Rasulullah SAWW dan Ijtihad

Hal ini akan dibahas dari dua segi:
1. Mungkinkah Rasulullah berijtihad?
2. Jika mungkin, pernahkah Rasulullah berijtihad semasa hidupnya?

Dalam pembahasan pertama, para ulama terbagi menjadi beberapa golongan:
1. Rasulullah mungkin berijtihad. Golongan ini antara lain terdiri dari: Sirajuddin Al-Hindi dalam bukunya Syarhul Badi’, Allamah Muhammad Bukhait Al-Mu’thi’i mufti besar Mesir dan pensyarah buku Nohayatis Sa’ul, Syaikhul Islam Muhammad bi Ali Asy-Syaukani dalambukunya Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul (hal. 238) dan Allamah Ibadi dalam bukunya Al-Ayatul Bayyinat (juz 4 hal 251)
2. Berkenaan dengan hukum-hukum syariat tidak mungkin berijtihad, dan dalam masalah masalah duniawi, seperti mengatur strategi perang, mungkin berijtihad. Pendapat ini diyakini Allamah Qadhi Iyadh Al-Maliki An-Andalusi dalam bukunya Asy-Syifa.
3. Wajib berijtihad jika telah menunggu wahyu dan wahyu tidak kunjung turun.
Pendapat ini diyakini oleh pengarang buku Al-ijtihad wa mada ilaih fi hadzal ‘Ashr (hal, 24)
4. Tidak mungkin melakukan ijtihad atas dasar pandangan pribadi, dalams egala aspek kehidupan. Para pendukung pendapat ini antara lain Ibnu Hazhm Az Zhahiri, Abu Ali AL-Jaba’i Al Mu’tazili, Abu Hasyim AL-Mu’tazilli dan para penganut madzhab Asy’ariyah.
5. Secara akal mungkin berijtihad, akan tetapi secara syariat tidak boleh. Pendukung pendpaat ini antara lain Sayyid Murtadha Alamulhuda, mayoritas kaum Mu’tazilah dan ulama ushuli ahli hadis dari kalangan Ahlusunnah seperti Malik bin Anas Al-ashbahi, Qadhi Abu Yusuf, Allamah Al-Baidhawi Asy-Syafii, Abu Hamis Muhammad Al-Ghazali dan Abu Ishal Asy-Syirazi.
6. Baik secara akal maupun syariat tidak mungkin berijtihad. Pendapat ini diyakini oleh mayoritas ulama Syiah Imamiyah, diantaranya Allamah Hilli.

Para ulama yang memungkinkan Rasulullah berijtihad mereka berbeda pendapat:
1. Kelompok yang meyakini bahwah hal itu tidak pernah terjadi dalam sejarah kehidupan beliau.
2. Golongan yang meyakini hal itu pernah terjadi. Diantaranya: Saifuddin Al-Amidi Asy-Syafi’i, Allamah Abu Amr Utsman bin Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Jaib pengarang buku Muntahas Sa’ul wa Amal, Allamah Ahmad bin Abdul Hakim Al-Harani Al-Hanbali yang lebih dikenal dengan julukan Ibnu Taimiyah pengarang buku Minhajul Ushul, Allamh Muhammd bin Abdul Wahab Al-Hanafi yang dikenal dengan julukan Ibnu Hammam pengarang kitan at-Tahrir fi Ushulil Fiqh dan Allamah Asy-Dyaukani.
3. Para ulama yang tidak berani menentukan sikap berkenaan dengan masalah ini antara lain Muhammad bin Idris sy-Syafi’i, Allamah Abi Hamid Al-Ghazali dan Allamh Baqillani.


Bagaimanapun juga, seyogyanya kita menentukan sikap melihat perbedaan pandangan yang begitu tajam ini. dan tentunya sikap ini akan memberikan warna khusus dalam menyikapi sunnah Rasulullah SAWW.
Mereka yang memperbolehkan Rasulullah berijtihad, biasanya berpegang teguh kepada hadis nabawi yang berbunyi,
“Aku akan menghakimi diantara kalian dengan pendapat pribadiku jika wahyu tidak turun”
Akan tetapi, karena sanad hadis ini lemah dan juga bertentanga dengan ayat kitabullah yang berfirman:
“ Dan ia (Muhammad) tidak berbicara ats dasar hawa nafsu, semua yang disabdakan adalah wahyu”. Dan hadis nabi lain yang berbunyi: “Wahai Ali, jauhilah pendapat pribadi, karena agama itu berasa dari Allah dan pendapat pribadi itu berasal dari manusia”.
Lagipula seandainya hadis tersebut shahih, ia hanya khusus berhubungan dengan bab peradilan, maka hadis tersebut tidak dapat menjadi argumen bagi ijtihad Rasul.

Sebagian ulama menyimpulkan bahwa Rasulullah tidak boleh berijtihad, karena argumentasi –argumentasi berikut:
1. Tidak masuk akal beliau berijtihad, karena selalu berhubungan dengan sumber wahyu yang setiap saat menuntun dan menemani beliau.
2. Ketika beliau selalu berhubungan dengan sumber wahyu, maka masuk akal jika beliau tidak membutuhkan ijtihad.
3. Para sejarawan tidak pernah menukil Rasulullah semasa beliau hidup.
4. Hukum-hukum beliau tidak kontradiktif antara satu dengan lainnya.
Abu Hamid A; Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa fi Ilmil Saiffudin Al-Amidi ( juz 2 hal 35) dalam Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam (juz 2 hal 358) mengisyaratkan bahwa jika Rasulullah berijtihad dalam menentukan hukum, niscaya hukum-hukum beliau akan kontradiktif.
5. Rasulullah tidak memiliki hak tasyri’ (menentukan undnag-undang). Tugas beliau hayalah menyampaikan syariat yang telah ditentukan oleh sumbr syariat (Allah swt)
6. Bertentangan dengan makna ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut ini: “Dan ia (Muhammad) tidak berbicara atas dasar hawa nafsi, semua yang disabdaka adalah wahyu” (An-Najm/ 2-3)


“Ikutilah apa yang diwahyukan oleh Tuhanmu kepadamu” (Al-Ahzab/2)
Juga ayat-ayat berikut: Yunus/15, Al-An’am/50 dan Al’Araf/203