Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

MEMPERINGATI WAFATNYA “KEMANUSIAAN”

1 Pendapat 05.0 / 5

28 Safar diyakini oleh sebagian umat Islam sebagai tanggal wafat Nabi Termulia Muhammad saw. Di Indonesia peringatan haul selalu menjadi tradisi dan simbol relijiusitas di kalangan masyarakat santri sejak dakwah Wali Songo. Namun yang diperingati adalah ulama atau kakek dan ayah atas inisatif keluarga. Karena itulah, acara haul Nabi Muhammad terasa aneh.

Lebih penting manakah antara memperingati kelahiran atau wafat Nabi? Apakah kita hanya perlu mensyukri kelahirannya, dan tidak mengenang detik-detik terakhir dalam hidupnya? Tidakkah wafat manusia paling sempurna ini perlu dikenang sambil merenungi pesan-pesannya yang pasti sangat monumental? Adakah persitiwa-peristiwa penting menjelang dan sesudah wafatnya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini pasti muncul di benak setiap Muslim yang kritis dan ‘melek sejarah’.

Sejarah mencatat, dalam perjalanan pulang dari haji terakhir, dikenal dengan Haji Wada’ (Haji perpisahan), Nabi memberikan sinyal-sinyal perpisahan melalui khotbah dan serangkai pernyataan yang amat memilukan. Para sejarawan tidak hanya menyebut nama tempat upacara perpisahan yang terletak antara Mekah dan Madinah itu, namun merincikan jumlah peserta yang hadir saat itu.

Sesampai di Madinah pun, Nabi yang mulai terlihat kurang sehat, masih harus memikirkan umat dan negara yang dibangunnya. Sepak terjang dan provokasi negeri jiran di sebelah selatan yang dipimpin oleh Heraclitus membuatnya harus mengabaikan rasa sakit dan penat. Lelaki yang bernama Ahamd di langit ini memberikan sebuah instruksi kepada setiap semua lelaki yang sehat jasmani agar bersiaga perang di bawah komando Usamah bin Zaid. Keseriusan ini menunjukkan betapa Nabi, yang lemah karena sakit, masih menomerduakan dirinya demi kepentingan umat dan demi tanggungjawabnya.Ia harus keluar dari rumah sembari mengenakan selimut dan berseru agar setiap orang keluar dari Madinah karena kerajaan Romawi telah mengerahkan brigade pasukan kavelri untuk melakukan pembersihan terhadap warga yang memeluk Islam dalam wilayah kekuasaannya, termasuk gubernur Syam, Farwah bin Amr al-Jazami.

Sejarah menyaksikan, teriakan parau Nabi teragung itu bak gayung tak bersambut. Pasukan yang sudah bergerak meninggalkan Madinah itu, tiba-tiba bubar. Isu tentang ‘kematian Nabi’ telah menjadi alasan aksi ‘mogok’ itu. Sampai-sampai, sang Komandan, Usamah bin Zaid, yang masih muda, juga ikut pulang ke Madinah.

Sejarah juga mencatat bahwa saat terbujur di atas ranjang, beliau meminta secarik kertas dan setangkai pena sebagai konfirmasi akhir atas pesan-pesan yang berulang telah disampaikannya terutama di Hajatul-wada’. Namun, apa hendak dikata, bising dan desak-desakan pengunjung yang membesuk di rumah kecil itu membuat suaranya seakan tertelan dan lenyap.

Pesannya, “Umatku, umatku umatku…! Janganlah berbalik arah! Jangan letakkan pedang di atas leher sesamamu! ‘ semestinya didengungkan terus menerus agar umat Islam tidak menari dengan genderang musuh dan tidak merusak citra Islam dengan ekstrimitas, intoleransi dan fanatisme. Karena itulah, meperingati wafat Nabi, meski belum mentardisi, bukanlah sesuatu yang tidak perlu diselenggarakan.

Mungkin sudah saatnya umat Islam memasukkan agenda kesedihan dan duka dalam kalender hari besar, selain agenda riang dan kegembiraan seperti Maulid dan lainnya. Bukankah kita dianjurkan oleh Allah untuk lebih banyak menangis dan sedikit tertawa? Yang jelas Muhammad saw sedang menangis sedih melihat sesama umat Islam saling mengkafirkan dan menyesatkan.