Sejarah Shalat

Berangkat dari soal, apakah Rasulullah saw sebelum bi’tsah mengerjakan shalat? Allah swt berfirman: “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan salat?” (QS: al-‘Alaq 9-10).

Kalimat  عَبْداً إِذا صَلَّى(‘abdan idza shalla; seorang hamba yang mengerjakan shalat) di ayat ini, yang dimaksud adalah Rasulullah saw. Di bagian akhir surat al-‘Alaq terlihat beliau dilarang mematuhi orang yang melarangnya, dan diperintahkan sujud serta taqarub kepada Allah. Oleh karena itu, konteks ayat-ayat al-‘Alaq –sebagai awal (wahyu) surat yang turun dalam sekaligus- menunjukkan bahwa beliau sebelum Alquran diturunkan telah mengerjakan shalat. Juga, beliau adalah seorang nabi sebelum menjadi rasul atau sebelum bi’tsah.

Tidaklah benar perkataan bahwa shalat bagi beliau sebelum bi’tsah tidak wajib, sebagaimana dikatakan dalam hadis-hadis bahwa shalat-shalat fardu diwajibkan di malam mi’raj! Sebab;

1-Hal yang jelas dari kisah mi’raj ialah bahwa lima shalat harian diwajibkan di malam mi’raj dalam bentuk yang khas.

2-Tak berarti shalat bagi beliau (secara khusus) tidak disyariatkan sebelum malam itu dalam bentuk lain.

3-Disinggung dalam banyak ayat dari surat-surat Makkiyah (yang turun di Mekah), di antaranya dalam surat-surat; al-Mudatsir, al-Muzammil dan lainnya yang turun sebelum surat al-Isra` dengan berbagai ungkapan. Meskipun tidak diterangkan bagaimana shalat beliau sebelum mi’raj, tetapi dalam kadar meliputi sejumlah bacaan Alquran dan sujud.

4-Diterangkan dalam beberapa riwayat bahwa Rasulullah saw, Sayidah Khadijah dan Ali  melaksanakan shalat, meski tak diterangkan bentuknya pada saat itu.

 

Awal Perintah Shalat

Dalam QS: Thaha 130-132, Allah berfirman: فَاصْبِرْ عَلى‏ ما يَقُولُونَ وَ سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ.. ; “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu..”, sampai pada: وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ;  “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat..”. Mengenai ayat-ayat ini:

Pertama, lafaz “keluargamu” dalam ayat yang turun di Mekah ini, berdasarkan sebab turunnya ialah mencakup Sayidah Khadijah dan Ali. Karena, Ali bagian dari keluarga Rasulullah saw dan tinggal di dalam rumah beliau.

Kedua, firman Allah: قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَ قَبْلَ غُرُوبِها وَ مِنْ آناءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَ أَطْرافَ النَّهارِ لَعَلَّكَ تَرْضى; “..sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam, dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa ridha..”, tidak mengaitkan shalat tengah hari (zuhur).

Ketiga, yang tampak bahwa shalat-shalat harian pada saat turunnya surat Thaha dan Hud sebelum surat al-Isra (tentang isra dan mi’raj Rasulullah saw), adalah empat shalat. Sampai turunnya surat al-Isra yang tergolong surat-surat awal yang turun di Mekah, pun shalat zuhur belum diwajibkan.

Keempat, riwayat-riwayat terkait dari Syiah dan Ahlussunnah juga menunjukkan bahwa lima shalat fardu harian disyariatkan di mi’raj, dan terdapat di dalam surat al-Isra yang turun setelah mi’raj.

 

Shalat-shalat Fardu Harian dan Waktu-waktunya

Firman Allah swt dalam QS: al-Isra 78:  أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلى‏ غَسَقِ اللَّيْلِ; “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam..” mencakup zuhur hingga pertengahan malam. Lalu, وَ قُرْآنَ الْفَجْرِ; (juga shalat subuh..”. Maka lima shalat fardu harian yang harus dikerjakan; zuhur dan asar, magrib dan isya kemudian subuh.

“Qur`an al-Fajr” selain atas kesepakatan semua riwayat terkait bahwa yang dimaksud adalah shalat subuh, bagian dari maknanya adalah qira`at Alquran, karena itu dikatakan qur`an (bacaan) subuh.

Kemudian ayat itu ditutup dengan kalimat, “Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan.” Riwayat-riwayat Ahlussunnah dan Syiah mengenainya, menafsirkan bahwa shalat subuh disaksikan oleh para malaikat malam ketika akan kembali dan para malaikat siang ketika datang. Tafsir bagi مَشْهُوداً; hal disaksikannya qur`anal fajr ini dalam riwayat-riwayat dua mazhab besar ini mendekati kemutawatiran. Dalam sebagian riwayat terdapat pula dengan kesaksian Allah dan juga muslimin.

Dalam ayat itulah dijelaskan kewajiban lima shalat dengan waktu-waktunya. Salah satu riwayat yang menguatkan bagian ini dinukil dari Sa’id bin Musayab dari Imam Ali Zainul Abidin: “Saya bertanya kepada beliau, kapan shalat (dan di mana saat) diwajibkan bagi muslimin, shalat wajib sebagaimana yang berlaku kini?”

Imam menjawab, “Di Madinah, dan setelah kokohnya dakwah Islam serta kewajiban jihad bagi muslimin, ketika itu shalat dalam bentuk sebagaimana kini tidak diwajibkan, melainkan sedikit (jumlah rakaatnya, yaitu) tujuh rakaat. Rasulullah saw menambahnya dua rakaat pada zuhur, dua rakaat asar, satu rakaat pada magrib dan dua rakaat pada isya.

Sedangkan shalat subuh beliau kerjakan dalam bentuk yang telah diwajibkan di Mekah. Sebab, pada waktu subuh para malaikat siang yang datang dan para malaikat malam yang akan pergi, mereka bergerak cepat. Jadi, shalat subuh dikarenakan disaksikan oleh yang datang dan yang pergi, tetap dikerjakan dua rakaat..” (Tafsir al-Mizan juz 40, hal 312)

 

Referensi:

Tarikh-e Tasyri’ Din-e Islam wa Waqaye’ Muhimm-e An az Didgahe Qur`an wa Hadits/Mahdi Amin/Muhammad Pistuni