Kejujuran (5/Selesai)

Penjelasan beserta nash atau teks-teks suci yang telah disebutkan di bagian-bagian sebelumnya bahwa cinta merupakan esensi dan ruh iman tentu tidak berarti kita cukup dengan hanya merasa mencintai Ahlul Bait as lalu mengabaikan berbagai kewajiban dan mengentengkan larangan sebagaimana yang difahami oleh banyak kalangan awam. Sebab, seandainya teks-teks suci itu berarti demikian maka para insan maksum menjadi tak ubahnya dengan menjerumuskan umat kepada maksiat, padahal mereka jelas-jelas merupakan pintu hidayah dan penyeru manusia agar menjauhi maksiat.

Dengan demikian, arti yang sebenarnya ialah bahwa jika keimanan seseorang mencapai level cinta dan merasuk dalam batin dan perasaan serta menjadi sesuatu yang mendarah daging maka dengan sendirinya dia akan menjauhi maksiat. Kecintaan kepada Ahlul Bait as meniscayakan ketaatan, bukan malah menjurus pada maksiat. Menurut beberapa riwayat, hal ihwal perbuatan kita akan sampai kepada Ahlul Bait as sehingga perbuatan buruk dan maksiat akan mengusik dan mengundang keprihatinan mereka. Karena itu, jika kita memang mencintai mereka maka tentu kita tidak akan bersedia mengusik mereka.

Diriwayatkan dari Samaah dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata; “Mengapa kalian mengusik Rasulullah SAW?” Seseorang lantas bertanya, “Bagaimana kita dapat mengusik beliau?” Imam menjawab;

أما تعلمون أنَّ أعمالكم تعرض عليه، فإذا رأى فيها معصية ساءه ذلك. فلا تسؤوا رسول الله، وسرُّو.

“Tidakkah kalian mengetahui bahwa amal perbuatan kalian ditunjukkan kepada beliau? Karena itu ketika beliau melihat ada maksiat di dalamnya maka hal ini mengusiknya, maka janganlah kalian mengusik Rasulullah, dan gembirakanlah beliau.”[1]

Allah SWT berfirman;

اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ…

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…”[2]

Diriwayatkan dari Yak’qub bin Syuaib bahwa dia bertanya kepada Imam Jakfar Shadiq as tentang ayat ini, dan imampun menjawab bahwa orang-orang mukmin yang dimaksud ada para imam maksum.[3]

Diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaffar bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

إن أعمال العباد تعرض على رسول الله (ص) كلَّ صباح : أبرارها وفجّارها، فاحذروا، فليستحي أحدكم أن يعرض على نبيّه العمل القبيح.

“Sesungguhnya amalan hamba-hamba ditunjukkan kepada Rasulullah SAW setiap pagi, baik mereka yang mulia maupun mereka yang keji, maka berhati-hatilah, kalian hendaknya malu karena perbuatan buruk ditunjukkan kepada Nabi.”[4]

Imam Mohammad Al-Baqir as berkata kepada Jabir;

يا جابر أيكتفي من ينتحل التشيُّع أن يقول بحبنا أهل البيت، فوالله ما شيعتنا إلاّ من اتّقى الله وأطاعه.

“Wahai Jabir, cukupkah orang yang terhubung dengan kami sebagai Syiah mengatakan mencintai kami? Demi Allah, bukanlah Syiah kami kecuali orang yang bertakwa dan mematuhiNya.”[5]

Keharusan mengubah iman menjadi cinta tak lain adalah demi meneguhkan kepatuhan kepada Allah SWT dan kerterjauhan dari maksiat, bukan justru untuk meremehkan perbuatan maksiat lantaran berharap mendapat syafaat. Hakikat ini terlihat dalam berbagai ayat dan riwayat tentang kecintaan yang komprehensif dan meliputi Allah SWT, Rasulullah SAW, Ahlul Bait, kaum mukmin, dan amal salih, antara lain sebagai berikut;

Mengenai cinta kepada Allah SWT, Dia berfirman;

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبّاً لِلّهِ.

“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”[6]

Mengenai cinta kepada Allah SWT, RasulNya, dan jihad yang merupakan salah satu amal salih, Dia berfirman;

… أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَاد فِي سَبِيلِهِ …

“… adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya…”[7]

Mengenai cinta kepada Ahlul Bait as, seperti yang telah disebutkan, Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;

والله لو أحبّنا حجر حشره الله معنا

“Demi Allah, seandainya sebuah batu mencintai kami niscaya Allah akan mengumpulkannya bersama kami.”[8]

Mengenai cinta kepada orang-orang yang beriman, Allah SWT berfirman;

… يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ …

“…mereka (Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin).”[9]

Mengenai cinta kepada ketaatan dan kebencian kepada maksiat, Allah SWT berfirman:

“حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الاْيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ…

“… Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan….”[10]

Terakhir, patut diingat bahwa “iman yang tidak jujur”, yakni iman yang tidak sesuai dengan amal perbuatan beresiko tercabutnya keimanannya itu sebelum mati. Diriwayatkan dari Al-Mufadhdhal Al-Ja’fi bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

انّ الحسرة والندامة والويل كلَّه لمن لم ينتفع بما أبصر، ومن لم يدر الأمر الذي هو عليه مقيم أنفع هو له أم ضر.

“Kerugian, penyesalan, dan celaka yang terbesar ialah bagi orang yang tidak mendapatkan manfaat dari apa yang dimengertinya, dan tidak mengetahui perkara yang dialaminya apakah bermanfaat atau merugikan baginya.”

Al-Ja’fi bertanya bagaimanakah cara membedakan antara orang yang selamat dan orang yang celaka itu.

Imam menjawab;

من كان فعله لقوله موافقاً، فأثبت له الشهادة بالنجاة، ومن لم يكن فعله لقوله موافقاً فإنّما ذلك مستودع.

“Yaitu orang yang perbuatannya sesuai dengan perkataannya, sehingga membuktikan  bahwa syahadat menjadi keselamatan baginya, sedangkan orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan perkataannya maka syahadat itu hanyalah titipan belaka.”[11]

(Selesai)

CATATAN :

[1] Ushul Kafi, jilid 1, hal. 219.

[2] QS. Al-Taubah [9]: 105.

[3] Ushul Kafi, jilid 1, hal. 219.

[4] Bihar Al-Anwar, jilid 23, hal. 340.

[5] Ushul Kafi, jilid 2, hal. 74.

[6] QS. Al-Baqarah [2]: 165.

[7] QS. Al-Taubah [9]: 24.

[8] Bihar Al-Anwar, jilid 27, hal. 95.

[9] QS. Al-Hasyr [59]: 9.

[10] QS. Al-Hujurat [49]: 7.

[11] Al-Kafi, jilid 2, hal. 419.