Klaim Dusta Kemahdian

Klaim Dusta Kemahdian

 

Tanpa menyebut nama oknum atau kelompok, klaim kemahdian; mengaku al-Mahdi atau wakilnya atau menisbatkan diri kepada al-Mahdi, yang media liput kemaren sore, bukan hal baru. Sayang jika disebutkan di halaman ini nama atau kelompok pengklaim itu menjadi iklan gratis bagi mereka.

Dalam sejarah didapati pengklaim secara tegas, menyebut dirinya atau orang lain al-Mahdi. Masalah ini mengetahui makna kebahasaan “mahdi” dan penggunaannya dalam bahasa dan istilah sangatlah penting. Kata ini telah digunakan sebagai sebuah gelar bagi seseorang termasuk Rasulullah saw, Ahlulbait dan para khalifahnya. Penggunaan yang demikian tidak masuk “buku” klaim ini, seperti menurut Jasim Husein (dalam “Tarikh Siyasi-e Ghaibate Imam Dawozdahom”) bahwa orang pertama yang menyebut al-Mahdi dalam arti terminologis bagi Muhammad bin Hanafiyah adalah Sayed Himyari penyair syiah yang populer.

Sejarah menunjukkan, dari masa Umawiyin sampai sekarang banyak sekali orang menyebut diri atau para pimpinan politis mereka al-Mahdi. Semua klaim mereka cenderung negatif dan menyimpang jauh dari ajaran Islam. Sisi kesamaan mereka, semua melihat pada pentingnya masalah kemahdian di mata muslimin.

Selain klaim kemahdian palsu itu, terdapat klaim palsu macam-macam perwakilan Imam Mahdi. Wikâlah (perwakilan) dalam istilah fikih ialah mewakilkan pada yang lain dalam mengesahkan terkait urusan, dan menyerahkan urusan kepadanya. Dalam undang-undang ialah berarti akad bahwa pihak yang satu dalam suatu urusan mewakil pihak yang lain.

Disimpulkan dari pengamatan cermat tentang makna kebahasaan dan keistilahan kata “wikâlah”, ialah mengandung makna tidak dapat atau tidak ingin menangani urusan secara langsung. Hal ini terjadi dengan alasan tertentu ketika menunjuk seorang wakil, sebagaimana yang dilakukan para imam Syiah. Seperti dalam menjalin kontak dengan Syiah daerah-daerah jauh, Imam Hasan Askari berkata kepada Usman bin Said: “Laksanakan hai Usman, kamu adalah wakil yang terpecaya dan amanah atas harta Allah.”

 

Mengaku-ngaku Sebagai Wakil Imam

Kata lain dari –atau yang bermakna- wakil seperti safîr dan nâib digunakan mengenai wakil-wakil khusus di masa ghaib kecil (shughra). Syaikh Thusi dalam kitabnya, “al-Ghaibah”, mengenai mereka terdapat di bagian para duta di masa ghaibah. Di bagian lain dalam kitabnya terdapat mengenai para pendusta yang mengaku sebagai “pintu” dan duta al-Mahdi. Di masa kegaiban kecil Imam Mahdi, sejumlah orang mengklaim sebagai wakil Imam, antara lain:

-Abu Muhammad Hasan Syar’i yang dikabarkan dari Imam bahwa dia bohong dalam klaimnya itu (al-Ghaibah, hal 258).

-Ahmad bin Hilal Karkhi, termasuk orang pertama yang mengingkari kenaiban Muhammad bin Ustman -yang diangkat oleh Imam sebagai wakilnya. (Kamaluddin/Syaikh Shaduq, hal 489)

-Muhammad bin Nasir Numairi, juga pengingkar sang naib kedua bagi Imam. Di masa Imam Ali Hadi dan Imam Hasan ‘Askari, dia berpemikiran ekstrimis. Syaikh Thusi dalam kitabnya (hal 259) mengungkapkan bahwa dia itu “tukang memubahkan”; menghalalkan muharramat (yang diharamkan) seperti liwath (homoseksual). Dalam hal ini bin Nasir mengatakan: “Adalah ketawaduan si obyek dan kebagusan si subyek; dua hal ini tidak diharamkan!”.

-Abu Ya’qub bin Muhammad bin Aban Nakha’i Kufi (menurut tahqiq, dia bukan Ishaq bin Muhammad Bashri) pengklaim sebagai naib dan mewakili empat naib Imam. Orang-orang yang percaya padanya dan menjadi pengikutnya disebut keompok Ishaqiyah.

Para Pecundang yang Mengklaim Kemahdian

Klaim dengan Dalih Tanda-tanda Kemunculan Imam Zaman

Abasiyah menyalahgunakan riwayat-riwayat yang mengabarkan kebangkitan Imam Mahdi. Di antaranya, menginformasikan hadis kemunculan panji-panji hitam yang dibawa oleh pasukan yang bergerak dari Khurasan, sebagai tanda kemunculan al-Mahdi. Bahwa, “Bila datang bendera-bendera hitam, datangilah! Karena di dalamnya ada khalifatullah al-Mahdi.” (al-Irsyad/Syaikh Mufid 2/368; Syarh al-Akhbar/Qadhi Nu’man 3/401; al-Malahim wa al-Fitan, hal 123).  Berkumpul lah orang-orang Abbasiyah di Khurasan di bawah panji hitam Abu Muslim, mereka dikenal dengan “yang berjubah hitam”.

Dengan mengarang hadis-hadis keutamaan bani Abbas di sisi Rasulullah saw, juga hadis-hadis terkait bahwa Jibril bersurban dan berjubah hitam, mereka dan para penguasa Abbasiyah tampil dengan jubah hitam. Demi menerapkan kemahdian yang dijanjikan, mereka mentahrif, mengubah atau menambah kata dalam hadis. Para ahli ilmu rijâl dan dirayah mendhaifkan hadis-hadis semacam itu dengan mengatakan: “muharraf” (telah diubah); “mazîd fîh” (ada tambahan di dalamnya); atau “yazîd fi al-hadîts” (menambahkan dalam hadis).

Sebagai contoh yang nyata, pentahrif hadis kemahdian menambahkan kata di dalamnya untuk menghubungkan lebih dekat pada Mahdi Abbasi khalifah ketiga Abbasiyah. Teks hadis asli nukilan Thabarani (al-Mu’jam al-Kabir 10/134, hadis 10214) kalimat “اسمه اسمي” (nama al-Mahdi adalah namaku) ditambahkan menjadi “اسم ابيه اسم ابي” (nama ayahnya adalah nama ayahku; Abdullah). Hal ini bertentangan dengan hadis-hadis Syiah maupun yang banyak dinukil dari Ahlussunnah.

 

Referensi:

Muwajehe Aemme ba Moddaeyane Mahdawiyat (Imam’s Confrontation with Those Who Falsely Claim Mahdisim/By Air Mohsen Erfan)