Keadilan Ilahi; Antara Aql dan Naql



Pendahuluan

Keadilan ilahi merupakan salah satu dari permasalahan yang sangat urgen dalam akidah dan teologi. Keadilan sebagaimana halnya dengan tauhid merupakan salah satu pembahasan sifat Allah. Akan tetapi, karena pentingnya menerima dan meyakini sifat tersebut sehingga memiliki tempat khusus dalam pembahassan akidah dan teologi Islam. Karena urgensinya, pembahasan tersebut ia menjadi salah satu dari rukun-rukun iman (ushuluddin) yang lima atau rukun-rukun keimanan mazhab (ushulul mazhab) disamping rukun-rukun yang lain seperti tauhid, kenabian, keimamahan, eskatologi (ma’ad, hari akhirat), dan tidak disanksikan lagi bahwa posisi yang penting ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di sini kami hanya akan menyebutkan dua faktor yang paling penting:

1. Keadilan Ilahi memiliki cakupan yang sangat luas, penerimaan atasnya memiliki peran yang sangat penting terhadap pandangan kita terhadap Tuhan, dan dengan kata lain teologi Islam bergantung pada keadilan ilahi. Keadilan Ilahi memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem penciptaan alam (takwini) dan hukum-hukum agama (tasyri’i), penerimaan atas konsep keadilan ilahi akan merubah seluruh pandangan hidup kita terhadap dunia, selain itu, keadilan ilahi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menetapkan persoalan eskatologi, pahala, siksa, dan azab akhirat, dan pada akhirnya keadilan Ilahi bukanlah hanya persoalan teologi semata dan perbedaan sudut pandang teologis. Keimanan terhadap qadha dan qadar Ilahi, memilik sudut pandang pendidikan dalam perilaku manusia, memberikan semangat untuk menegakkan keadilan, dan memberantas kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan kemanusian.

2. Keadilan Ilahi dalam sejarah pemikiran teologi terutama pada abad pertama sejarah Islam sudah menjadi perbincangan dan perdebatan. Para Imam Suci sejak awal sudah menegaskan tentang keadilan Ilahi, sehingga kalimat tersebut menjadi syiar bagi mazhab Syiah Imamiah. Tauhid dan keadilan adalah pandangan pendukung Imam Ali As dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan keterpaksaan (jabr, determinasi) adalah pandangan para pendukung Muawiyyah.

Teolog Imamiah dan teolog Muktazilah mengikuti jejak para Imam Suci tersebut dalam pandangan tentang keadilan Ilahi dan pada akhirnya terkenal sebagai kelompok ‘Adliyyah yang berseberangan dengan kelompok Asy’ariyyah yang menolak pandangan terhadap keadilah Ilahi, Asy’ariyyah mengingkari defenisi keadilan yang dipahami secara umum. Dalam pandangan mereka, Tuhan bisa saja memasukkan seluruh Mukmin ke dalam neraka dan memasukkan seluruh kafir ke dalam syurga, karena segala perbuatan Tuhan itu adalah keadilan itu sendiri.

Bagaimana pun, dalam masalah ini, sebagaimana halnya pembahasan qadha dan qadar, keterpaksaan dan kehendak bebas, para pemimpim zalim ketika mereka merebut khilafah dengan cara yang tidak sah dan lalu menyandarkan khilafahnya kepada Rasulullah Saw, dan untuk menjaga kepentingan mereka yang tidak sesuai dengan syariat mereka kemudian menolak pandangan keadilan Ilahi untuk membenarkan seluruh perbuatan ketidakadilan dan kedzaliman mereka, oleh karena itu, dalam catatan sejarah pembahasan keadilan Ilahi merupakan faktor yang sangat penting dan mempunyai posisi yang lebih strategis dibanding dengan sifat-sifat Tuhan yang lain.

Hubungan Hikmah dan Keadilan

Dalam pembahasan hikmah Ilahi kami katakan bahwa salah satu makna hikmah adalah menghindarkan pelaku dari perbuatan buruk dan jahat. Inilah salah satu makna dari himkah dimana keadilan juga termasuk di dalamnya, karena keadilan tidak sejalan dengan kezaliman dan perbuatan baik tidak searah dengan perbuatan buruk. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sifat adil merupakan salah satu ranting dari sifat hikmah Tuhan.
Asas Keadilan Berpijak pada Kebaikan dan Keburukan dalam Penilaian Akal

Salah satu dasar yang paling penting terhadap keyakinan pada keadilan Ilahi (yakni seluruh perbuatan Tuhan adalah adil) adalah konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal. Perlu kami tegaskan disini bahwa berdasarkan perspektif kebaikan dan keburukan dalam penilaian rasio, akal manusia secara mandiri mampu menentukan sebagian kebaikan dan keburukan, akal bisa menjadi hakim atas perbuatan tersebut. Penilaian akal ini, apabila hakikat dan zat perbuatan itu sendiri dilepaskan dari syarat-syarat, tempat, dan waktu yang berbeda serta tanpa mengaitkan dengan pelaku perbuatan tertentu, maka perbuatan Tuhan juga termasuk di dalamnya.

Oleh karena itu, keadilan dan kezaliman pada hakikatnya sudah pasti memiliki aspek kebaikan dan keburukan. Akal manusia bisa memahami kebaikan dan keburukan tersebut. Yakni akal manusia secara umum bisa memahamiya. Keadilan dan pelakunya adalah perbuatan baik, dan kezaliman dan kejahatan secara mutlak adalah jelek, ketika Tuhan yang memiliki sifat hakim (bijaksana) suci dari perbuatan buruk, akal pun mampu mencerna bahwa Tuhan tidak akan mungkin melakukan perbuatan zalim dan seluruh perbuatan Tuhan pasti berdasarkan pada keadilan.

Atas dasar adanya hubungan inilah para penentang konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian rasio tidak memiliki dasar pemikiran yang kokoh dan argumentatif untuk menolak sifat adil, dan mereka meyakini bahwa perbuatan yang menurut akal adalah tidak adil, terdapat kemungkinan bahwa Tuhan juga bisa melakukan perbuatan tersebut.

Makna Adil

Pada kesempatan ini akan kami paparkan makna keadilan itu sendiri secara lebih terperinci. Kata “adil” memiliki banyak makna dan digunakan pada posisi yang berbeda-beda [1]. Sebagian dari makna adil yang dianggap penting adalah sebagai berikut:

1. Menjaga persamaan dan menghindari pembedaan.

Terkadang yang dimaksud dengan keadilan adalah seseorang tidak membeda-bedakan dengan yang lain dan melihat bahwa tidak ada perbedaan sama sekali dengan yang lain serta melihat bahwa dia dengan orang lain memiliki derajat yang sama dan menghindari segala bentuk pembedaan. Akan tetapi, kita semestinya tidak lupa bahwa menjaga persamaan hanya bisa diterima ketika tidak ada perbedaan sama sekali antara kelayakan dan kebutuhan-kebutuhan mendasar. Akan tetapi, jika berhadapan dengan masyarakat yang dari segi kelayakan dan kebutuhan yang berbeda-beda dan tingkat kebutuhan yang bertingkat-tingkat, menetapkan persamaan di antara mereka justru berarti tidak adil. Bahkan bisa bermakna membatasi hak orang yang lebih memiliki kelayakan. Sebagai contoh, jika seorang dosen demi menjaga keadilan dan persamaan memberikan nilai yang sama kepada seluruh mahasiswanya, maka pada dasarnya dia tidak menerapkan keadilan. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa keadilan bukan persamaan.

2. Menjaga hak orang lain.

Adil dalam makna ini adalah menjaga seluruh hak orang lain dan kezaliman adalah membatasi dan menghalangi hak orang lain.

3. Menempatkan dan meletakkan seseorang atau sesuatu sesuai dengan posisi dan tempat yang layak untuknya.

Terkadang makna adil memiliki makna yang lebih luas yaitu meletakkan segala sesuatu sesuai dengan posisinya, defenisi ini bisa kita temukan dalam perkataan Imam Ali As, dia bersabda, “meletakkan segala sesuatu sesuai dengan posisinya.[2]

Makna perkataan agung itu adalah di dalam alam takwini dan tasyri’i segala sesuatu memliki posisi dan kedudukan sesuai dengan kelayakan dirinya, dan keadilan adalah menjaga posisi tersebut dan meletakkan segala sesuatu sesuai dengan kelayakannya. Makna inilah yang paling luas dan paling sempurna dari makna keadilan dan juga mencakup makna keadilan sebelumnya.

Oleh karena itu, sebagaimana telah kami jelaskan bahwa makna secara umum keadilan Tuhan adalah Tuhan memperlakukan segala sesuatu sebagaimana selayaknya dan memposisikan mereka sesuai dengan kedudukannya serta memberikan kepada yang berhak hak-hak yang seharusnya dia dapatkan.[3]

Pembagian Umum Keadilan Tuhan

Dengan memperhatikan cakupan dan strata keadilan Tuhan, kita bisa membagi secara umum keadilan Tuhan:

1. Keadilan takwini (berkaitan dengan penciptaan). Tuhan memberikan nikmat kepada seluruh eksistensi sesuai dengan kapasitas, potensi, dan kapabilitasnya serta tak satupun potensi (isti’dad) terlarang menerima rahmat dan nikmat Tuhan tersebut. Dengan kata lain, Tuhan Yang Maha Tinggi memberikan nikmatnya kepada seluruh makhluk berdasarkan potensi, kapasitas dan kapabiltas makhluk tersebut, dan seluruh makhluk mencapai kesempurnaan sesuai dengan standar potensi, kapasitas dan kapabiltas mereka sendiri.

2. Keadilan tasyri’i (berkaitan dengan petunjuk dan hukum agama). Tuhan pada satu sisi tidak mengabaikan, tidak lalai, dan semena-mena dalam menetapkan kewajiban dan membuat hukum yang menjadi jalur untuk pencapaian kesempurnaan manusia dan kebahagian abadi manusia itu sendiri, dan di sisi lain tak satupun manusia diberikan beban dan tanggung jawab melebihi kemampuan mereka dalam melaksanakan kewajiban agama[4], oleh karena itu, syariat Tuhan merupakan perpaduan dari kedua makna tersebut.

3. Keadilan dalam hukum

Tuhan dalam memberikan pahala dan siksa kepada hambanya sesuai dengan amal perbuatan hambanya. Berdasarkan hal tersebut, Tuhan akan memberikan pahala kepada orang yang melakukan perbuatan baik karena perbuatan baiknya, dan Tuhan akan menyiksa orang yang melakukan perbuatan buruk karena perbuatan buruknya itu.

Demikian pula, berdasarkan keadilan hukum Tuhan bahwa tak satu pun manusia disebabkan tanggung jawab atau kewajiban yang tidak sampai kepada mereka di dunia ini akan menerima hukuman dan siksaan. Sebagian pahala dan siksa ini diberikan di dunia dan sebagian yang lain akan ditangguhkan di akhirat. Sebenarnya dengan memperhatikan bahwa hakikat hukuman akhirat adalah ada hubungan antara hakikat wujud manusia dan perbuatan manusia itu sendiri, dengan demikian keadilan dalam hukum ini pada akhirnya akan kembali kepada keadilan takwini.

Argumentasi Akal tentang Keadilan Tuhan

Sebagaimana telah kami katakan bahwa, argumentasi akal yang paling mendasar dalam pembahasan keadilan Tuhan adalah konsep kebaikan dan keburukan dalam perspektif akal (husn wa qubh aqli) , dan telah kami jelaskan bagaimana hubungan keduanya. Oleh karena itu, kesimpulan argumentasi akal tentang keadilan adalah keadilan adalah perbuatan baik dan kezaliman adalah perbuatan buruk, dan Tuhan yang memiliki sifat Hakim suci dan terlepas dari melakukan perbuatan yang menurut akal adalah perbuatan buruk, maka dari itu, Tuhan tidak akan pernah melakukan perbuatan kezaliman dan seluruh perbuatan Tuhan berdasarkan pada keadilan.

Sebenarnya, para teolog pendukung konsep keadilan Tuhan memiliki argumentasi lain dalam menetapapkan keadilan Tuhan, akan tetapi, menurut pandangan kami seluruh argumentasi tersebut apabila tidak berujung kepada argumentasi yang berpijak pada konsep kebaikan dan keburukan rasio maka argumentasi tersebut tidaklah sempurna, sebagai contoh dikatakan bahwa jika kita misalkan Tuhan melakukan perbuatan zalim, maka ada tiga kemungkinan mengapa Tuhan melakukan perbuatan zalim tersebut:

Pertama, perbuatan tersebut bersumber dari kebodohan;

Kedua, bersumber dari kebutuhan; dan

Ketiga, sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan. Kemungkinan pertama dan kedua secara jelas batil karena Tuhan memiliki Ilmu mutlak, oleh karena itu mustahil Dia melakukan perbuatan zalim karena kebodohan-Nya atau karena kebutuhanNya. Kemungkinan ketiga juga batal dengan sendirinya karena hikmah adalah menghindarkan dan menghalangi pelaku dari perbuatan buruk, dengan demikian tidak mungkin Tuhan melakukan perbuatan zalim.

Oleh karena itu, seluruh anggapan mengenai kemungkinan Tuhan melakukan perbuatan zalim adalah batal dengan sendirinya. Walhasil, seluruh perbuatan Tuhan adalah adil.[5]

Keadilan Tuhan dalam Al-Quran

Perlu ditegaskan bahwa dalam al-Quran al-Karim kata “al-adl” dan variannya tidak pernah digunakan dan dinisbahkan kepada Tuhan[6], akan tetapi, keadilan ilahi hanya digunakan semata-mata untuk menjelaskan “penafian kezaliman”, sebagai contoh sejumlah ayat menjelaskan bahwa Tuhan tidak pernah menzalimi hak–hak manusia. Allah Swt berfirman, “sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.”[7]

Dan dalam sebagian ayat menjelaskan bahwa keadilan Tuhan memiliki lapangan yang lebih luas, “dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang juapun.”[8] Dan, “dan tiadalah Allah berkehendak untuk menzalimi dan menganiaya hamba-hambaNya.”[9]

Yang dimaksud dengan “al-alamin” disini mungkin seluruh makhluk yang berakal seperti manusia jin dan malaikat serta juga ada kemungkinan yang dimaksud adalah seluruh alam jagat raya, keadilan Ilahi batasannya lebih luas daripada hanya mengkhususkan kepada kelompok manusia saja. Dan sebagian ayat menjelaskan keadilan takwini Tuhan, “Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang dianugerahi ilmu menyatakan bahaw tidak ada Tuhan melainkan Dia.”[10] [11]

Sejumlah ayat juga menjelaskan keadilan tasyri’i, “kami tidak membebani setiap jiwa kecuali ia mampu memikulnya.”[12] Dan, “katakanlah bahwa Tuhanku memerintahkanku untuk berbuat adil dan menjalankan keadilan.”[13]

Demikian pula halnya sejumlah ayat juga menegaskan dan menjadi saksi atas keadilan hukum Tuhan, “dan kami memasang timbangan yang tepat (keadilan) pada hari kiamat maka tak seorangpun dirugikan barang sedikitpun.”[14] Dan, “Dialah yang memulai penciptaan kemudian mengembalikannya (menghidupkannya) untuk memberikan pembalasan bagi orang yang beriman dan beramal shaleh dengan penuh adil.”[15] Dan, “Dan kami sekali-kali tidak akan mengazab sebuah kaum sebelum kami mengutus kepada mereka seroang rasul.”[16] Serta, “Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali menganiaya mereka akan tetapi merekalah yang menganiaiya diri mereka sendiri.”[17]

Ayat terakhir menjelaskan tentang azab-azab yang menimpa para pemimpin yang zalim dan al-Quran dengan meyebutkan akibat dari perbuatan mereka bahwa balasan dan siksa Tuhan bukanlah berarti Tuhan akan menzalimi mereka. Tetapi itu akibat dari perbuatan mereka sendiri, oleh karena itu, jika terjadi penganiayaan dan kezaliman di antara mereka pada hakikatnya mereka yang menzalimi dirinya sendiri.

Disamping ayat al-Quran banyak sekali hadis yang sampai ke tangan kita yang menjelaskan keadilan Tuhan, seperti hadis yang dinukil dari Rasullah Saw, “Langit dan bumi tercipta berdasarkan keadilan.”[18] Amirul mukminin As ketika menjawab pertanyaan seseorang tentang makna tauhid dan adil bersabda, “Tauhid adalah engkau tidak membayangkannya (menyerupakan dengan makhluk) dan adil adalah tidak menuduh dan menyangka sesuatu yang tidak layak untukNya.” Demikian juga ketika menyifati Allah Swt, beliau bersabda, “Allah tidak akan pernah mengzalimi hambanya dan menegakkan dan melaksanakan keadilan di antara makhluknya dan berlaku adil dalam pelaksanaan hukumnya.”[19]

Keraguan dalam Masalah Keadilan Ilahi

Dalam pembahasan hikmah Ilahi telah kami jelaskan bahwa dalam pandangan sebuah kelompok tertentu tentang keberadaan bala, musibah, derita, duka, kesusahan, dan segala sesuatu yang dalam pandangan manusia buruk dipandang tidak sesuai dengan hikmah Ilahi, kemudian pada pembahasan tersebut juga kami jelaskan dengan menunjukkan beberapa bukti dan dalil tentang hikmah dan kemaslahatan yang ada pada setiap keburukan dalam pandangan manusia, maka dengan sendirinya pandangan tersebut batal dan tertolak. Barangkali selayaknya kami sebutkan beberapa keraguan yang berhubungan dengan masalah keadilan Ilahi kemudian dikritisi dan memberikan solusi alternatif dari permasalahan tersebut. Sebelumnya, satu hal penting yang harus diingatkan bahwa sebahagian dari keraguan ini yang berhubungan dengan hikmah Ilahi yang bermakna tujuan penciptaan ilahi akan kita bahas di sini.[20] Akan tetapi, jika jawabannya berhubungan dengan masalah hikmah dan keadilah Ilahi maka kami akan hanya menjawabnya pada masalah keadilan Ilahi.[21]

Keadilan Ilahi dan Perbedaan

Terkadang disebutkan bahwa adanya perbedaan pada eksistensi merupakan salah satu bentuk kesemena-menaan, diskriminasi, dan ketidakadilan, dengan demikian tidak sejalan dan selaras dengan keyakinan pada keadilah Ilahi. Munculnya perbedaan ini pada segala sesuatu dalam bentuk eksistensi yang berbeda-beda, sebagai contoh mengapa Tuhan menciptakan eksistensi yang berbentuk manusia dan eksistensi yang berbentuk hewan dan eksistensi yang berbentuk tumbuh-tumbuhan dan mengapa hewan, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan bijian tidak mendapatkan emanasi seperti yang diberikan kepada manusia? Dan terkadang juga kritiknya ditujukan pada perbedaan di antara manusia, seperti mengapa sebagian manusia buta dan sebagain yang lain melihat? Mengapa ada yang cantik dan jelek? Atas dasar apa sebagaian manusia diberikan kecerdesan dan sebagian yang lain bodoh?

Untuk menjawab keraguan-keraguan di atas maka perlu kami paparkan beberapa pendahuluan sebagai berikut:

1. Di alam natural dan materi bahkan di alam makhluk nonmateri memiliki sistem tersendiri dan aturan serta hukum yang tidak berubah yang menjadi tolak ukur bagi alam tersebut. Salah satu yang paling penting dari hukum alam dan sunnatullah tersebut adalah hukum sebab-akibat dimana dikatakan bahwa setiap makhluk pasti memiliki sebab, dan antara sebab dan akibat harus ada keselarasan dan kesesuaian sehingga tidak semua akibat akan terlahir dari setiap sebab;

2. Aturan, sunnaatullah, dan hukum alam yang ada pada seluruh alam adalah hakikat alam itu sendiri sehinga tidak mungkin kita katakan bahwa alam tetap ada tetapi hukum alam itu sendiri berubah dan sirna, sebagaimana kita tidak bisa memisahkan gula dengan rasa manis atau air tanpa sifat basah;

3. Hukum alam yang tak berubah di antara seluruh eksistensi harus terdapat perbedaan di antara eksistensi itu sendiri. Sebagai contoh, dalam hukum sebab-akibat, wujud akibat itu apabila dinisbahkan kepada sebabnya maka akan lebih rendah tingkatan kesempurnaannya, demikian pula harus ada keselarasan dan kesesuaian antara sebab dan akibat. Jika ada sebab yang menyebabkan lahirnya seorang anak kecil yang buta maka akibat dari sebab itu harus sesuai dengan sebab tersebut sehingga terlahirlah anak kecil yang buta. Sebagai kesimpulan bahwa perbedaan pada alam eksistensi di antara makhluk Tuhan adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan, tidak bisa dipungkiri, dan merupakan kemestian dari hukum alam dan sunnaatullah tersebut, dengan demikian, mustahil merubah dan memisahkan aturah tersebut dari alam.

Dengan demikian, permasalahannya sudah jelah bahwa menggunakan kata “diskriminasi” pada masalah perbedaan natural ini tidaklah benar, diskriminasi dikatakan ketika dua sesuatu memiliki potensi yang sama untuk mendapatkan sesuatu akan tetapi hanya diberikan kepada salah satu dari keduanya. Sementara dalam pembahasan kita, ketidaksempurnaan sebagian eksistensi karena hukum alam dan sunnatullah pada dasarnya karena tidak memiliki potensi untuk mendapatkan dan menerima kesempurnaan. Dengan kata lain, emanasi dan rahmat Tuhan tak terbatas, akan tetapi potensi, kapasitas, dan kapabilitas yang diciptakan-Nya adalah terbatas dan keterbatasan yang ada pada makhluk-Nya tersebut merupakan salah satu keistimewaan yang tak terpisahkan dari alam dan merupakan anugrah alami dari alam.

Oleh karena itu, perbedaan pada eksistensi tidak akan pernah bertentangan dengan keadilan Ilahi, karena kezaliman, kesemena-menaan, dan diskriminasi tidak akan muncul dari Tuhan, pada akhirnnya perbedaan pada eksistensi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa perbuatan buruk terlahir dari Tuhan.

Kematian dan Ketiadaan

Salah satu keraguan yang dipermasalahkan dalam keadilan Tuhan adalah masalah kematian dan ketiadaan. Barangkali ada yang menyangka bahwa peristiwa yang terjadi pada masa lalu yang menimpa manusia akan berlalu begitu saja dan hancur lebur serta tidak ada lagi tindak lanjutnnya, dengan demikian tidak sesuai dengan keadilan Tuhan.

Untuk menjawab keraguan di atas kami katakan bahwa:

Pertama, kematian dan ketiadaan adalah satu hukum alam dan sunnatulah yang tidak bisa dipungkiri dan dipisahkan dari alam serta merupakan kemestian dari kehidupan di alam natural. Oleh karena itu, segala eksistensi yang berada pada alam materi tidak berpotensi untuk kehidupan yang abadi.

Kedua, keraguan ini muncul berdasarkan pendefinisian kematian sebagai ketiadaan mutlak, sementara tidaklah demikian halnya. Kematian hanyalah perpindahan dari satu alam ke alam yang lain, jika kita memaknai kematian sebagai perpindahan maka kematian dan ketiadaan bukanlah sebuah ketidakadilan.

Balasan Ukhrawi dan Hubungannya dengan Dosa Anak Adam

Ada dua kritik yang telah diberikan solusi yang berhubungan dengan keadilan takwini Tuhan, sementara keraguan balasan ukhrawi berhubungan dengan keadilan hukum (tasyri’i) Tuhan.

Dasar permikiran kritikan ini adalah hukum akal mengatakan bahwa keserasian dan keselarasan perbuatan dosa dengan balasan haruslah setimpal. Sebagai contoh, orang yang melanggar aturan lalu lintas hukumannya seharusnya tidak sama dengan hukuman bagi seorang pembunuh, di sisi lain, dalam syariat dijelaskan bahwa hukuman ukhrawi sangat berat bagi setiap perbuatan dosa manusia. Sebagai contoh, al-Quran menjelaskan bahwa hukuman bagi orang yang membunuh dengan sengaja tanpa hak maka balasannya adalah masuk neraka jahannam selama-lamanya, oleh karena itu, hukuman ukhrawi Tuhan dari segi kualitas, kuantitas, dan waktu tidak setimpal dengan perbuatan dosa yang dilakukan hamba di dunia dan balasan ini tidak sesuai dengan keadilan Tuhan.

Untuk menjawab kritikan ini kita harus meninjau kembali esensi hukuman ukhrawi Tuhan. Pada hakikatnya, hukuman ukhrawi dari berbagai segi memiliki perbedaan dengan hukum konvensional yang ada di dunia dimana berdasarkan kesepakatan, kontrak, dan persetujuan. Kualitas dan kuantitas hukum konvensional yang merupakan buatan manusia yang ada di dunia sangat bergantung pada kesepakatan, persetujuan, dan kontrak. Oleh karena itu, hukum pidana memiliki bentuk dan sistem yang berbeda-beda, terkadang pelanggaran yang sama diberikan hukuman yang berbeda. Demikian pula, tujuan hukuman bagi hukum konvensioanl di samping sebagai rasa prihatin terhadap orang yang teraniaya juga untuk menjaga supaya kejahatan yang sama tidak terulang lagi di masyarakat, sementara hukuman ukhrawi bukanlah hukum konvensional yang berdasarkan pada kesepakatan, persetujuan, dan kontrak, akan tetapi pengaruh alami dan takwini dari balasan ukhrawi atas perbuatan pelaku kejahatan di dunia sebagaimana halnya seseorang yang meminum atau memakan racun di dunia yang niscaya memiliki pengaruh alami dan takwini yang tidak bisa dihindari, bukan berarti bahwa orang yang meminum racun dihadirkan di pengadilan kemudian diputuskan baginya suatu hukuman tertentu.

Sejumlah ayat al-Quran menjadi saksi dalam hal ini bahwa hukuman ukhrawi memiliki relasi takwini dan eksistensial yang sangat kuat dengan perbuatan dosa, bahkan dosa dan perbuatan buruk manusia kemudian mewujud dalam bentuk yang nyata dan menjadi bagian dari hakikat wujudnya.[22] sebagaimana disebutkan dalam surah al-kahfi ayat 49, “mereka mendapatkan apa yang telah diperbuat (di dunia) hadir dihadapan mereka sementara Tuhanmu tidak akan mengzalimi seorangpun.”

Sesuai dengan ayat di atas hakikat perbuatan manusia di akhirat akan jelas dan nampak dan manusia menjadi hakikat amalnya sendiri. Di tempat lain disebutkan dalam surah ali imran ayat 30, “pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan hadi dihadapan mereka dan begitu juga kejahatan yagn telah dikerjakannya ia ingin kalau sekiranya ia dengan perbuatan jelek dan buruk diantarai dengan masa yang sangat jauh.”[23]

Oleh karena itu, hubungan antara hukuman ukhrawi dengan perbuatan manusia tidak seperti hubungan hukuman dari hukum konvensional manusia dengan pelaku pelanggaran dan kejahatan sosial, dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa terdapat ketidaksetimpalan dalam hukuman atas perbuatan manusia di dunia ini dan lantas dianggap Tuhan tidak adil. Akan tetapi, hakikat dosa di hari pengadilan kelak akan jelas dan nampak pada wajah-wajah setiap manusia. Demikian pula, perbuatan lahiriah manusia yang dilakukan hanya dalam waktu yang sesaat dan tidak lama - seperti meminum racun - memiliki pengaruh dan akibat yang sangat berat dan dalam waktu yang sangat lama (seperti menderita penyakit kronis). Perbuatan dosa manusia juga memiliki pengaruh takwini dan eksistensial yang tak bisa dihindari yang akan muncul di akhirat kelak. Bahkan (dengan ungkapan yang lebih mendalam) perbuatan dosa dan perbuatan jahat itu sendiri akan muncul dan hadir sebagai hakikat dirinya dimana pada alam akhirat sebagai tempat tersingkapnya seluruh hakikat dan hijab. Oleh karena itu, keabadian hukuman bagi pembunuh orang beriman di dalam neraka bukanlah hukuman dari hukum konvensional, tetapi hasil dari pengaruh eksistensial perbuatan membunuh itu sendiri (dengan munculnya hakikat amal itu).

Keadilan Ilahi dikaitkan dengan Penderitaan Manusia

Salah satu kritikan terhadap keadilan Tuhan adalah keberadaan penderitaan yang muncul dari musibah, bala, penyakit dan sebagainya untuk anak manusia. Dan hal ini tidak sesuai dengan keadilan Tuhan.

Jawaban dari kritikan di atas bisa menggunakan jawaban terhadap kritikan sebelumnya. Kita bisa katakan bahwa kesusahan dan penderitaan dalam kehidupan dunia yang menimpa kehidupan manusia hanya ada dua kemungkinan:

1. Sebagian penderitaan dan musibah yang menimpa manusia adalah akibat dan hasil dari perbuatannya sendiri atau merupakan hasil dari perbuatan dosa dan kesalahan yang dia lakukan. Dengan memperhatikan penciptaan manusia yang dicipta sebagai maujud yang berikhtiar, dan sebagian manusia menggunakan ikhtiarnya untuk jalan yang tidak benar kemudian melakukan kesalahan dan kekhilafan yang pada akhirnya harus menelan pil penderitaan yang pahit dan getir. Sudah pasti bahwa kesusahan dan penderitaan yang bersumber dari perbuatan manusia itu sendiri adalah tidak bertentangan dengan keadilan Ilahi. Al-Quran mengisyaratkan dalam sejumlah ayat bahwa kebanyakan penderitaan yang ditanggung anak cucu adam merupakan karena hasil dari perbuatan mereka sendiri;[24]

2. Sebagaian penderitaan manusia tidak ada hubungan dengan perbuatannya sendiri dan bukan ganjaran atas perbuatan dosa yang dia lakukan seperti kesusahan dan penderitaan anak kecil yang tak pernah sekalipun melakukan dosa dan kesalahan. Dalam masalah ini, para teolog Syiah Imamiyah meyakini bahwa berdasarkan keadilan Ilahi akan diberikan kepada mereka balasan yang setimpal atas penderitaannya. Yakni Tuhan Yang Maha Tinggi akan memberikan balasan nikmat yang lebih besar, dan lebih baik dari penderitaan yang mereka alami di dunia ini, dengan jalan inilah Tuhan membalas penderitaan yang mereka alami.

Oleh karena itu, sudah jelas bahwa segala penderitaan manusia di dunia tak pernah bertentangan dengan keadilan Ilahi.

Kesimpulan

1. Masalah keadilan Ilahi adalah salah satu asas paling penting dalam akidah Islam, karena urgensinya masalah tersebut sehingga termasuk dari salah satu rukun iman atau salah satu dari rukun keimanan mazhabi, disamping itu memiliki peran yang sangat vital dalam masalah ideologi dan teologi serta memiliki banyak pengaruh dalam pendidikan individu dan masyarakat;

2. Teolog Imamiyah dan Muktazilah dikenal sebagai kelompok ‘Adliyah yang meyakini keadilan Ilahi dan kelompok Asy’ariyah (yang memiliki defenisi tersendiri tentang keadilan Ilahi) mengingkari keadilan Ilahi (yang dipahami secara umum);

3. Salah satu dasar yang paling penting dalam masalah akidah yang terkait dengan keadilah Ilahi adalah penerimaan konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal, karena berdasarkan konsep ini, keadilan adalah perbuatan baik dan zalim adalah perbuatan buruk, dan Tuhan suci dari melakukan perbuatan buruk, sementara para penentang konsep tersebut tidak bisa membangun argumentasi yang kokoh atas penolakan mereka terhadap pandangan keadilan Ilahi;

4. Al-adl (keadilan) memiliki banyak arti seperti “menjaga persamaan”, “menghindari diskriminasi”, atau “menjaga hak orang lain”. Akan tetapi, makna yang bisa mencakup dan menampung seluruh makna di atas adalah “meletakkan sesuatu atau seseorang sesuai dengan posisi, kapasitas, kualitas, dan kondisinya”. Dasar pemikiran defenisi ini adalah bahwa dalam alam takwini (penciptaan) dan tasyri’i (hukum agama) segala sesuatu memiliki posisi, kapasitas, kualitas, dan kondisi yang layak dan baik bagi dirinya sendiri, dan keadilan adalah menjaga kesesuaian, kelayakan, dan keselarasan tersebut;

5. Keadilan Ilahi ada tiga macam: keadilan takwini, keadilan tasyri’i, dan keadilan hukuman dan balasan. Keadilan takwini adalah Tuhan memberikan anugerah dan rahmat-Nya (dalam bentuk wujud) kepada ssetiap makhluk sesuai dengan kapasitas dan potensi pada makhluk tersebut, dan setiap eksistensi akan mencapai kesempurnaan sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dia miliki;

6. Yang dimaksud dengan keadilan tasyri’i adalah Tuhan meletakkan dan menciptakan undang-undang untuk menjadi jalur dan jalan menuju kebahagiaan dan kesempurnaan manusia itu sendiri. Dia tidak akan lalai dalam mengawasinya dan tidak akan pernah membebani sebuah perbuatan atau kewajiban diluar kemampuan manusia tersebut;

7. Keadilan dalam hukuman dan balasan adalah Tuhan akan memberi ganjaran dan balasan kepada hamba-Nya sesuai dengan amal dan perbuatannya, dan orang saleh yang melakukan perbuatan baik akan diganjar pahala nikmat dan orang yang melakukan perbuatan buruk akan dibalas dengan siksaan sesuai dengan kadar perbuatan mereka;

8. Teolog muslim mengemukakan sejumlah argumentasi baik langsung maupun tidak langsung dimana semua bersandar pada konsep kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal untuk menetapkan bahwa Tuhan itu Adil;

9. Al-Quran dalam sejumlah ayat menjelaskan tentang keadilan Ilahi, demikian pula dari sejumlah hadis dari Ahlulbait As menegaskan tentang keadilah Ilaihi;

10. Sekelompok orang meyakini bahwa adanya perbedaan di antara makhluk Tuhan tidak selaras dengan keadilan Tuhan. Kita menjawabnya bahwa anggapan ini bisa dianggap benar jika kemestian perbedaan takwini yang ada di alam bisa dipisahkan dari hukum alam dan sunnatullah, dengan demikian akan tercipta alam yang tidak ada perbedaan di dalamnya sama sekali;

11. Kematian bagi manusia tidak berarti ketiadaan dan kehancuran mutlak, akan tetapi perpindahan dari satu alam ke alam yang lain, oleh karena itu, tidak semestinya kita meyakini bahwa kematian bertentangan dengan keadilan Ilahi;

12. Balasan ukhrawi merupakan hasil takwini dan konsekuensi eksistensial dari amal dan perbuatan dosa, bahkan merupakan proses perwujudan dan penjasadan dosa itu sendiri, dan bukan balasan dan hukuman berdasarkan aturan dan hukum konvensional manusia yang dilandasi atas dasar persetujuan, kontrak, dan kesepakatan. Dengan demikian, menuduh Sang Pembuat Aturan (baca: Tuhan) berbuat kezaliman dan tidak menegakkan keadilan karena tidak menjaga keselarasan dan kesesuaian antara perbuatan dosa dengan balasan yang tidak setimpal adalah keliru;

13. Menurut konsep keadilan Ilahi segala penderitaan yang dialami oleh manusia yang tidak berdosa di dunia akan dibalas dengan kenikmatan yang lebih besar dari derita yang mereka alami.

Catatan Kaki:

[1] Terkadang adil bermakna seimbang dan stabil yang tidak serasi dengan makna yang sedang dibahas.
[2] Nahjul al-Balaghah, hikmah 437.
[3] Dikatakan bahwa tak satupun dari makhluk Tuhan memiliki hak terhadap Tuhan sehingga Tuhan harus menepatinya demi menjaga keadilan-Nya. Untuk menjawab secara ringkas pertanyan ini kita bisa katakan bahwa tak satupun eksistensi pada awal penciptaan dan sesuai dengan kapasitas zatnya tidak memiliki hak kepada Tuhan baik dalam alam takwini maupun dalam alam tasyri’i akan tetapi, Tuhan yang Maha Pemurah atas dasar kemulian dan keutamaanNya dia memberikan hak kepada hambaNya atas diri-Nya.
[4] terkadang permasalahan “keburukan taklif bagi orang yang tidak kuasa” dan “keburukan ganjaran tanpa ada penjelasan sebelumnya” dimana dalam pembahasan kita secara runtut masuk dalam ruang lingkup pembahasan keadilan tasyri’i dan keadilan hukum Tuhan dan merupakan dua masalah yang berdiri sendiri dan masih dalam jagron pembahasan baik buruk rasio.
[5] Fadhil Miqdad, al-nafi’ yaumul al-hasyr fi syarh al-bab al-hady al-asyar, hal. 159 dan 160, dan dalam buku, irsyaad al-thalibin, hal. 261.
[6] Barangkali tidak digunakan kata “adl” sesuai dengan makna yang dibahas dalam al-Quran karena “adl” terkadang bermakna “keluar dari jalan lurus” sebagaimana pada ayat pertama surah al-an’am bermakna syirik secara mutlak, artinya “orang –orang kafir mempersekutukan sesuatu dengan tuhan.”
[7] Qs. Yunus: 44.
[8] Qs. Al-kahfi: 49.
[9] Qs. Ali Imran: 108.
[10] Qs. Ali imran: 18.
[11] Dalam ayat ini, keadilan Ilahi dijelaskan secara mutlak , dengan demikian disamping sebagai bukti atas keadilan takwini Tuhan juga bisa dijadikan bukti untuk keadilan yang lain.
[12] Qs. Al-mukmin: 62.
[13] Qs. Al-a’raf: 29.
[14] Qs. Al-anbiya: 47.
[15] QsYunus: 4.
[16] Qs. Al-isra’: 15.
[17] Qs. At-taubah: 70 dan rum: 9.
[18] Faydz Kasyoni, Tafsir Shafy, hal. 628.
[19] Nahjul Balagha, khutbah 185.
[20] Sebagai contoh bisa dikatakn bahwa mati dan kehancuran makhluk tuhan setelah penciptaan mereka tidak sesuai dan selaras dengan hikmat ilahi dan tujuan penciptaan manusia itu sendiri.
[21] Untuk bahan bacaan yang lebih lengkap silahkan anda merujuk pembahasan keadilan tuhan yang berbahasa persia yang ditulis oleh ustadz syahid murthadha muthahhari (buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa indonsia dengan judul keadilan ilahi penerbit mizan. Pent).
[22] Untuk pembahasan penjasmanian amal perbuatan akan dibahas pada pembahasan ma’ad (jilid kedua dari buku ini).
[23] Juga anda bisa merujuk pada surah al baqarah ayat 281 dan surah al zalzalah ayat 6-8.
[24] Telah kami jelaskan lebih terperinci dalam pembahasan “Hikmah Ilahi”.