Kelahiran Imam Mahdi dalam Catatan(2)

6. Ad-Dzahabi (w. 748 H/1347 M) dalam kitab lainnya, Tarikh al-Islam, j. 19, h. 113, juga menyebutkan sekelumit biografi Imam Hasan al-Askari: “Al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali ar-Ridha bin Musa bin Ja’far as-Shadiq sebagai Abu Muhammad al-Hasyimi al-Husaini, salah satu imam Syiah yang dianggap maksum. Al-Hasan dijuluki sebagai al-Askari karena tinggal di Samarra, atau yang disebut sebagai al-Askar. Dialah ayah dari Muntazhar Rafidhah. Wafat di Samarra pada 8 Rabiul Awal tahun 260 pada usia 29 tahun. Dia dimakamkan di sisi ayahnya. Ibunya seorang budak.

Sementara anaknya, Muhammad bin al-Hasan yang disebut oleh Rafidhah sebagai al-Qaim al-Khalaf al-Hujjah, dilahirkan pada tahun 258 atau 256. Dia hidup setelah ayahnya dua tahun, lalu menghilang, tidak diketahui bagaimana dia wafat. Mereka menganggapnya masih hidup di bawah tanah selama 450 tahun. Dialah Sahibuz Zaman. Dia masih hidup, mengetahui ilmu orang-orang terdahulu dan kemudian. Mereka menganggapnya tiada yang dapat melihatnya selamanya. Olehnya, kami memohon Allah memantapkan akal dan iman kita.” Lebih lanjut, silakan cek di link berikut:
https://ia801400.us.archive.org/28/items/FP3938/tiz19.pdf

7. Salahuddin Khalil bin Aybak as-Shafadi (w. 764 H/1363 M), dalam kitabnya, al-Wafi bi al-Wafayat, j. 2, h. 249, poin 788, mencatat: “(al-Hujjah al-Muntazhar) Muhammad bin al-Hasan al-‘Askari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim bin (Abu Musa Ja’far as-Shadiq) bin Muhammad al-Baqir bin Zain al-Abidin Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Al-Hujjah al-Muntazhar adalah Imam ke Dua Belas. Dialah yang diyakini oleh Syiah sebagai al-Muntazhar al-Qaim al-Mahdi. Dialah Shahib as-Sirdab. Banyak riwayat dan pendapat mereka tentangnya. Mereka menunggu kehadirannya di akhir zaman dari bawah tanah di Samarra. Bagi mereka hingga tanggal ini berusia 477 tahun. Mereka menantinya dan belum keluar. Dia dilahirkan pada Nisfu Sya’ban tahun 255 H. Syiah mengatakan bahwa dia masuk ke bawah tanah di rumah ayahnya, sedangkan ibunya melihatnya dan tidak keluar lagi. Hal ini terjadi pada tahun 265 H, usianya saat itu 9 tahun.”

ibnu al-Azraq dalam sejarah Mayya Fariqayn (red: nama kota di Turki, Silvan, Diyarbakir) menyebutkan bahwa: “Dia dilahirkan pada 9 Rabiul Akhir 258 H. Ada juga yang mengatakan pada 8 Sya’ban 256 H. Inilah yang paling sahih. Bahwa dia saat masuk ke bawah tanah berusia 4 atau 5 tahun. Ada juga yang mengatakan dia masuk bawah tanah tahun 275 saat berusia 17 tahun. Allah lebih mengetahuinya.” Pernyataan as-Shafadi tersebut bisa dicek di link berikut:
http://ia600509.us.archive.org/9/items/FP49931/wafiw02.pdf

8. Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Lisan al-Mizan, j. 2, h. 460, mencatat pada poin 1865 tentang biografi saudara Imam Hasan yang bernama Ja’far. “Ja’far bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dialah saudara dari al-Hasan yang dijuluki al-Askari, Imam ke-11, ayah dari Muhammad Shahib as-Sirdab. Ja’far ini berseberangan dengan saudaranya, al-Hasan, sehingga pendukung al-Hasan menyebutnya sebagai Ja’far al-Kadzzab.” Catatan ini bisa dilihat di link berikut:
http://ia800205.us.archive.org/11/items/waqlisan/Lisan_Mizan_02.pdf

9. Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki (w. 974 H) menyebutkan dalam bukunya, as-Shawaiq al-Muhriqah fi ar-Radd ‘ala Ahl al-Bida’ wa az-Zindiqah, h. 182-3, secara panjang lebar tentang pribadi Abu Muhammad al-Hasan al-Khalis atau yang disebut Ibnu Khalikan sebagai al-‘Askari bahwa: “Dia dilahirkan pada tahun 232 H”.


Lalu mencatat singkat pribadi Abul Qasim Muhammad al-Hujjah: “Saat ayahnya wafat, dia berusia 5 tahun, namun Allah menganugerahinya hikmah. Dia disebut sebagai al-Qasim al-Muntazhar. Katanya, karena dia gaib di kota itu dan tidak seorang pun yang mengetahui kemana perginya. Telah berlalu pembahasan ayat ke-12 (red: dalam kitab ini, Ibnu Hajar menyampaikan ayat ke-12 tentang keutamaan Ahlulbait Nabi SAW, yaitu QS. Az-Zukhruf [43]: 61), Rafidhah mengatakan bahwa dialah al-Mahdi yang dimaksud. Hal ini telah dibahas secara panjang lebar, silakan merujuknya karena penting.”

Ibnu Hajar al-Haitami, menjelaskan hadis-hadis tentang Imam Mahdi dalam menjelaskan ayat 61 surah az-Zukhruf di atas pada halaman 142, seperti dapat ditemukan di link berikut:
https://ia802703.us.archive.org/25/items/wamiq_87_hotmail/الصواعق_المحرقة.pdf

10. Khayr ad-Din az-Zirikli (w. 1893), seorang Kurdi dari Damaskus dalam kamus biografi karyanya, al-I’lam, j. 6, h. 80, mencatat: “Al-Mahdi al-Muntazhar (256 – 275 H/870 – 888 M). (Yaitu) Muhammad bin al-Hasan al-Askari (al-Khalis) bin Ali al-Hadi, (gelarnya) Abul Qasim. Imam terakhir dari Imamiyah Dua Belas. Dia dikenal di kalangan mereka sebagai al-Mahdi, Shahib az-Zaman, al-Muntazhar, al-Hujjah, Shahib Sirdab. Dilahirkan di Samarra. Saat ayahnya wafat, usianya sekitar 5 tahun. Saat mencapai usia 9, 10 atau 19 tahun dia masuk ke dalam bawah tanah di rumah ayahnya di Samarra dan tidak keluar lagi.” Catatan Khayr ad-Din az-Zirikli ini dapat ditemukan di link berikut:
https://ia801409.us.archive.org/22/items/WAQ99019/alam6.pdf

Itulah di antara beberapa kitab rujukan karya para penulis dari kalangan Muslim Ahlusunah, yang di dalamnya memuat pembahasan tentang Imam Mahdi a.f sekaligus sekilas penjelasan tentang ayahanda beliau, Imam Hasan al-‘Askari a.s.

Terlepas dari penilaian apakah catatan dan pandangan para penulis beberapa kitab tersebut bersifat netral atau sebagian dari mereka lebih cenderung memilih diksi yang tendensius pada saat mendeskripsikan hal-hal berkenaan dengan Ahlulbait. Dapat kita pahami bahwa mungkin saja hal tersebut dilakukan sekadar untuk menunjukkan perbedaan pandangan terkait Imam Mahdi dan para Imam yang lain. Namun tetap saja sebagai pihak yang meyakini bahwa eksistensi Imam Mahdi benar adanya, meski dengan kata lain “tak sepenuhnya sesuai dengan penggambaran tendensius mereka”, Muslim Syiah mesti berbesar hati dalam menerima perbedaan pandangan tersebut bahkan tak perlu ragu untuk memberikan apresiasi atas karya-karya mereka.

Akhirnya, hanya kepada Allah Yang Maha Mengetahui hakikat segala sesuatu sajalah, hendaknya setiap Muslim beriman dan berserah diri.[*]