Syarat-syarat Pengenalan Al-Qur’an

Diantara syarat terpenting adalah penguasaan bahasa arab. Syarat lain adalah pengetahuan tentang sejarah Islam, karena bukan seperti Taurat atau Injil yang diturunkan seketika kepada Nabi Musa as dan Nabi Isa as, Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAWw dalam kurun 23 tahun di sela-sela peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam. Oleh sebab itu, ayat-ayat Al_Qur’an memiliki asbabu nuzul. Asbabun Nuzul bukan berarti membatasi makna ayat namun sebaliknya, berperan penting dlaam mengetahui kandungan ayat Al-Qur’an.

Syarat ketiga adalah pengetahuan tentang sabda-sabda Rasulullah SAWW. Sesuai dengan teks al-Qur’an, beliau adalah juru tafsir kitab samawi ini.
“Dan telah Kami turunkan Al-Qur;an kepadamu (wahai Muhammad) guna engkau jelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka..” (An-Nahl: 44)
“Dialah yang mengutus seorang Rasul dari orang-orang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat Nya kepada mereka dan mensucikan mereka serta mengajarkan kitab (Al-Qur’an) dan hikmah kepada mereka” ( Jumu’ah: 2)
Sesuai dengan pandangan Al-Qur’an, pribadi Rasululah SAWW adalah penafsir dan penjelas Al-Qur’an dan sabda beliau membantu kita dalam memahami Al-Qur’an. Namun, kalangan yang meyakini Rasulullah menyampaikan wahyu ilahi kepada penerusnya, menganggap bahwa ucapan para Imam as sama dengan ucapan Nabi, juga berperan penting dalam memahami Al-Qur’an.

Poin penting yang harus diperhatikan dalam membahas Al-Qur’an adalah bahwa pada tahap awal kita harus mengenal Al-Qur’an dengan bantuan Al-Qur’an sendiri. Maksudnya keseluruhan ayat Al-Qur’an membentuk sebuah bangunan yang saling terkait. Tidak dibenarkan apabila kita memisahkan uatu ayat dari ayat-ayat lain dan hanya terbatas memahami ayat itu saja. Tentu saja ada kemungkinan pemahaman kita benar, namun itu berbahaya. Setiap ayat menafsirkan ayat lain.

AL-Qur’an dalam menjelaskan berbagai masalah memiliki cara tersendiri. Dalam banyak kasus, apabila kita hanya mengambil satu ayat Al-Qur’an dan tidak membandingkannya dengan ayat yang lain, pemahaman kita akan berbeda dibanding ketika kita mengaitkannya dengan ayat lain.

Contoh dari metode khusus AL-Qur’an ini adalah konsep muhkamat dan mutasyabihat. Sehubungan dengan itu, ada yang berpikir bahwa muhkamat adalah ayat-ayat yang mengemukakan berbagai masalah secara gamblang dan jelas, sedangkan mutasyabihat melontarkan masalah dalam bentuk simbol dan teka-teki. Berdasarkan definisi awam ini, orang-orang hanya berhak membahas muhkamat sedangkan mutasyabihat tidak boleh di bahas sama sekali. Otomatis akan timbul kebingungan. Apa hikmah dan rahasia ayat mutasyabihat? Kenaa Al-Qur’an harus memiliki ayat-ayat yang tidak bisa dibahas sama sekali?

Secara ringkas, jawabannya adalah arti muhkam bukan jelas atau sederhana dan arti mutasyabih bukan samar atau sandi. Sandi adalah kalimat dengan makna ambigu bersamaan dengan kata-kata yang tidak memberi makna langsung. Lalu adakah ayat-ayat simbolik dalam Al-Qur’an? Hal ini bertentangan dengan teks Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang bisa dipahami oleh semua manusia dan semua ayatnya adalah cahaya.

Masalahnya sebagian topik yang dibawa Al-Qur’an, khususnya tentang hal-hal gaib, tidak mungkin diterangkan dengan kata-kata. Menurut Syakh Syabistari,
“Makna tidak termuat dalam kata bagai samudera yang tak termuat dalam cawan”
Namun karena Al-Qur’an diruangkan dalam bahasa manusia, topik spiritual yang mendalam diterangkan dengan ungkapan yang lazim digunakan dalam hal-hal material. Untuk mencegah kesalahpahaman, topik-topik semacam itu diungkapkan dalam sejumlah ayat, sedemikian rupa hingga untuk memahaminya, kita perlu merujuka ayat-ayat Al-Qur’an yang lain. Contohnya diterangkan penjelasan tentang hakikat meliaht Tuhan dengan hati, diterangkan dengan ungkapan semacam ini,
“Hari dimana wajah-wajah mukmin berseri-seri, (ketika)melihat kepada Tuhan mereka” (AL-Qiyamah/22-23)

Al-Qur’an menggunakan kata melihat karena tidak ada kalimat lain yag lebih sesuai. Namun dmei mencegah kesalahpahaman, dalam ayat lain dijelaskan,
“Sesungguhnya penglihatan (manusia) tidak akan mencapai-Nya dan Dialah yang melihat dan menyaksikan segala ssuatu” (Al-An’am/103).
Tentunya pendengar akan memahami bahwa meski ada keserupaan kata, kedua ayat ini saling berbeda. Demi mencegah bercampurnya makna-makna spritual dengan makna-makna material. AL-Qur’an menyuruh kita untuk membandingkan mutasyabihat dengan muhkamat,
“Dia telah menurunkan kepadamu muhkamat dan ayat-ayat tersebut adalah Ummul Kiab” (Ali Imran/7)
Sebagian ayat Al-Qur’an adalah muhkam, memiliki makna tersendiri dan tidak bisa diartikan ke makna lain. Ayat-ayat ini dinamakan dengan Ummul Kitab (ayat-ayat induk). Sebagaimana halnya anak kecil merujuk kepada ibunya dan ibu adalah tempat rujukan anak kecil, maka muhkamat adalah rujukan bagi mutasyabihat. Ayat-ayat mutasyabihat harus dipahami dan direnungi dnegan bantuan ayat-ayat muhkamat. Tanpanya, kesimpulan yang diambil dari mutasyabihat tidak akan benar.