Orang Bijak Menurut Alquran

Alquran membedakan antara orang mukmin dan orang fasik;

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا ۚ لَا يَسْتَوُونَ; Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama. (QS: as-Sajdah 18).

Mu`min arti kebahasaannya adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya saw. Keimanan ini tak sebatas di lisan, tetapi yang sampai di hati seorang mukmin. Sebagaimana firman Allah: قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ; Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu..”(QS: al-Hujurat 14),

Orang mukmin juga manusia. Terkecuali yang telah di nashkan sebagai manusia suci, ia tak luput dari lupa, salah dan dosa. Namun demikian tak menghalangi dirinya menjadi mukmin sejati. Sedangkan orang fasik, kendati beriman dia melakukan dosa besar, dan oleh karena itu dia kurang dipercaya, perkataan atau kabar yang datang darinya perlu dicari kebenarannya.

Allah berfirman: إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ; jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS: al-Hujurat 6).

 

Iman Kesadaran dan Nilai Tertinggi

Di dalam buku berjudul “Bashirat wa Esteqamat” (Penjelasan Imam Khamenei tentang Bashirah dan Istiqamah), bagian mukadimah, dikatakan: “Berbahagialah orang yang memilih imannya atas pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepedulian. Bah datang akan menghanyutkan pohon yang kokoh. Walaupun kurus dan lembut tapi ia lebih kuat, akarnya di bawah tanah. Ia tetap di tempat dengan selamat.

Dalam Islam, iman yang bernilai adalah iman kesadaran. Identik pemahaman dan pengertian. Adalah iman yang lahir atas bashirah (kepekaan batin) dengan mata terbuka tanpa rasa takut pada masalah. Tidaklah kukuh iman seorang muslim yang tak baca berita dan buku untuk wawasan; tak berjalan di lorong pasar, tak bicara dengan orang; tak terkena panas dingin; tak melihat matahari (‘uzlah). Haruslah dipilih iman yang penuh kesadaran, yang tak terampas dalam kondisi tersulit pun. Allah swt berfirman:

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَٰنِ; kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman..

Mengenai Ammar sahabat Rasulullah, Alquran menerangkan: Bila kamu ditekan dalam siksaan, maka ucapkan satu kalimat untuk dapat memalingkan musuh darimu sesaat. Imanmu itu bukanlah yang bisa lenyap dari hatimu karena siksaan.

Iman yang besi dipanaskan lalu ditempelkan ke leher dia, bukan main-main. Besi yang leleh didekatkan lalu ditempelkan di badannya. Namun siksaan ini tak melenyapkan imannya, yang adalah iman kesadaran yang mendalam. Iman berdasarkan pemahaman dan pikiran.

Tak asing dengan kalimat “Ulul albâb”, maknaya adalah kaum yang menggunakan daya pikir dan menjadi bijak. Siapa mereka itu? Ini salah satu poin yang indah dari Alquran. Ketika ingin mengatakan, “Ulul albâb”, ia ingin menyampaikan dan mengenalkan kaum yang bijak. Sementara masyarakat umumnya, ketika ingin mendefinisikan orang bijak mereka mengatakan: ialah orang yang juara dalam semua urusan kehidupannya, tak pernah kalah, dalam perniagaan, politik, menghadapi persaingan, semuanya di tangan dia dan dikuasainya.

Akan tetapi Alquran, tak satupun dari semua permainan tersebut diterimanya. Sebab, ia memandang nilai hakiki bagi manusia adalah menjalin hubungan dengan Allah. Dengan demikianlah Alquran mendefinisikan orang bijak. Dalam pandangannya, orang bijak adalah yang memandang (berhubungan dengan Allah) nilai paling tinggi dari apapun dan siapapun.

Ialah dalam QS: Al Imran 191 diterangkan, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ; (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

 

Referensi:

Bashirat wa Esteqamat/Imam Ali Khamenei