dijelaskan kepada orang yang belum memperoleh rizki istimewa itu.

Ayat-ayat selanjutnya lantas menjelaskan bahwa para ‘mukhlashin’ juga bukannya tidak mendapat kenikmatan-kenikmatan fisik tersebut, melainkan juga menikmatinya sebagaimana orang-orang lain. Sebab, bagaimana juga mereka adalah manusia yang juga memiliki raga yang merupakan wujud fisik dan materi, sebagaimana mereka juga memiliki ruh yang tinggi hingga ke level ikhlas kepada Allah SWT. Mereka mendapat kemuliaan ruhani sebagaimana mereka mendapat kemuliaan fisik yang merupakan tempat bagi ruhnya.

Al-Quran al-Karim berulang kali menyebutkan ungkapan-ungkapan mengenai kenikmatan ukhrawi dari yang bersifat global dan samar hingga yang bersifat rinci, jelas, dan dapat dimengerti. Semua ungkapan yang bersifat global bisa jadi merupakan isyarat tentang kenikmatan maknawi yang tak terlukiskan dalam benak kita sehingga tak mungkin pula dapat dijelaskan kepada kita. Ungkapan-ungkapan itu antara lain firman-firman Allah SWT sebagai berikut;

فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُن.

“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka…”[1]

يَا أَ يَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ * ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً * فَادْخُلِي فِي عِبَادِي * وَادْخُلِي جَنَّتِي.

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”[2]

(Bersambung)

CATATAN :

[1] QS. Al-Sajdah [32]: 17.

[2] QS. Al-Fajr [89]: 27 -30.