Akhlak Mulia (2)

Riwayat kedua, riwayat dari Ali bin Husain as bahwa Rasulullah SAW bersabda;

ما يوضع في ميزان امرى يوم القيامة أفضل من حسن الخُلُق.

“Urusanku yang diletakkan dalam timbangan pada hari kiamat tidak ada yang lebih baik daripada akhlak mulia.”[1]

Riwayat ketiga, Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

ا يقدم المؤمن على الله ـ عزَّوجلَّ ـ بعمل بعد الفرائض أحبّ إلى الله ـ تعالى ـ من أن يسع الناس بخُلُقه.

“Tak ada amalan yang dibawa oleh seorang mukmin ke hadapan Allah Azza wa Jalla lebih Dia cintai daripada akhlaknya yang membuat orang lain merasa lapang.”[2]

Riwayat keempat, dari Dzarih dengan sanad yang sahih dari Imam Jakfar Al-Shadis as bahwa Rasulullah SAW bersabda;

إنَّ صاحب الخُلُق الحسن له مثل أجر الصائم القائم.

“Orang yang berakhlak mulia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa dan mendirikan shalat.”[3]

Riwayat kelima, dari Abdullah bin Sannan bahwa Imam Al-Shadiq as berkata;

البِرّ وحسن الخُلُق يعمران الديار، ويزيدان في الأعمار.

“Kebajikan dan akhlak mulia akan memakmurkan negeri dan menambah umur.”[4]

Riwayat keenam, dari Imam Al-Shadiq as bahwa dia berkata;

إنَّ الخُلُق منيحة يمنحها الله ـ عزَّ وجلَّ ـ خَلْقه : فمنه سجيّة، ومنه نيّة.

“Sesungguhnya akhlak adalah anugerah yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada makhlukNya, darinyalah budi pekerti, dan darinya pula niat.”

Perawi bertanya, “Lantas mana yang lebih mulia di antara keduanya?”

Imam as menjawab;

صاحب السجيّة، هو مجبول لا يستطيع غيره. وصاحب النيّة يصبر على الطاعة تصبّراً، فهو أفضلهما.

“ Orang yang berbudi pekerti telah diciptakan demikian sehingga orang lain tidak bisa sepertinya, sedangkan orang yang berniat adalah orang yang sangat bersabar dalam kepatuhan, maka orang yang berniat inilah yang lebih mulia.”[5]

Riwayat ketujuh, dari Abu Ubaidah Al-Hadzdza’ bahwa Imam Al-Shadiq as berkata;

أُتي النبيّ (ص) باُسارى فأمر بقتلهم خلا رجل من بينهم. فقال الرجل : بأبي أنت وأُمّي يا محمَّد كيف أطلقت عنّي من بينهم ؟ فقال : أخبرني جبرئيل عن الله ـ عزَّوجلَّ ـ أنَّ فيك خمس خصال يحبّه الله عزَّوجلَّ ورسوله : الغيرة الشديدة على حرمك، والسخاء، وحسن الخُلُق، وصدق اللسان، والشجاعة. فلمّا سمعها الرجل أسلم، وحسن إسلامه، وقاتل مع رسول الله (ص) قتالاً شديداً حتّى استشهد.

“(Suatu hari) ada beberapa tawanan didatangkan kepada Nabi SAW lalu beliau memerintahkan hukuman mati kepada mereka kecuali satu pria di antara mereka. Pria itu lantas bertanya, ‘Biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Muhammad, mengapa engkau bebaskan aku di antara mereka?’ Beliau menjawab, ‘Jibril memberitaku dari Allah Azza wa Jall bahwa kamu memiliki lima perangai yang disukai Allah Azza wa Jalla dan RasulNya; ghirah (kecemburuan yang positif) yang sangat atas kehormatanmu; dermawan; berperangi baik; jujur dalam berkata; dan berani.’ Setelah mendengar sabda ini dia masuk Islam, menjadi Muslim yang baik, dan ikut gigih berjuang bersama beliau hingga dia gugur syahid.”[6]

Selanjutnya layak disinggung bahwa kemuliaan akhlak dan budi pekerti Rasulullah SAW terlampau agung untuk dilukiskan dengan kata. Betapa tidak, Allah SWT berfirman;

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُق عَظِيم.

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[7]

Ada dua hal yang menarik untuk disebutkan di sini;

Pertama, ungkapan Syeikh Thabarsi ra sebagai berikut;

“Di antara kehebatan Rasulullah SAW ialah bahwa beliau merupakan orang yang paling beralasan untuk berbusung dada, tapi ternyata justru orang yang paling merendah (tawadhu’). Sebab beliau adalah orang yang nasabnya paling menengah, paling sejahtera isterinya, paling dermawan, paling pemberani, paling bersih, dan paling fasih. Semua ini merupakan bagian dari alasan untuk berbangga diri. Tawadhu’nya antara lain menambal pakaian, menjahit sendal, menunggang keledai, memberi minum unta, memenuhi undangan hamba sahaya, dan duduk dan makan di atas tanah. Beliau mengajak kepada Allah tanpa menghardik, berwajah masam, dan marah.”[8]

(Bersambung)

CATATAN :

[1] Al-Kafi, jilid 2, hal. 99.

[2] Al-Kafi, jilid 2,, hal. 100

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Bihar Al-Anwar, jilid 1, 384 – 385.

[7] QS. Al-Qalam [68]: 4.

[8] Tafsir Al-Thabarsi, jilid 1, hal. 428 – 429.