Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Berpikir Lebih Utama dari Belajar

1 Pendapat 05.0 / 5

Tak sekedar memberi pengetahuan, pendidikan melatih daya pikir dan menghidupkan daya kreasi. Berbeda dengan pengajaran yang bagiannya adalah ilmu dan belajar, bagian pendidikan adalah akal dan berpikir.

Manusia memiliki daya kreasi, yang istilahnya dari ucapan Imam Ali adalah ilmu mathbu’ (yang terbentuk). Yakni, ilmu yang sudah terbentuk dalam fitrah manusia, bersumber dari dirinya dan tidak diperoleh dari orang lain. Membedakannya dari ilmu masmu’ (yang terdengar), yang takkan bermanfaat jika tidak terbentuk. (Nahjul Balaghah/al-Hikmah 331)

Sebagian orang tidak mencapai ilmu mathbu’ kebanyakan disebabkan oleh masalah pengajaran dan pendidikan yang tidak mengaktifkan potensi mereka. Banyak orang yang berpengetahuan seperti alat rekam, disebabkan oleh masalah potensi dan penerimaan atau masalah pengajaran dan pendidikan. Mereka belajar dengan baik, rajin dan menghapal pelajaran-pelajaran, hingga kemudian menjadi seorang pengajar.

Mereka menelaah buku dan mengetahui halaman-halamannya secara detail, sekiranya ditanya suatu masalah akan menjawabnya dengan benar. Namun bila ditanya soal sisi lainnya mereka tidak bisa menjawab, karena pengetahuan mereka sebatas apa-apa yang didengar (ilmu masmu’), tanpa dapat mengambil manfaat dan membawa kesimpulan dari pengetahuannya itu. Sebagian orang bahkan mengukuhkan perkara yang bertentangan dengan apa-apa yang telah mereka pelajari.

Oleh karena itu, terkadang orang berilmu yang sebenarnya dia itu dungu. Berilmu tapi jumud akal, dan tak bedanya dengan kaum awam.

 

Mewujudkan Daya Analisa dan Memotivasi untuk Berkreasi

Dua tugas penting bagi seorang guru terhadap muridnya, yang dijelaskan oleh Syahid Mutahari melalui dua kisah berikut ini:

Yang pertama, satu kisah yang ber-‘ibrah; Seorang paranormal mendapat posisi khusus di sisi raja, dan menerima gaji bulanan darinya. Dia ajari putranya ilmu gaib, dipersiapkan untuk menempati posisinya kelak. Pada suatu hari, ia datang dengan putranya bermaksud mempromosikan dia kepada raja. Maka raja ingin menguji anak itu. Ia menggenggam telor, dan bertanya kepadanya, “Apa di tanganku ini?” Anak itu tak bisa menjawab.

“Tengahnya kuning diliputi putih!”, kata raja. Setelah berpikir, anak itu mengatakan, “Itu batu penggiling di tengahnya ubi lobak.”

Dengan disesalkan hal itu, raja menoleh kepada bapaknya dan berkata: “Apa yang telah kau ajarkan kepada anakmu?”

Ia menjawab, “Aku telah mengajari dia ilmu dengan baik, tapi dia tak menggunakan akalnya.” Artinya, dia berilmu tapi lemah akal. Dia tidak mencapai pengetahuan bahwa batu penggiling tak tercakup oleh tangan. Adalah bagian dari permasalahan yang harus dinilai oleh akal.

Yang kedua, kisah lainnya; seorang pelajar pergi ke satu kota. Di tengah perjalanan bertemu dengan seorang petani dan melontarkan beberapa soal kepadanya. Lalu si petani menjawabnya dengan sangat baik. “Di mana kamu belajar?”, tanya si pelajar.

“Kami banyak berfikir karena kami buta huruf!”, jawabnya. Adalah jawaban yang sarat makna. Yakni, bahwa pelajar berbicara tentang apa yang dia ketahui, namun petani itu mengatakan: “Saya berpikir!”, dan berpikir lebih utama dari belajar.

Jadi, harus ada pembinaan pribadi yang berpikir dan berdaya analisa serta interpretasi dalam permasalahan. Inilah perkara yang mendasar di dalam metode pengajaran dan pendidikan. Tugas guru selain mengajarkan ilmu, mewujudkan daya analisa pada muridnya, bukan memenuhi otaknya dengan berbagai informasi dan teori. Sebab, banyak informasi kadang menekan otak si murid sehingga menjadi dangkal.

Syahid Mutahari mengungkapkan; fulan belajar tigapuluh tahun kepada Almarhum Naeni, atau duapuluh lima tahun kepada Dhiya`uddin al-‘Iraqi, seakan tak punya peluang dan waktu untuk berpikir. Ia selalu menimba ilmu. Mengerahkan segenap dayanya untuk itu, sehingga tak menemukan satu tema pun kendati punya potensi untuk itu.

Otak manusia mirip lambungnya. Lambung harus menerima makanan dari luar dan mempunyai sisi lain untuk kesanggupan. Harus ada ruang di dalamnya agar makanan bergerak dengan leluasa dan dapat dicerna serta dipilah-pilah. Tetapi lambung yang full makanan, tak ada sisa ruang di dalamnya, sehingga tak berpeluang untuk mencerna makanan dengan baik. Hal ini berakibat kerusakan pada alat pencernaan dan proses penyerapan. Demikian halnya dengan otak manusia, pelajar harus memiliki peluang untuk berpikir dan mendorong untuk berkreasi.

 

Referensi:

At-Ta’lim wa at-Tarbiyah fi al-Islam/Syahid Mutahari