Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Pelajaran Filsafat Hikmah Muta’aliyah Bag.1

1 Pendapat 05.0 / 5

Asalah Wujud dan I’tibariyyah Mahiyyah

(Kemendasaran Eksistensi dan Keiktibaran Kuiditas)

Kemendasaran eksistensi merupakan pusat dan sentral dari pembahasan filsafat Hikmah Muta’aliyah, dimana Filosof Mulla Sadra memulai pembahasan ini secara panjang lebar dan terpisah dalam buku Al-Asfar Arba’ahnya. Kemahiran Mulla Shadra dalam pembahasan ini (kemendasaran eksistensi dan keiktibaran esensi) memberi landasan kokoh bagi filsafat Hikmat Muta’aliyah dan memberi solusi yang besar terhadap berbagai masalah kefilsafatan, seperti Wahdatul Wujud, Kausalitas, Eskatologi, Free will dan Determinisme, Baik dan Buruk (secara tinjauan eksistensi), dan pembahasan-pembahasan filsafat lainnya.

Manusia tidak ragu bahwa terdapat fenomena-fenomena nyata di alam luar yang mempunyai efek-efek nyata serta bukan hanya imajinasi kosong. Kemudian kita abstraksikan dari setiap benda yang disaksikan –dalam kenyataan ia satu di luar– dalam bentuk dua konsep, yakni wujud dan mahiyah, dimana keduanya berbeda satu sama lain secara pengertian, meskipun secara misdak (extension) adalah satu. Seperti manusia yang ada di alam luar, kita abstraksikan dalam bentuk dua konsep, yaitu konsep manusia dan maujud.

Dalam konteks ini filosof berbeda tentang kemendasaran dari kedua konsep tersebut. Para filosof peripatetik berpendapat bahwa wujud yang prinsipalitas (asalah), sedangkan para filosof iluminasi –sebagaimana yang dinukil– mereka berpandangan mahiyah yang asalah. Tetapi yang pasti tidak seorangpun dari filosof yang berpendapat bahwa keduanya asalah, sebab jika keduanya asalah maka memestikan setiap sesuatu yang  satu, terasumsi dua perkara berbeda, dan ini menyalahi (hukum akal) secara daruri.

Sebagai catatan, seorang filosof kontemporer memiliki pandangan kemendasaran keduanya yang disebut “Asalah Kilahuma”.

Yang benar menurut keyakinan para filosof Hikmah Muta’aliyah,  pandangan filosof peripatetik, yakni asalah adalah wujud.

Uraian dan Penjelasan

Pertanyaan yang muncul dalam masalah ini adalah apakah wujud yang asîl (real) dan mahiyah suatu perkara iktibari (mentally-posited) ataukah sebaliknya? Sebelum menjelaskan dalil untuk membuktikan kemendasaran wujud dan keiktibaran mahiyah, perlu kiranya dijelaskan tentang kata wujud, mahiyah, asalah, dan iktibari sehingga jelas yang menjadi tempat perbincangan.

Wujud terkadang digunakan dalam bentuk makna harfi (makna literal) dimana berperan sebagai penghubung antara proposisi-proposisi yang dalam bahasa Indonesia digunakan dengan kata “adalah”, terkadang juga digunakan dalam bentuk makna mashdari (makna infinitif) yang mencakup relasi dengan pelaku, serta terkadang dalam bentuk ism-e mashdari (verbal noun) yang sinonim dengan kata “ada/keberadaan” (being dalam bahasa Inggris). Yang menjadi pembahasan di sini adalah makna ism-e mashdari yang dalam hal ini wujud bermakna being dalam bahasa Inggeris dan dalam bahasa Indenesia bermakan keberadaan, bukan makna harfi dan makna mashdari.

Mahiyah adalah suatu mashdar buatan yang diambil dari mâ huwa (what is it?), dan digunakan dengan makna ism-e mashdari yang sinonom dengan esensi dalam bahasa Indonesia dan quiddity serta whatness dalam bahasa Inggeris. Konsep-konsep keesensialan adalah konsep-konsep yang menggambarkan esensi dan esensial misdak-misdaknya (penerapan obyek-obyek luarnya) dan menjelaskan bahwa obyek-obyek (benda-benda) di luar, adalah apa ia itu? Dengan demikian, jika Anda mengisyaratkan suatu obyek khusus dan Anda bertanya apa ini? Keapaan yang dikatakan sebagai jawaban benar dari pertanyaan ini, itulah yang menjadi mahiyah sesuatu itu. Jadi esensi atau mahiyah tidak lain adalah sesuatu yang dijelaskan sebagai jawaban dari pertanyaan apa ini? Karena itu dikatakan: Mahiyah adalah apa yang dikatakan sebagai jawaban mâ huwa (what is it?).

Mahiyah juga mempunyai istilah lain yang lebih umum dari istilah pertamanya. Dalam menjelaskan istilah keduanya dikatakan: «الماهية ما به الشيء هوهو». Yakni mahiyah identik dengan identitas dan hakikat sesuatu. Kelebihumuman istilah kedua dikarenakan ia mencakup juga wujud wajib, sementara istilah pertama hanya terkhususkan pada mumkinât (wujud-wujud mumkin). Dengan kata lain Wajib Ta’alâ (Tuhan) tidak mempunyai kuiditas tetapi memiliki huwiyyah (identity). Namun yang menjadi fokus bahasan dalam pembahasan prinsipalitas wujud adalah istilah pertama.

Poin lain yang harus diperhatikan adalah, konsep mahiyah sendiri (yakni mahiyah secara predikasi primer) tidak menjadi pembahasan kita, sebab tidak diragukan konsep kuiditas adalah suatu konsep iktibari dan tidak seorangpun mengklaim tentang ke-asalahan-nya. Yang menjadi pembahasan adalah konsep-konsep esensial (yakni mahiyah secara predikasi umum), dengan kata lain pembahasan berhubungan dengan  ke-asalah-an dan ke-iktibar-an konsep-konsep seperti manusia, kuda, tumbuhan, dan lainnya, bukan konsep mahiyah itu sendiri.

Penjelasan: Kita dalam berhadapan dengan obyek-obyek di luar mendapatkan dua konsep dari mereka, satunya konsep wujud dan lainnya konsep esensial yakni konsep-konsep seperti air, tanah, manusia, kehitaman, dan keputihan. Konsep pertama, dengan memperhatikan keunivokalan konsep wujud maka wujud dalam seluruh obyek-obyek adalah sama dan terhadap seluruh obyek-obyek luar adalah benar dengan satu makna serta dengan mengisyaratkan setiap salah satu dari mereka kita dapat katakan: obyek atau benda ini  maujud. Konsep ini menggambarkan asli perwujudan dan realitas obyek-obyek.

Akan tetapi kelompok kedua adalah konsep-konsep yang setiap dari mereka berlaku hanya untuk sebagian khusus dari obyek-obyek dan tidak dapat diterapkan bagi keseluruhan dari mereka. Sebagian dari obyek-obyek luar adalah tanah, sebagian lainnya air, dan sekelompok dari mereka adalah manusia. Konsep-konsep ini yang menerangkan masing-masing esensi dan kuiditas dari misdak-misdaknya disebut konsep-konsep mâ huwi .

Dengan kata lain, akal kita menentukan dua dimensi pada setiap obyek-obyek, dimensi kuiditas dan dimensi eksistensi. Kuiditas-kuiditas identik dengan obyek-obyek yang terbagi kepada jenis-jenis yang beragam, dan eksistensi adalah sesuatu yang berhadapan dengan adam (ketiadaan) dan semua obyek-obyek maujud mempunyai eksistensi. Ustad Muthahari dalam catatan kaki Ushul-e Falsafeh menjelaskan mahiyah demikian ini: Anggaplah bahwa kita mendapatkan pembenaran secara pasti terhadap tiga obyek, yakni garis, angka, dan manusia, dan kita memandang setiap dari mereka mempunyai realitas serta menghukumi garis adalah maujud, angka adalah maujud, dan manusia adalah maujud. Tiga obyek ini dalam dimensi keberadaan tidak berbeda satu sama lain, tetapi pada saat yang sama kita mengetahui bahwa mereka adalah tiga obyek yang memiliki realitas.

Untuk akal kita tergambar diagram seperti ini, setiap satu dari perkara-perkara wujud ini bergantung kepada satu obyek dan dalam setiap perkara, satu obyek yang terpakaikan dengan pakaian wujud. Dengan kata lain, bagi akal kita tergambar seperti ini bahwa pada setiap satu dari perkara-perkara wujud ini, satu obyek tertentu keluar dari persembunyian adam dan menampak dari tirai ambiguitas serta kegelapan ketiadaan. Dalam satu tempat, wujud berkaitan dengan sesuatu yang kita sebut padanya kammiyyah muttashil (continuous quantity) dan pada tempat lain kita namakan dengan kammiyyah munfashil (discontinuous quantity)  serta pada tempat lain lagi kita sebut dengan substansi intelektual.

Apa yang dalam akal menjelma dalam bentuk terpentaskan dan seperti sesuatu yang memakai pakaian eksistensi atau sesuatu yang keluar dari persembunyian adam serta kegelapan ketiadaan, ia itu adalah mahiyah. Misalnya dalam contoh di atas dimana kita menghukumi garis atau angka atau manusia adalah maujud; garis, angka, dan manusia adalah mahiyah-mahiyah yang berbeda  yang telah memiliki realitas (Merujuk pada Ushul-e Falsafeh, Jld. 3, hal. 32 dan 33).

Dengan uraian dan penjelasan di atas, tidak diragukan bahwa alam luar merupakan wadah fenomena-fenomena nyata yang mempunyai efek-efek hakiki; dan kita dalam berhadapan setiap dari mereka, mengabstraksikannya dalam bentuk dua konsep wujud dan mahiyah, kendatipun fenomena tersebut di alam luar dan secara misdak adalah satu.

Bersambung