Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Beginilah Seharusnya Seorang Muslim Beramal

1 Pendapat 05.0 / 5

Sebagai orang beriman, kita meyakini kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini; kehidupan yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan duniawi ini, sebab saat kita telah berada di sana, kita tak akan mengalami kematian. Kita akan menjalani kehidupan abadi di dunia itu.

Tentu kita tak ingin memiliki kehidupan sengsara di akhirat. Apalagi jika kita mesti hidup selamanya di sana. Kita harus membawa serta bekal yang menjamin kebahagiaan di akhirat. Tanpanya, mustahil keinginan kita untuk hidup nyaman di sana bisa terwujud.

Lalu, apa yang harus kita bawa?

Tak mungkin kita membawa harta benda atau sanak keluarga kita ke alam akhirat. Berdasarkan riwayat, jatah terakhir kita dari dunia ini adalah secarik kain kafan. Sementara sanak keluarga kita maksimal hanya mengiringi kita hingga tepi liang kubur.

Rasulullah saw bersabda,”Orang mati diikuti tiga pengiring: keluarga, harta, dan amalnya. Dua dari mereka akan pulang kembali, dan hanya satu yang tinggal. Yang tetap tinggal adalah amalnya.” (Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 4613)

Secara eksplisit, Rasulullah saw telah menjelaskan hanya amal manusia yang akan menyertainya hingga alam akhirat. Amal manusia-lah yang menentukan nasibnya di alam itu: sengsara atau bahagia.

Sudah tentu yang membuat manusia bahagia di akhirat adalah amal saleh. Pertanyaannya adalah: bagaimanakah kita melakukan amal saleh ini?

Maksumin as telah mengajarkan bagaimana seyogianya kita berbuat dan beramal saleh. Kiat dari Maksumin as ini, jika diterapkan, akan menambah kualitas amal saleh kita. Berikut adalah sejumlah riwayat dari manusia-manusia suci ini terkait kiat beramal saleh.

Kesinambungan dan Kontinuitas

Mana yang lebih disukai Allah: memberikan sumbangan besar, tapi hanya sekali, atau menyumbang dalam jumlah sedikit, tapi terus menerus? Jawabannya bisa diketahui dari ucapan Imam Baqir as di bawah ini.

قال الامام الباقر (ع) “ما من شیء أحب إلی الله من عمل یداوم علیه و إن قل”

Imam Baqir as berkata,”Tiada yang lebih disukai Allah daripada amal yang dilakukan secara berkesinambungan, walau (amal itu) sedikit.” (Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 4623).

Mengapa Allah lebih menyukai amal baik yang dilakukan berkesinambungan, walau hanya sedikit? Salah satu jawabannya, amal baik sedikit yang dilakukan secara kontinu bisa mengantarkan pelakunya meraih sifat malakah. Dorongan untuk berbuat baik tak lagi sekedar ‘mampir’ pada dirinya, tapi sudah ‘bermukim’ untuk selamanya.

Ini lebih baik dari amal saleh yang dilakukan dalam jumlah banyak sekaligus, tapi efeknya membuat si pelaku jemu. Misalnya, seseorang selain melakukan salat mustahab, dia juga berpuasa mustahab dan membaca doa-doa yang dianjurkan. Sebab itu, Imam Ali as berkata,”Amal baik yang sedikit, lebih bisa diharapkan daripada amal banyak yang membuatmu jemu.” (Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 4622)

Adakah batasan waktu tertentu agar suatu amalan bisa disebut kontinu? Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa tiada batasan untuk beramal baik, kecuali kematian. Artinya, jika kita ingin beramal baik, maka kita harus melakukannya terus menerus hingga ajal menjemput kita (Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 4621)

Meski demikian, ada riwayat yang secara spesifik menyebutkan batas kontinu suatu amal. Imam Shadiq as pernah berkata,”Jika seseorang menghendaki suatu amal, hendaknya ia melakukannya secara kontinu selama setahun. Setelah itu, jika dia ingin, dia bisa melakukan amal lain.” (Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 4624)

Totalitas dan Perfeksi

Islam adalah agama samawi paripurna, yang dibawa oleh rasul pamungkas. Maka tak heran jika ajaran-ajarannya begitu sempurna. Bahkan, tuntunan dalam Islam meliputi hal-hal yang terlihat remeh, seperti cara menyikat gigi yang benar (Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 3192).

Sebab itu, Islam meminta totalitas dan perfeksi dalam setiap perbuatan seorang muslim. Islam tidak ingin pemeluknya bertindak setengah-setengah atau ‘nanggung’. Segala hal harus dilakukan dengan sebaik dan sesempurna mungkin.

Ini pula yang dicontohkan Rasulullah saw. Imam Shadiq as meriwayatkan, ketika Ibrahim, putra Nabi saw, meninggal dunia dan dimakamkan, beliau melihat ada bagian yang cacat di kubur putranya. Beliau memperbaiki bagian tersebut, lalu bersabda,”Aku tahu, kelak bagian ini tetap akan rusak dimakan waktu. Namun, jika salah satu dari kalian melakukan sesuatu, seyogianya ia mengerjakan itu sebaik mungkin.” (Muntakhab Mizan al-Hikmah hadis no 4641)

Oleh karena itu, kita melihat bahwa dalam Islam, hampir setiap perbuatan disertai dengan adab-adab khusus. Misalnya, jika seseorang hendak melakukan salat, dianjurkan agar dia memakai pakaian putih dan terbersih, serta memakai wewangian.

Apakah ini berarti pakaian putih dan wewangian adalah syarat sah salat? Tentu saja tidak. Salat tetap sah walau kita tidak melakukan dua adab ini. Adab-adab semacam ini bertujuan untuk menambah kesempurnaan amal kita dan menambah bobot pahalanya.

Tentu masih ada tuntunan-tuntunan lain dari Maksumin as terkait cara beramal. Jika dua tuntunan ini saja bisa kita praktikkan, plus disertai keikhlasan, insya Allah akan memiliki efek luar biasa untuk diri kita.