Makna Mati Jahiliyah dalam Hadis Populer: “Siapa yang Mati tanpa Mengenal Imam Zamannya..”

Imamah masalah teologi ataukah masalah fikih? Jika yang pertama, subyek semua masalah teologi adalah sifat dan perbuatan Tuhan, maka yang mengangkat imam adalah Allah melalui Rasul-Nya. Karena pilihan Allah, maka imam adalah orang suci (ma’shum). Dengan demikian, imamah bagian dari ushuluddin.

Jika yang kedua, subyek semua masalah fikih adalah perbuatan manusia, maka yang mengangkat imam adalah manusia (umat). Karena pilihan manusia, imam tidak musti ma’shum. Dengan demikian, imamah bagian dari furu’uddin.

Dalam madrasah Ahlulbait, imam yang ma’shum tidak harus memerintah. Walau demikian mentaatinya adalah wajib. Kewajiban ini bagian dari furu’, yang bersandar pada ushul. Yakni, imamah yang mengantarkan pada mengenal imam, sebagaimana ulûhiyah (ketuhanan) mengantarkan pada mengenal Tuhan. Mentaati imam karena mengenalnya.

Tujuan dari pengangkatan imam pasca kenabian yang ditutup oleh Rasulullah saw ialah melaksanakan tugas-tugas beliau; memberi petunjuk bagi umat manusia, menjelaskan ilmu, hukum dan undang-undang Islam dan menerapkannya serta mempertahankan keutuhan agama Allah.

Kedatangannya dikabarkan oleh semua imam pendahulunya, dan kedatangan mereka telah dikabarkan oleh Rasulullah saw, dan kedatangan beliau telah dikabarkan para nabi sebelumnya. Seruan mereka satu, mengajak umat manusia kepada Allah Yang Mahaesa. Cirikhas imam dalam penjelasan Imam Ridha: الامام واحد دهره لا يدانيه احد; Imam adalah tunggal di masanya tak tertandingi seorang pun.

Rasulullah saw dan para washinya, semuanya mengabarkan: akan datang Imam Zaman Sang Penutup Kewashian. Inilah salah satu keistimewaan Ahlulbait yang Rasulullah saw sampaikan kepada putrinya, Sayidah Fatimah Zahra: منا.. مهدي هذه الامة ; “Dari kami lah al-Mahdi bagi umat ini.” (al-Ghaibah/Syaikh Thusi, 191; Bihar al-Anwar 36/370)

Muhyiddin dalam “Futuhat”nya bab 366 mengungkapkan: “Kemunculan al-Mahdi adalah pasti. Ia dari Itrah Rasulullah, dari anak keturunan Fatimah. Pendahulunya adalah al-Husain bin Ali. Ayahnya adalah Hasan ‘Askari bin Imam Ali Naqi bin Imam Muhammad Taqi bin Imam Ali Ridha bin Imam Musa Kazhim bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Baqir bin Imam Ali Zainul Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.”

Jika Alquran kitab suci terbaik turun di malam terbaik (Lailatul qadr) di bulan terbaik Ramadan, kepada manusia terbaik yang paling sempurna (saw), manusia terbaik Imam al-Mahdi yang dijanjikan lahir di malam terbaik, yaitu pada malam Nisfu Sya’ban. Ialah yang keutamaannya mendekati keutamaan Lailatul qadr yang lebih baik dari seribu bulan. Imam Shadiq berkata: “(Malam nisfu sya’ban) Adalah malam yang Allah berikan bagi kami Ahlulbait sebagaimana Lailatul Qadr yang Dia berikan bagi Nabi kami (saw).” Malam nisfu sya’ban adalah “lailatul qadr”nya Ahlulbait.

 

Kematian Adalah Sari Kehidupan

Sebuah hadis Nabi saw riwayat Ahlussunnah dan Syiah: “Siapa yang mati tanpa mengenal imam zamannya, dia mati dalam jahiliyah.” Penjelasannya bahwa mati dalam jahiliyah menunjukkan kehidupan jahiliyah, dengan alasan bahwa kematian adalah sari kehidupan. Orang yang hidupnya baik maka matinya dalam kebaikan, dan orang yang hidupnya buruk maka matinya dalam keburukan.

Kematian hanyalah proses merasakan sari kehidupan. Hidup bak minuman yang diteguk manusia saat ajalnya dekat. Jika minuman ini madu, itulah hasil amal perbuatan baiknya, dan jika empedu atau racun, itulah hasil amal perbuatan buruknya di masa hidupnya. Mengenai hal ini difirmankan oleh Allah swt:

كُلُّ نَفْسٍ ذائِقَةُ الْمَوْتِ; “Setiap jiwa akan merasakan kematian.” (QS: Al Imran 185)

Bukanlah sebaliknya bahwa kematian yang merasakan atau mencerabut diri kita, tetapi diri kita yang merasakan dan mencerabut kematian. Ibarat air, kita lah yang meneguknya, bukan air yang meneguk kita. Kematian adalah sesuatu yang diminum dalam sebuah wadah oleh manusia, dan dia mencerna apa yang dia minum. Jika hidup di dunia dengan baik, maka dari dunianya ia memperoleh macam-macam tanaman berbuah yang membentuk sari “minuman” yang akan ia rasakan pada saat kematiannya. Sehingga kematian baginya lebih manis dari madu.

Namun jika di tengah masyarakatnya menjadi bagai empedu, menyakiti orang lain, jahat terhadap dirinya, keluarga dan lingkungannya, sebagai akibatnya tidaklah beda dengan perbuatan buruknya. Hanya kepahitan yang akan dia tuai dan rasakan pada saat ajalnya tiba. Sehingga baginya tak ada yang lebih pahit dari kematian.

Kematian adalah perubahan dan perpindahan ke alam lain (dari alam dunia ke alam akhirat), yang pasti dilalui setiap manusia. Setelah mati, habislah masa perubahan yang dia usahakan. Telah sirna posisi untuk bertaubat atau mengubah pandangannya, dan telah lenyap peluang untuk beramal saleh.

 

Referensi:

Al-Imam al-Mahdi al-Mau’ud/Ayatullah Syaikh Jawadi Amuli