Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Siapa Idola Anda Hari ini? (Bag 2)

1 Pendapat 05.0 / 5

Kita semua sadar. Kita semua tau bahwa tiada seorang pun yang bisa menjangkau keagungan seseorang yang dipuji oleh Yang Maha Agung. Begitu sempurna perangai dan kepribadiannya hingga tak satu makhluk pun yang mampu menyamai kedudukannya. Dialah Muhammad Al-Mustofa, yang begitu penyayang bagi keluarga. Begitu pengasih bagi sahabatnya. Dan begitu adil dihadapan penentangnya.

Dengan segala keterbatasan yang ada, kali ini kita akan mengambil sedikit kisah hidup dari seorang yang disebut Allah sebagai idola terbaik. Bagaimana beliau hidup bersama keluarga? Bagaimana beliau bergaul bersama para sahabatnya? Bagaimana beliau menghadapi musuh-musuhnya?

Siti Aisyah pernah ditanya, bagaimana akhlak suamimu Muhammad saw?

Dia tak berkata apa-apa kecuali kalimat singkat,

“Akhlaknya adalah Al-Qur’an”
Bagi kita yang tidak sempat melihat Rasulullah maka lihatlah Al-Qur’an jika ingin mengetahui bagaimana sosok beliau. Bagi kita yang tidak pernah hidup bersama Rasulullah saw, tiada yang bisa menjelaskan kehidupan beliau melebihi Al-Qur’an. Karena seluruh keindahan yang Allah perintahkan dalam Al-Qur’an, itulah akhlak Rasulullah saw.

Ketika Al-Qur’an memerintahkan untuk berkata baik,

وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْناً -٨٣-

“Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia.”
(Al-Baqarah 83)

Maka Rasulullah lah yang terdepan dalam berkata baik.

Ketika Allah berbicara mengenai tawadu’, siapakah yang lebih tawadu’ dari Baginda Rasulullah saw?

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ -٢١٥-

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.”

(Asy-Syuara 215)

Ketika Allah memberi perintah untuk bersedekah, adakah yang lebih dermawan dari nabi yang hidupnya dipenuhi dengan rasa lapar? Semua keindahan yang dibicarakan oleh Al-Qur’an, itulah pribadi Rasulullah saw.

Di tengah keluarganya, beliau adalah seorang yang paling ramah dan perhatian. Hingga beliau bersabda,

“Sebaik-baik kalian adalah yang berbuat baik di tengah keluarganya”
Dan Rasulullah lah yang paling baik bagi keluarganya. Bukankah kita sering melihat seorang yang sangat baik bagi orang lain, membantu orang yang kesusahan. Tapi dia menjadi yang paling dzolim bagi keluarganya. Menjadikan rumah tangga sebagai neraka bagi anak istrinya. Sementara Rasulullah selalu mengajarkan untuk mendahulukan keluarga dalam kebaikan.

Ketika seorang sahabat bernama Sa’ad bin Muadz wafat, Rasulullah memikul jenazahnya. Beliau berlari kesana kemari tanpa memakai surban dan sandalnya. Hari itu Rasulullah menjadi orang yang paling sibuk diantara yang lain. Para sahabat bertanya-tanya, gerangan apa yang membuat Rasulullah melakukan hal yang tidak biasa beliau lakukan.

Rasulullah menjawab mereka dengan mengatakan bahwa jenazah ini dihadiri oleh 70 ribu malaikat termasuk Jibril. Dia mempunyai amalan yaitu selalu membaca Surat Al Ikhlas sepanjang hidupnya.

Beliau sibuk mengurusi jenazah hingga di liang kubur. Melihat itu, ibu Sa’ad berteriak “Sungguh beruntung kau wahai Sa’ad”.

Bagaimana tidak beruntung, Rasulullah sendiri yang mengurusi jenazahnya. 70 ribu malaikat ikut bertakziah. Namun Rasulullah cepat menyanggah perkataan sang ibu, “Wahai ibu Sa’ad, janganlah kau hukumi terlebih dahulu. Sungguh ia sedang terhimpit bumi.”

Seorang yang di makamkan oleh Rasulullah, dihadiri 70 ribu malaikat dalam pemakannya. Apa lagi yang membuat dia masih terhimpit bumi?

Saat para sahabat bertanya, “Mengapa demikian wahai Rasulullah?”

Rasul pun menjawab bahwa Sa’ad sering berlaku buruk kepada keluarganya. Walaupun dihadiri oleh Rasul dan para malaikat, perilaku buruk kepada keluarga masih akan membawa siksaan. Hingga Rasulullah pernah berpesan,

“Orang yang paling mulia adalah yang paling memuliakan keluarganya. Dan aku lah yang paling memuliakan keluargaku”
Saat para istri beliau ditanya, apa kerjaan Rasulullah di rumah?

Ternyata kegiatan Rasulullah adalah membantu istri-istrinya seperti layaknya para suami. Tapi ketika adzan terdengar, beliau seperti tidak mengenal kita, kata salah satu istri beliau.

Di tengah para sahabatnya, Rasulullah menjadi teladan terbaik. Semua sahabat merasa menjadi orang yang paling dicintai oleh Rasulullah karena semuanya merasa paling diperhatikan oleh beliau. Jika ada yang tidak hadir, beliau menanyakan keadaannya. Jika ada yang sakit, beliau datang untuk menjenguknya. Semua merasa menjadi orang terdekat Rasulullah saw.

Suatu hari, ketika rumah beliau sudah penuh dengan tamu. Beliau lempar aba’ahnya kepada tamu yang tidak mendapatkan tempat duduk. Jadikanlah bajuku itu sebagai tempat dudukmu, kata beliau. Baju yang dikenakan oleh manusia termulia beliau berikan sebagai tempat duduk tamunya.

Tidak pernah terlihat muka masam di wajahnya, tak pernah sekalipun berwajah sinis. Penuh senyuman dan kasih sayang. Musuh saja melihat keindahan pada Rasulullah, apalagi para sahabat yang hidup bersamanya.

Bukankah kita pernah mendengar ada seorang yang belum masuk islam, ingin bertemu dengan Rasulullah saw. Melihat tamu ini datang, Rasulullah memberikan permadani yang di dudukinya untuk sang tamu dan beliau duduk diatas tanah. Padahal tamu ini bukanlah seorang muslim. Melihat akhlak mulia ini, sang tamu tak kuasa menangis dan langsung mengucap dua syahadat.

Bagaimana tidak? Dia terbiasa hidup ditengah raja yang penuh keangkuhan duduk diatas singgasananya. Sementara di sini ada makhluk termulia yang memberikan permadani untuk tamunya sementara dia duduk diatas tanah.

Belum lagi kita mendengar apa yang terjadi ketika ada seorang yang gemetar menghadap kepada Rasulullah saw. Dia tak bisa berkata-kata dihadapan kewibaan beliau. Rasul pun menenangkannya seraya berkata,

“Aku hanyalah anak dari seorang wanita yang memakan daging”
Sungguh muliah akhlak beliau, karenanya Rasulullah pernah bersabda,

“Sejelek-jelek umatku adalah seorang yang dihormati karena ditakuti”
Harusnya, kita menggiring seseorang untuk takut kepada Allah. Bukan takut pada kita sesama manusia.

 

      Apa Akhlak Itu?

Kita telah bercerita panjang tentang akhlak mulia. Sebenarnya apa akhlak itu?

Akhlak bukan hanya sebatas mengucap permisi jika ingin melewati seseorang. Bukan hanya mencium tangan orang yang lebih tua. Akhlak juga bukan sebatas tidak meninggikan suara dihadapan orang tua. Akhlak memiliki arti yang lebih luas dari itu semua.

Jika kita mencermati, sebenarnya seluruh ajaran agama ini ingin mengantarkan kita menjadi seorang yang berakhlak. Bukankah Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia?

Akhlak adalah kejujuran kita dihadapan Allah. Keberanian untuk menyampaikan yang benar. Sabar menerima ketentuan-Nya. Dermawan bagi siapa yang membutuhkan. Seluruh pedoman Al-Qur’an ingin menyampaikan kita pada derajat akhlak yang luhur.

Coba perhatikan syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw. Apa sebenarnya hasil yang didapatkan dari perintah solat?

Sekilas kita hanya melihat solat sebagai hubungan antara manusia dengan tuhannya. Namun Allah berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ-٤٥-

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.”
(Al-Ankabut 45)

Ternyata sebenarnya solat ingin membawa kita untuk menjadi sosok yang berakhlak. Tidak menyakiti sesama. Terlepas dari perbuatan-perbuatan keji dan hina.

Bagaimana dengan puasa?

Berapa banyak seorang yang berpuasa namun hanya mendapat haus dan dahaga, sabda Rasulullah saw. Puasa bukanlah hanya sekedar menahan lapar dan haus. Puasa ingin menggiring kita kepada akhlak agar kita menahan seluruh tubuh dari dosa. Agar kita ikut merasakan kepedihan yang diderita saudara kita yang lain. Inilah akhlak sesungguhnya.

Bagaimana dengan Zakat?

Zakat juga ingin mengajari kita untuk berakhlak. Jika zakat sudah dikeluarkan namun jiwa masih kotor berarti kita belum sampai pada tujuan zakat yang sebenarnya. Zakat ingin mengajari kita bagaimana kesusahan saudara kita yang membutuhkan bantuan. Bagaimana hidup bukan hanya mencari kebahagiaan namun ikut menyebar kebahagiaan untuk sesama.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ-١٠٣-

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka.”
(At-Taubah 103)

Bagaimana dengan Haji?

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ -١٩٧-

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok, berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.”
(Al-Baqarah 197)

Bukankah ayat ini dengan jelas ingin mengajari kita bahwa sebenarnya Haji adalah perintah yang ingin membawa manusia menuju kepada manusia yang berakhlak.

Akhlak itu mudah dipelajari namun sulit untuk dipraktekkan. Betapa sulitnya membunuh ego kita. Dapatkah kita bayangkan Rasulullah saw menjenguk orang-orang yang melemparinya dengan kotoran ketika mereka sakit? Betapa keji seorang yang mengatakan bahwa Islam tersebar dengan pedang dan darah. Ketahuilah bahwa islam tersebar dengan kebaikan dan cinta.

Mari kita simak bagaimana sabda suci Rasulullah saw ketika berbicara tentang akhlak mulia,

“Sebaik-baik orang mukmin adalah yang paling baik akhlaknya”
“Sesungguhnya yang paling dekat denganku kelak dan yang paling layak mendapatkan syafaatku adalh mereka yang lisannya paling jujur, paling menyampaikan amanah dan yang paling baik akhlaknya.”
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat di mizan melebihi akhlak yang baik”
(Rasulullah saw)