Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Alquran Kitab Suci yang “Sudah Selesai dengan Dirinya”

1 Pendapat 05.0 / 5

Pertama yang perlu diperhatikan dalam mengenal buku/kitab/naskah ialah penisbatan kepada penulisnya. “Babad Tanah Jawi” misalnya, (selain soal siapa penulisnya) apakah seluruhnya adalah dari penulisnya, ataukah tidak tetapi hanya sebagian? Sedangkan sebagian lainnya adalah tambahan dari yang lain! Berapa persenkah naskah itu dari penulisnya? Apa buktinya bahwa seluruh atau sebagiannya adalah dari dia?

Lalu mengenai Alquran -yang lebih dari- sebagai sebuah kitab, patutkah soal penisbatan tersebut kita lontarkan? Hal menanyakan demikian untuk pengetahuan sah-sah saja. Akan tetapi, Alquran tidak butuh pengetahuan penisbatan ini. Kitab suci ini jika tergolong kitab-kitab kuno, tak satupun dari semua kitab terdahulu yang seotentik Alquran, kitab suci yang tak disangsikan otentisitasnya.

Alquran di Atas Kodilogi

Alquran sudah selesai dengan dirinya. Tidak berlaku baginya persoalan seperti surat yang ini diragukan, atau ayat ini di naskah itu ada tapi tidak ada di naskah ini. Alquran di atas -atau lebih dahulu dari- sesuatu yang disebut sebagai naskah dan kodikologi (ilmu naskah). Tak ada sisa ruang setitikpun bagi keraguan mengenai Kitab Suci yang dibawa Nabi Muhammad saw ini sebagai mukjizat dan firman Allah. Tak seorangpun yang dapat mengklaim atau memberi kemungkinan adanya naskah lain bagi Alquran (yang telah tidak dimasukkan di dalamnya).

Tak satu orientalis pun di dunia yang dalam Quranologi berangkat dari masalah (pengetahuan penisbatan) ini, dengan mengatakan harus merujuk pada naskah-naskah kuno Alquran, untuk mencari sesuatu yang ada di satu naskah dan yang tidak ada di naskah lainnya. Alquran tidak membutuhkan hal ini. Ia di atas –atau lebih dahulu dari- naskah dan kodikologi. Selain sebagai kitab suci samawi, Alquran adalah bukti paling mendasar atas kebenaran klaim Nabi Muhammad saw dan sebagai mukjizatnya.

Ayat-ayatnya turun secara bertahap dalam 23 tahun, dari sejak awal turunnya muslimin bagai orang dahaga yang sangat mendambakan air segar (dari sumbernya), mendapat pengetahuan ayat-ayat Alquran, mencatat dan menghapalnya.

Muslimin masa itu adalah sebuah masyarakat yang tidak mempunyai kitab lain selain Alquran. Sehingga mereka menghapal dan mencatatnya. Dalam keadaan otak yang luas (kosong) bagi pengetahuan, daya hafal yang masih kuat dan buta huruf, muslimin memperoleh pengetahuan hanya melalui apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar. Oleh karena itu, apa yang disampaikan dari Alquran klop dengan kondisi demikian itu. Seperti halnya tulisan di batu, pesan Alquran terukir dalam hati mereka. Karena mereka memandangnya sebagai firman Allah, bukan perkataan manusia, bagi mereka pesan dari Alquran adalah suci.

Mereka takkan mengizinkan diri mereka sendiri mengubah satu kata atau satu huruf pun atau posisinya dari Alquran, dan mereka senantiasa melantunkan ayat-ayatnya. Dengan semua itu, Rasulullah saw sejak awal telah mengangkat beberapa sahabat khusus mencatat Alquran, dan mereka dikenal dengan “Kuttabul wahy” (Para Penulis Wahyu). Pencatatan Kalamullâh ini dari sejak masa awal itu menjadi satu sebab di antara sebab-sebab yang pasti bagi tetap terjaganya dari tahrîf.

Sisi lain sebagai sebab diterimanya Alquran dengan baik oleh mereka, ialah sisi kesusastraannya, yakni kefasihan dan balaghahnya yang luar biasa. Daya tariknya yang sangat hebat ini menarik perhatian mereka kepada Alquran, dan mereka dapat mempelajarinya dengan cepat.

 

Kitab Anti Pemalsuan

Muslimin, jangankan mereka yang tak seorang pun dari mereka membiarkan dirinya mengadakan pemalsuan di dalam Alquran, seandainya (dan mustahil) hal ini dilakukan oleh Nabi saw, Allah berfirman:

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنا بَعْضَ الْأَقاويلِ لَأَخَذْنا مِنْهُ بِالْيَمينِ ثُمَّ لَقَطَعْنا مِنْهُ الْوَتينَ

“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian ucapan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia dengan kuat, kemudian benar-benar Kami potong urat jantungnya.” (QS: al-Haqqah 44-46)

Sebagaimana ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan bahwa berbohong atas nama Allah adalah masalah besar, tak terlintas demikian itu di benak seorang dari mereka dan akan berpaling dari hal itu.

Dengan demikian, jauh sebelum terjadi (isu) tahrif di dalam kitab samawi ini, ayat-ayat sucinya adalah mutawatir, sampai batas tak mungkin ada satu huruf pun yang diingkari atau kurang dan lebih dari Alquran. Oleh karena itu, dalam mengenal Alquran kita tidak memerlukan pengkajian penisbatan itu. Namun demikian, satu hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa agama Islam yang meluas dengan cepat, umat dunia menyambut Alquran dengan hangat dan jauhnya jarak kaum muslimin dari Madinah sebagai pusat para sahabat penghafal Alquran. Semua itu sekiranya menjadi faktor terjadinya hal yang tak diinginkan, sengaja atau tidak, terjadi secara bertahap kurang dan lebih atau perubahan di dalam naskah-naskah Alquran, muslimin pada masa pertengahan abad pertama telah memperhatikan bahaya yang mungkin terjadi itu, dan mereka mencegahnya.

Mereka mengambil manfaat dari kehadiran para sahabat penghapal Alquran di tengah mereka. Dengan mendapatkan naskah-naskah yang benar dari Madinah dan sekitarnya, mereka dapat mencegah terjadinya kurang dan lebih yang disengaja atau tidak, dan senantiasa melakukan pencegahan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh kaum Yahudi khususnya terhadap Alquran.

 

Referensi:

Asyna`i ba Qur`an (1)/Syahid Mutahari