Imam Hasan, Pelindung Kesucian Islam(1)

Hari ini,7 Safar bertepatan dengan wafatnya cucu tercinta Rasulullah Saw, Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Setiap tahun umat Islam memperingati hari wafatnya manusia suci ini dan mereka tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Umat Islam tak pernah melupakan jasa dan peran manusia suci ini dalam membela agama kakeknya. Imam Hasan gugur syahid setelah empat puluh tahun dari meninggalnya Rasulullah. Cucu nabi ini syahid di tahun 50 Hijriah.

Di akhir kehidupannya Imam Hasan menggengam tangan saudaranya, Imam Husein as dan berkata, “Di detik-detik terakhir kehidupanku, Aku sedih karena harus berpisah darimu. Namun Aku senang karena segera akan bertemu dengan kakek, ayah dan ibuku Fatimah. Saudaraku! Aku mewasiatkan kepadamu untuk memaafkan keluargaku jika mereka melakukan kesalahan dan menerima mereka yang berbuat baik. Dan Aku berharap kamu menjadi ayah bagi mereka.”

 

Imam Hasan adalah putra Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fatimah as, putri tercinta Rasulullah. Beliau selama delapan tahun hidup di bawah asuhan kakeknya, Nabi Muhammad Saw. Selama itu, Imam Hasan banyak belajar dari kakeknya tentang hakikat dan rahasia Ilahi. Delapan tahun tumbuh di bawah kasih sayang Rasulullah membuat Imam Hasan menjadi pemuda yang terampil di kemudian hari dan memiliki hati yang lembut. Terkadang Imam Hasan berada di sisi Rasulullah ketika beliau menerima wahyu. Imam Hasan mendengarkan langsung lantunan ayat suci al-Quran langsung dari Rasulullah dan kemudian membacakannya kepada ibunda beliau, Sayidah Fatimah as.

 

Karakteristik Imam Hasan as disebutkan dalam sebuah riwayat sangat mirip dengan Rasulullah Saw baik dari sisi wajah maupun akhlak. Imam Hasan dikenal memiliki sifat tawadhu dan pemurah. Bahkan beliau menginfakkan hartanya di jalan Allah tiga kali, dan setiap kali, Imam Hasan memberikan separuh hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Imam Hasan juga dikenal sebagai Karim Ahlul Bait. Karim dilekatkan kepada sosok yang sangat pemurah.

 

Imam Hasan pasca syahidnya Imam Ali as memegang tampuk Imamah. Saat itu masyarakat Islam berada di kondisi sangat sensitif. Kepemimpinan umat Islam adalah isu sangat vital. Imam Hasan setelah gugurnya sang ayah, di sebuah pidatonya menjelaskan kebenaran jalan Rasulullah dan Imam Ali kepada umat Islam. Beliau juga mengingatkan bahwa Ahlul Bait Nabi adalah cahaya penerang hakikat (kebenaran) setelah Nabi Muhammad. Secara transparan Imam Hasan membela posisi Ahlul Bait dan mengungkapkan kesiapannya untuk memegang tanggung jawab berbahaya sebagai pemimpin umat.

 

Banyak umat Islam yang berbaiat kepada Imam Hasan di kota Kufah dan beliau menerima Imamah di kondisi yang penuh kegelisaan dan tak tenang. Baiat warga kepada Imam Hasan sangat tidak diharapkan oleh Muawaiya yang menjadi gubernur Syam. Oleh karena itu, ia bangkit menentang Imam Hasan. Sementara itu, Imam Hasan meminta Muawiyah untuk tidak bersikap keras kepala dan mengikuti kebenaran. Namun penentangan Muawiyah kepada Imam Hasan akhirnya berujung pada pengiriman pasukan ke Irak untuk memerangi khalifah resmi umat Islam. Di balik militeralisasi ini, Muawiyah juga tak segan-segan menyuap tokoh-tokoh berpengaruh di Kufah.

 

Bani Umayyah dengan janji yang muluk-muluk berhasil merekrut sejumlah tokoh berpengaruh dan memiliki nama di Kufah serta memisahkannya dari Imam Hasan. Saat itulah, Muawiyah berani mengumumkan perang terhadap Imam Hasan. Imam pun tak tinggal diam dan mengirim pasukan sebanyak 4000 orang untuk melawan pembangkang dan menyeru umat Islam untuk bangkit membela kebenaran. Namun Imam harus menelan kekecewaan besar, karena beliau menyaksikan sikap pengecut, dan menyerah di sejumlah warga, khususnya pada komandan di pasukannya.