Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Pelajaran Filsafat Hikmah Muta’aliyah Bag. 2 (part1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Pengertian Keprinsipalitasan dan Keiktibaran

Sekarang setelah kita ketahui bahwa dalam berhadapan dengan setiap realitas, tergambar dua konsep dalam dzihn (akal, mental) kita, salah satunya konsep wujud dan lainnya mahiyah, pertanyaan berikutnya yang muncul, yang mana dari kedua konsep tersebut yang mempunyai realitas hakiki. Yakni yang mana dari keduanya ini, dalam artian kata yang hakiki dan tanpa majazi, yang mewujud di luar dan membentuk teks realitas di luar?

Memang benar bahwa konsep wujud dan konsep-konsep kemahiyahan (keesensialan) terterapkan secara sama atas realitas luar, misalnya kita katakan: Individu ini adalah manusia, dan adalah maujud, tapi yang mana dari keduanya ini yang merupakan misdak hakiki dari realitas luar. Dengan kata lain, apakah wujud dan mahiyah keduanya merealitas dan menyata di luar ataukah salah satu dari keduanya merealitas dan lainnya adalah abstraksi?

Untuk jelasnya masalah tersebut perhatikan contoh ini: Anggaplah di atas satu bagian papan hitam terdapat bercak berwarna putih berbentuk segi empat sama sisi. Dengan menyaksikan bercak berwarna putih ini tergambarlah dalam akal dua konsep: salah satunya adalah konsep keputihan dan lainnya segi empat sama sisi. Sekarang kita bertanya: Apakah kedua konsep ini, keduanya sejajar dalam perwujudan luar? Apakah di atas papan hitam benar-benar dua benda yang menyata atau satu benda? Dengan sedikit teliti dapat diketahui bahwa apa yang secara hakikat di atas papan hitam tidak lain adalah keputihan, akan tetapi dikarenakan keputihan ini mempunyai keterbatasan khusus empat sisi maka tergambarlah pola khusus itu dalam akal. Konsep jajaran genjang ini sebenarnya merupakan gambaran batasan dari keputihan tersebut dan merupakan sebuah pola yang terterapkan atasnya. Jadi yang secara hakikat ada hanyalah keputihan itu saja. Contoh ini hanya untuk mendekatkan kepada pikiran, adapun berdasarkan galibnya pandangan fisafat Islami, bentuk dan warna keduanya adalah aksiden, yang pertama dari kategori kuantitas dan yang lainnya dari kategori kualitas, dan karena itu kedua-duanya mempunyai acuan obyektif.

Pengertian keprinsipalitasan wujud (kemendasaran wujud, keprioritasan eksistensi) adalah  bahwasanya apa yang membentuk teks realitas dan secara hakikat mempunyai perwujudan di luar, tidak lain adalah eksistensi. Dan makna keiktibaran mahiyah adalah mahiyah merupakan batasan wujud, ia merupakan sebuah format akal yang mencerminkan realitas luar dalam dzihn.[1] Akan tetapi jika sesuatu dalam tinjauan kita tidak memiliki keterbatasan, seperti Wajib Ta’alâ, niscaya sesuatu tersebut juga tidak akan mempunyai mahiyah. Dengan kata lain, keiktibaran mahiyah bermakna bahwa mahiyah secara majazi mempunyai perwujudan, dan secara presentasi wujud ia mendapatkan realitas, dan ia terabstraksi dari wujud.

Sebagai konklusi, yang dimaksud dari dua konsep saling berhadapan antara prinsipal dan iktibari (mentally-posited) di sini adalah, mana dari dua konsep esensial dan konsep wujud secara subtantif dan tanpa perantara ketelitian falsafi menceritakan dari realitas obyektif… apakah mesti realitas obyektif itu dipandang identik dengan dimensi esensial dimana konsep wujud dipredikatkan atasnya lewat pemberian akal dan dengan perantara konsep esensial, karena itu ia adalah sisi cabang dan sekunder, atau realitas obyektif  identik dengan kedimensian yang terkonseptual tentangnya dengan konsep wujud dan konsep esensial hanya refleksi akal terhadap batasan dan pola realitas, dan wujud adalah yang obyektif. Karena itu konsep esensiallah yang merupakan sisi cabang dan sekunder.

Dalam berhadapan dengan permasalahan ini, jika alternatif pertama kita terima dan kita memandang realitas obyektif  sebagai ekstensi subtantif dan tanpa perantara mahiyah maka kita berpandangan keprinsipalan mahiyah dan keiktibaran wujud, dan jika alternatif kedua kita terima dan realitas obyektif kita tinjau sebagai misdak subtantif dan tanpa perantara konsep wujud dan kita menghitung konsep esensial sebagai pola mental bagi batasan-batasan realitas yang terbatas maka kita berpandangan keprinsipalan wujud dan keiktibaran mahiyah. (Merujuk pada Âmuzasy Falsafeh, Jld. 1, Hal. 296 dan 297).

Probabilitas dan Kemungkinan Masalah 

Setelah subyek perselisihan menjadi jelas maka harus dicari dan diteliti kemungkinan-kemungkinan permasalahan. Sesuatu yang mungkin muncul dalam akal sebagai jawaban dari pertanyaan apakah wujud yang mendasar atau mahiyah, diantaranya:

Tidak satupun dari keduanya yang prinsipalitas;

Keduanya prinsipalitas;

Mahiyah yang prinsipalitas dan wujud adalah iktibari;

Wujud yang prinsipalitas dan mahiyah adalah iktibari.

Asumsi pertama tidak dapat diterima. Sebab pengertian bahwa wujud dan mahiyah keduanya adalah iktibari, yakni tidak satupun realitas di luar yang mempunyai perwujudan dan semua yang ada merupakan buatan mental kita. Tetapi sebagaimana dalam awal kitab kami telah sebutkan bahwa realitas luar adalah swabukti dan tidak dapat diingkari.

Asumsi kedua juga tidak dapat diterima dan dengan sedikit berfikir akan jelas kebatilannya, sebab sebagaimana yang telah kami katakan, dari setiap satu realitas akan muncul dalam mental dua konsep wujud dan mahiyah. Yakni dari satu realitas akan terurai dalam akal dalam bentuk dua konsep. Wadah multiplisitas adalah mental dan bukan alam luar. Di luar adalah satu obyek dan di mental menjadi dua obyek. Jika wujud dan mahiyah keduanya principal, mesti apa yang diasumsikan satu realitas adalah dua realitas, dan dari satu sisi setiap salah satu dari dua realitas ini juga mempunyai wujud dan mahiyah maka kita akan memiliki empat realitas dan secara tertib demikian selanjutnya serta berakhir dalam tasalsul.

Dengan kata lain jika kita ingin menyatakan bahwa wujud dan mahiyah keduanya adalah prioritas maka akan memestikan kemustahilan. Yakni di luar tidak seperti ini, terdapat keinsanan dan keeksistensian dan keduanya ini satu sama lain saling inheren, seperti aksiden dan teraksiden, yakni manusia pada suatu tahap adalah dahulu atas wujud atau terakhir dari wujud serta wujud adalah sesuatu yang terpisah dari mahiyah, dimana maknanya ini adalah setiap sesuatu di luar pada saat ia satu obyek, ia adalah dua obyek, yaitu kemahiyahan dan kewujudan. Sekarang kita bertanya tentang dzat tersebut pada tataran sebelum ia wujud, kita asumsikan ia apakah pada tataran sebelum wujud adalah maujud atau ma’dum (noneksistensi). Jika pada tingkatan sebelum wujud adalah ma’dum maka ia bukanlah sesuatu. Jika pada tingkatan sebelum wujud adalah maujud maka terdapat sebuah wujud sebelum ia mempunyai wujud. Sekarang kita menukil perkataan terhadap wujud tersebut (yang akan berujung pada tasalsul). Inilah sebabnya maka di luar (dalam keadaan ia satu realitas) tidak dapat mempunyai dua kebendaan dan dua  kesisian obyek luaran. (Syarh-e Mabsûth Manzhumeh, Jld. 1, Hal. 69).

Dengan jelasnya asumsi pertama dan kedua maka tersisa hanya dua kemungkinan, satunya adalah mahiyah yang prinsipalitas serta wujud yang iktibari –dimana pandangan ini dinisbahkan kepada filosof Iluminasi- dan lainnya adalah wujud yang prinsipalitas serta mahiyah yang iktibari, dimana ini adalah pandangan pilihan filosof Peripatetik.

Bersambung....