Tawakkal (2)

Ketiga, keserupaan dengan orang yang bertawakkal tapi pada hakikatnya dia bukan bertawakkal. Hal ini karena dia mengetahui faktor-faktor tawakkal yang dapat menyelematkannya dari resiko tersebut. Sebab dia mengetahui bahwa kepemilikan adalah untuk Allah semata dan tak ada siapapun yang bersekutu dengannya, dan tak ada suatu apapun di tangannya untuk dapat dipasrahkan kepadaNya.  Orang yang demikian berada di atas jenjang tawakkal, tapi menyerupai tawakkal dalam hal pengabaian terhadap sebab akibat semata. [1]

Tanggapan:

Kita memang tidak memiliki apapun karena segala sesuatu adalah milik Allah semata. Namun, anggapan bahwa kesadaran demikian tidak membuka peluang bagi tawakkal pastilah mengacu pada satu di antara tiga alasan yang semuanya tidak benar, sebagai berikut;

Pertama, jika segala sesuatu adalah milik Allah lantas apa makna tawakkal atau pelimpahan sesuatu kepadaNya? Orang yang melimpahkan sesuatu akan menunjuk wakil semata berkenaan dengan apa yang dimiliki oleh pelimpah, bukan berkenaan dengan apa yang justru dimiliki oleh wakilnya.

Tanggapan: Alasan demikian hanyalah menggugurkan tawakkal dalam pengertian perwakilan/pelimpahan yang dalam fikih dipandang sebagai salah satu akad perjanjian. Sedangkan jika maksudnya hanyalah semata kebersandaran kepadaNya maka alasan itu menjadi invalid dan tak relevan. Tawakkal dalam arti kebersandaran bisa saja disebut tawakkal fiqhi, tapi sebatas metafora (majazi) karena Allah SWT juga menisbatkan kepemilikan kepada kita secara majazi dalam berbagai hal.

Kedua, tidaklah bermakna ketika seorang hamba berharap mendapat kemaslahatan bagi diri sehingga bertawakkal agar Allah SWT mewujudkan harapan ini. Karena itu, dia seharus tidak menghendaki apapun kecuali yang dikehendaki olehNya.

Tanggapan: Prinsip cinta diri atau menyukai sesuatu yang bermaslahat bagi diri merupakan sesuatu yang esensial bagi manusia. Asumsi bahwa hakikat ini dapat dipisahkan dari manusia jelas tidak benar. Memang, manusia dapat mengorbankan cinta itu demi apa yang dikehendaki Allah SWT, tapi tetap saja dia berharap apa yang dikehendaki olehNya itu sesuai dengan maslahatnya, dan harapan demikian pasti ada dalam tawakkal kepadaNya.

Ketiga, hamba tidak memiliki ikhtiar karena semua perbuatannya ternisbat langsung kepada Allah SWT, atau dia terpaksa dalam berikhtiyar. Karena itu dia tidak bisa berbuat apapun atas dirinya untuk kemudian memasrahkannya kepada Allah SWT. Pelaku mutlak adalah Allah SWT, dan inilah makna tauhid dalam perbuatan (tauhid fi al-fi’il).

Tanggapan: Asumsi demikian mengabaikan apa yang disebut oleh para imam maksum as sebagai konsep “al-amr baina al-amrain” (satu di antara dua perkara). Orang yang mengabaikan konsep ini ada yang terjebak pada konsep jabariah (determinisme) yang mengingkari ikhtiar manusia, dan ada pula yang terjebak pada konsep  qadariah (ikhtiar mutlak) yang pada hakikatnya juga merupakan “jabr” (keterpaksaan ), sehingga tidak relevan dengan adanya pahala dan siksa.

Dalam madrasah Ahlul Bait as terdapat konsep ikhtiar yang berbeda dan tidak mutlak, melainkan ada di antara dua konsep tersebut. Dengan demikian maka yang tersisa bagi hamba adalah ikhtiar di mana kekuasaan dan kemampuan di dalamnya tetap kembali kepada Allah SWT, dan ketika dia memiliki ikhtiar demikian maka masih tersedia peluang baginya untuk bertawakkal.

Kajian rasional (aqliah) tentang ini tentu panjang lebar. Karena itu di sini cukup dikutipkan beberapa riwayat dari para imam Ahlul Bait as sebagai berikut;

Riwayat dari Yunus bin Abdurrahman dari beberapa perawi lain bahwa Mohammad al-Baqir as dan Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
إنّ الله أرحم بخلقه من أن يجبر خلقه على الذنوب ثُمّ يعذّبهم عليها. والله أعزّ من أن يريد أمراً فلا يكون. هل بين الجبر والقدر منزلة ثالثة ؟ نعم، أوسع ممّا بين السماء والأرض.

“Sesungguhnya Allah terlampau Pengasih untuk memaksa makhlukNya berbuat dosa lalu mengazabnya atas dosa ini. Dan Allah terlampau mulia untuk menghendaki sesuatu lalu tidak terjadi. Apakah di antara jabariah dan qadariah terdapat posisi ketiga? Ya, bahkan lebih luas daripada langit dan bumi.”[2]

(Bersambung)

CATATAN :

[1] Lihat Manazil al-Sa’irin, Bab Tawakkal dari bagian Muamalat, dikomentari oleh al-Kasyani, hal. 75-77, dan dikomentari pula oleh Talmasani, hal. 197 – 201.

[2] Al-Kafi, jilid 1, hal. 159, Bab al-Jabr wa al-Qadr wa al-Amru Baina al-Amrain, Hadis 9.