Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Perspektif Umat Islam, Antara Nabi yang Bengis atau Penuh Kasih

1 Pendapat 05.0 / 5

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”[1]

Ayat “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka…” menurut Allamah Thabathaba’i dalam karya monumentalnya tafsir Al-Mizan kata al-fazh bermakna al-jâfi al qâsi (yang sangat kaku dan super kasar). Dan ghaltu al-qalb (kekakuan/kekasaran hati) merupakan bentuk kinayah (metaforis) dari kehilangan kelembutan dan rasa kasih sayangnya.

Lebih jauh, Allamah Sayed Muhammad Husain Thabathaba’i menguraikan bahwa dalam ayat tersebut terdapat iltifât (metode pengalihan) dari satu pembicaraan ke pembicaraan lain. Sejatinya yang disasar dalam dialog ini adalah mereka (orang-orang musyrik dan kafir) tapi dengan menggunakan gaya iltifât, ayat ini langsung menyasar Nabi dalam khitob-nya (dialog). Padahal aslinya, maknanya seperti ini: sungguh telah bersikap lemah lembut kepada kalian utusan Kami. Dan oleh karena itu, Kami perintahkan beliau untuk memaafkan kalian, memintakan ampunan bagi kalian dan menyertakan kalian dalam pelbagai urusan serta bertawakal kepada Allah Swt saat ia telah bertekad/berzamam mengambil suatu keputusan. Demikian penjelasan Sayed Thabathaba’i.[2]

Apa yang terlintas dalam otak dan pikiran kita saat disebut Nabi Muhammad Saw? Yang pertama kali terlintas adalah kasih sayang dan kelembutan beliau. Betapa tidak, episode kehidupan Rasulullah Saw kalau kita teliti secara baik dan benar maka kita akan menemukan dominasi kasih sayang beliau. Bahkan saking hebatnya beliau, musuh-musuh nomer wahid Islam pun merasa aman dari perlakuan buruk beliau karena mereka tahu bahwa Muhammad tidak mungkin memperlakukan mereka secara tidak adil.

Ironisnya, akhir-akhir ini serangan yang sistematis dilakukan musuh-musuh Islam untuk merusak citra kasih sayang dan kelembutan serta toleransi Nabi Saw. Nabi Saw dihinakan dan direndahkan sedemikian rupa dalam karitakur dan tulisan yang tidak ilmiah dan dikesankan bahwa beliau adalah nabi pembawa ajaran kekerasan, penganjur peperangan dan pencipta kekasaran serta ketidakharmonisan.

Nabi Muhammad Saw dikenal dengan sebutan nabiyyur rahmah (Nabi penebar kasih sayang). Dan kasih sayang dan kelembutan beliau bukan hanya dirasakan oleh orang-orang Islam bahkan kalangan non-Muslim pun mendapatkan kasih sayang dan rahmat dari beliau. Oleh karena itu, salah satu karakter dan sifat yang menonjol dari Nabi Saw adalah kasih sayang dan rahmat beliau.

Allah dalam firman-Nya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[3]

Rasul Saw membawa rahmat secara umum karena ajaran yang beliau bawa menyelamatkan umat manusia. Beliau adalah rahmat terindah dan terbaik yang dihadiahkan oleh Allah Swt kepada manusia. Anda pelajari bagaimana sikap sopan dan penghargaan beliau kepada kaum Nasrani Najran. Bagaimana kebijakan dan kebijaksanaan beliau saat berdialog dan bermubahalah dengan kaum Nasrani Najran. Anda baca bagaimana keluhuran budi beliau saat bangun dan berdiri untuk menghormati jenazah seorang Yahudi. Semua ini membuktikan bahwa kalangan non-Muslim pun merasakan keindahan akhlak dan keluasan kasih sayang beliau.

Demikian luasnya rahmat dan kasih sayang Nabi Saw sehingga ketika Wahsyi yang notabene adalah pembunuh pamannya Hamzah, Sayyidu Asy-Syuhada (penghulu syuhada) beriman dan menyesali perbuatan buruknya serta bertaubat maka Rasul Saw menerima taubatnya dan berkata kepadanya: “Sebaiknya kamu menyembunyikan dirimu dariku (jangan terlalu sering ketemu) supaya aku tidak melihatmu (barangkali beliau ingin menjaga perasaan Wahsyi supaya tidak tersakiti).

Tentu umat Islam dari kalangan sahabat-sahabat Nabi Saw pun merasakan kasih sayang dan rahmat khusus beliau. Tidak pernah ada seorang sahabat pun yang mengeluhkan kekasaran dan kekakuan sikap Nabi Saw.

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dankeselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”[4]

Sayangnya, hari ini sebagian orang yang mengenal Islam sebatas kulit berupaya mengenalkan sosok nabiyyur rahmah menjadi nabiyyu niqmah (Nabi pembawa petaka). Islam diajarkan dengan kekerasan dan dengan tindakan radikalis. Setiap yang berbeda paham dan keyakinan pasti dikafirkan dan disesatkan, meskipun yang dikafirkan itu masih shalat menghadap kiblat dan bersyahadat.

Mari kita belajar kemesraan hubungan antara Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah Saw tidak gampang menyalahkan sahabat-sahabatnya. Beliau tidak ingin terjadi perpecahan di tengah umat. Beliau sangat menekankan persaudaraan dan saling mencintai sesama Muslim. Bahkan kecintaan kepada saudara seiman dijadikan parameter keimanan dan ketakwaan seseorang. Dengan kata lain, adalah kebohongan besar kalau seseorang menyatakan dirinya ahli iman namun hatinya menaruh kebencian kepada sesama Muslim. Sebab, ciri orang yang beriman yang kelak akan masuk surga adalah orang yang hatinya sunyi dari ghill (penyakit hati dendam dan benci) kepada sesama orang-orang yang beriman. Karena itu, orang yang beriman itu pasti mendoakan saudaranya yang sekarang juga beriman atau telah mendahuluinya dalam keimanan, bukan malah mendengki dan membenci, apalagi mengkafirkan sesama orang yang beriman:

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”[5]

CATATAN :

[1] (QS. Ali ‘Imran: 159)

[2] Allamah Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 4, hal. 57, terbitan Jami’ah Mudarrisin,Qom, 1417 H.

[3] (QS.al Anbiya: 107)

[4] (QS.at-Taubah: 128)

[5] (QS. Al-Hasyr: 10).