Taklid (3)


- Cara-cara Mengetahui Mujtahid yang Memenuhi Syarat

- Cara-cara Memperoleh Fatwa Seorang Mujtahid

- Hukum-hukum ‘Udul (pindah taklid)

- Berbagai Masalah Taklid



7. Cara-cara Mengetahui Mujtahid yang Memenuhi Syarat

Mujtahid yang telah memenuhi syarat dapat diketahui dengan dua cara:

1. Dengan cara ithmi’nan (keyakinan hati) yang diperoleh baik melalui informasi yang tersebar di masyarakat umum, atau melalui pembuktian pribadi, maupun melalui cara-cara lainnya.
2. Dengan kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan . (Ajwibah al-Istifta’at, soal 25 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab taklid, masalah 3).



Perhatian:

* Apabila terdapat kesaksian syar’i (seperti kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah ) bahwa seorang mujtahid telah layak dan memenuhi syarat, maka kesaksian tersebut menjadi hujjah syar’i selama tidak ada kesaksian lainnya yang bertentangan dengannya. Dan kesaksian semacam itu dapat dipegang sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan . Pada kondisi seperti ini tidak diwajibkan mencari dan menetapkan adanya kesaksian yang bertentangan dengannya. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 22 dan 27).



8. Cara-cara Memperoleh Fatwa Seorang Mujtahid

1. Mendengarnya langsung dari mujtahid yang bersangkutan.

2. Mendengarnya dari dua atau seorang yang adil.

3. Mendengarnya dari seseorang yang dianggap jujur.

4. Merujuk kepada risalah amaliyahnya jika risalah amaliyah itu tidak terdapat kekeliruan. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 25).



Perhatian:

* Dalam hal menukil fatwa seorang mujtahid dan menjelaskan hukum-hukum syar’i, tidak disyaratkan harus memperoleh izin darinya. Tetapi dalam melakukan hal itu tidak boleh salah dan keliru. Apabila ternyata salah dalam melakukan hal itu, maka ia wajib meluruskannya segera dan mengabarkan kepada orang-orang yang telah mendengar darinya. Dan si pendengar tidak diperkenankan mengamalkan apa yang ia dengar dari seseorang sampai ia merasa yakin akan kejujuran si penyampai. (Ajwibah al-Isrtifta’at, soal 28).



9. Hukum-hukum Udul (Pindah Taklid).

1. Tempat-tempat dibolehkan udul kepada mujtahid yang tidak a’lam:

1. Pada masalah-masalah dimana mujtahid a’lam tidak memiliki fatwa, sementara mujtahid yang tidak a’lam tidak ber-ihtiyath dan tidak memiliki fatwa yang jelas.

2. Pada masalah-masalah dimana fatwa mujtahid yang tidak a’lam tidak bertentangan dengan fatwa mujtahid a’lam.

3. Pada masalah-masalah dimana fatwa a’lam menyalahi ihtiyath, sementara fatwa mujtahid yang tidak a’lam sesuai dengan ihtiyath. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 8, 19 dan 20).



2. Tempat-tempat Tidak dibolehkan Udul :

1.
1. Udul dari mujtahid hidup kepada mujtahid hidup lainnya -secara ihtiyath wajib- tidak dibolehkan, kecuali mujtahid tersebut tidak memenuhi sebagian syarat marja’iyah. Misalnya marja’ yang kedua a’lam dibandingkan marja’ pertama dan fatwanya bertentangan dengan fatwa marja’ yang pertama.
2. Tidak boleh kembali bertaklid kepada mujtahid yang sudah mati setelah udul darinya kepada mujtahid hidup dalam masalah-masalah dimana ia sudah berpindah taklid darinya. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 31, 38, 39, 45 dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 5).



Perhatian:

* Adanya dugaan bahwa fatwa seorang marja’ a’lam itu tidak sesuai dengan zaman atau kondisi pada masanya atau sulit diamalkan, tidak bisa dijadikan sebagai alasan kebolehan udul darinya kepada mujtahid lain. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 45).


10. Beberapa Masalah Taklid

1. Ketika seorang mukallaf di tengah-tengah melakukan shalat berbenturan dengan masalah yang ia belum ketahui hukumnya, ia dibolehkan mengamalkan salah satu dari dua pilihan yang dimungkinkannya sampai ia menyelesaikan shalatnya. Tetapi setelah shalat ia harus menanyakan masalah tersebut. Apabila ternyata apa yang telah ia lakukan itu menyebabkan batal shalatnya, maka ia wajib mengulangi lagi shalatnya. (Istifta’ dari Kantor Rahbar, bab Taklid, masalah 6).
2. Jahil (tidak mengetahui) -dari satu sisi- terbagi dua:
1. Jahil Qashir : Seseorang yang sama sekali tidak menyadari ketidak tahuannya atau ia tidak mengetahui cara menghilangkan ketidak tahuannya tersebut.
2. Jahil Muqashshir : Seseorang yang menyadari ketidak tahuannya dan iapun mengetahui cara menghilangkannya, tetapi ia enggan untuk mempelajari hukum-hukum. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 46 dan 47).



1. Ihtiyath wajib ialah kewajiban melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan karena ihtiyath (kehati-hatian). Di dalam ihtiyath wajib si mukallid dibolehkan merujuk kepada mujtahid yang tidak ber-ihtiyath dan mempunyai fatwa yang jelas, tetapi harus menjaga urutan a’lamiyahnya. (Ajwibah al-Istifta’at, soal 8 dan 48).
2. Beberapa istilah yang biasa terdapat di dalam kitab-kitab fikih seperti: "Fihi Isykal", "Musykil" dan "La Yakhlu Min Isykal" menunjukkan atas ihtiyath. Kecuali istilah "La Isykala Fihi", ia menunjukkan atas fatwa. (Ajwibah al-Istifata’at, soal 50).
3. Di dalam pengamalan hukum tidak terdapat perbedaan antara istilah "tidak boleh" dengan istilah "haram". (Ajwibah al-Istifta’at, soal 51).