Emosi dan Budaya

Menurut Francis Mulheren, sejak lama budaya selalu dipandang sebagai sesuatu yang langka dan rapuh. Akan tetapi,  tidak seorangpun beranggapan seperti itu terkait diskusi yang diilhami oleh budaya. Budaya masih dianggap sebagai gudang  nilai-nilai yang pada dasarnya bersifat manusiawi dan nasional.[1] Salah satu budaya yang unggul adalah pengelolaan emosi  yang masih bertahan di abad yang rentan emosi. Ekspresi emosi setiap kultur berbeda, namun pengelolaan emosi negatif akan membangun kristalisasi budaya  yang unggul.

Mereka yang jaya dalam kehidupan terutama di bidang ekonomi adalah mereka yang memiliki mindset yang sehat. Sebagian orang masih percaya bahwa kesuksesan itu terkait dengan faktor hereditas, kreatifitas, kerja keras, dan membangun jaringan serta faktor keberuntungan.  Ada hal yang dilupakan bahwa orang-orang sukses dalam arti luas. Sebab sukses dalam definisi modern tidak hanya dibatasi dengan kemampuan mengoleksi kekayaan, properti, aset, tapi juga didefinisikan dalam arti lebih luas dan lebih dalam yaitu mereka yang dapat   dan bisa mengaktualkan potensi-potensi mereka yang baik.

Dalam definisi yang baru ini orang sukses adalah  orang yang bisa berguna bagi yang lain, orang sukses adalah orang yang bisa mengembangkan bakat-bakat alaminya. Orang sukses adalah orang yang mampu menjadi dirinya sendiri, orang sukses adalah orang yang bisa tetap bertahan dan memiliki stamina untuk terus bangkit meskipun terus menerus didera kegagalan.

Yang terabaikan bahwa orang-orang sukses umumnya adalah mereka yang dapat mengontrol emosi; mereka yang dapat mengendalikan dan mengarahkan emosi negatif menjadi positif dan menjadi daya untuk terus aktif, bergerak, dan terus ulet menyelesaikan lapisan masalah demi masalah.

Orang-orang cina mengapa memiliki budaya yang  ulet, tahan banting, mental baja,  dan mampu melakukan hal yang paling berat dalam hidupnya secara terus menerus. Orang cina sebetulnya manusia biasa juga seperti yang lain. Namun kemauan yang kuat dan sangat kuat mendrive mereka untuk terus bertahan dalam situasi yang kritis sekalipun. Emosi mereka tidak bergeming dengan keadaan yang paling berat sekalipun.   Orang-orang seperti ini, mampu mendinginkan emosi mereka saat langsung menghadapi tekanan yang bertubi-tubi dengan segala tingkatannya.  Jika gagal menyelesaikan satu masalah, mereka akan terus mencari cara seraya mendamaikan hatinya untuk bisa mengendalikan masalahnya dan melewatinya dengan penuh kejayaan.

EMOSI

Emosi adalah manifestasi-manifestasi liar yang sulit diidentifikasikan yang datang dari jiwa atau fakultas-fakultas jiwa baik itu  sebagai reaksi (infi’al) dari luar atau karena  aksi (fi’l) jiwa itu sendiri. Emosi itu berhamburan mendatangi manusia dan bisa mengalahkan sisi rasionalitasnya. Ia berkembang dan mengembangkan dirinya, bermefamorfosis, bercampur, membelah diri, berkolaborasi, bersinergi kadang-kadang memisahkan sendiri mengaduk-aduk perasana, menciptakan kekhawatiran-kekhawatiran , membangun kesadaran heroik, tapi kadang-kadang juga menekan, membayangkan frustasi, mood buruk, depresi,  apatis tetapi kadang-kadang juga menghiba melahirkan rasa cinta, kenangan, kesyahduan, kehangatan dan sebagainya.

Yang menjadi lawan terberat bagi manusia adalah serangan emosi-emosi negatif yang tiba-tiba menderanya. Itu adalah trik-trik untuk melemahkan dan memperdaya pandangan manusia yang luas dan tajam.  Emosi memang bisa menjadi alarm ada sesuatu yang harus kita perbaiki ada sesuatu yang mengganjal dalam jiwa, niat dan juga perspektif kita. Terpuruk terus-terus tenggelam dalam emosi yang negatif akan menyebabkan seseorang kehilangan perspektif yang realistis dan luas. Para ahli psikologi modern biasanya banyak  memberikan kiat-kiat praktif untuk bisa mengatasi berbagai rintangan emosi.

Lapisan yang paling dalam, dalam terminologi barat disebut dengan bawah sadar itulah yang mendrive prilaku-prilaku sosial dan budaya seseorang. Bawah sadar juga bisa dimanipulasi oleh lintasan-lintasan pikiran yang liar. Menurut penelitian ada banyak lintasan setiap harinya yang masuk ke dalam pikiran.  Sebagian lintasan pikiran itu terus menerus bergerilya untuk bisa menembus ke pusat bawah sadar dan memusnahkan segala amunisi bawah sadar yang lama.

Serangan-serang emosi negatif  begitu masif dan kuat ingin meracuni kekuatan bahwa sadar yang positif.  Setiap manusia telah dibekali dengan kognisi yang primordial seperti keyakinan akan Tuhan, keyakinan akan keterbatasannya, keyakinan akan pentingnya perbuatan baik, keyakinan akan keberhargaan dirinya, keyakinan akan kemampuan dirinya mengatasi segala masalah di dunia dan keyakinan-keyakinan yang ditanamkan dari langit ke dalam lubuk hati manusia.  Kesadaran primordial bisa terkikis oleh  yang dianggap fakta dan realitanya dirinya. Ketika ia melihat ketidak adilan, memperhatikan kegagalan demi kegagalan, memperhatikan kelemahan jiwa, penyakit dan gangguan-ganggun yang mulai sering dirasakan.

Disinilah tampak budaya unggul dari pada jawara sukses (dalam arti luas)  karena berhasil mengendalikan dan mengelola pikirannya agar tidak terperangkap oleh arus dari luar. Pikiran memang bisa bertransformasi dan berubah menjadi sesuatu yang asing (alienisasi). Virus dari pengalaman buruk, kejadian yang tidak menyenangkan, faktor kelemahan jiwa yang melahirkan sikap apatis, pesimis, bosan, depresi dan gangguan-gangguan lain memangsa pikiran dan perasaaan murni dan mengubahnya menjadi mesin perusak bagi manusia. Menurut sebuah buku  “How to Kick of Wory”  , pembunuh yang paling berhasil adalah emosi buruk  kita, yaitu dalam hal ini kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak beralasan.

Menurut seorang agamawan yang juga ahli bijak, emosi itu mirip dengan khawatir yang pengetahuan tentangnya serta membedakan antara kebaikan, setan (emosi negatif) dan keburukan, malaikat sangatlah penting. Agamawan ini mengkritik definisi yang menyebutkan jika membangkitkan semangat ibadah itu adalah khawatir yang baik dan jika mendorong kemaksiatan itu adalah khawatir yang buruk. Menurutnya seringkali seringkali dorongan untuk ibadah itu lebih buruk dan lebih merusak dari dorongan untuk maksiat. Itu bisa jadi perangkap dari jiwa yang tersembunyi (khafiyah) yang ingin melalaikan hatinya yang penuh kemunafikan dan kekotoran.  Ia merasa itu adalah motivasi kalbunya padahal didalamnya  ada niatan tersembunyi untuk sesuatu yang kotor namun diperindah dengan asesori lahiriyah ritual.[2]

CATATAN :

[1] Francis Mulheren, Budaya Metabudaya, Jalasutra  Jogjakarta, 2000

[2] Ibrahim Shirazi, The Keys of Unseen, 154, Institute of Research, Qum