Prosedur Istinbath (Pemetaan Bahasan Usul Fikih)

Metodologi ushul fikihnya Syahid Shadr berangkat dari cara pandang beliau terhadap ilmu ini, bahwa beliau memandang ilmu ushul sebagai logika fikih. Oleh karena itu, langkah seorang ushuli (pakar ilmu ushul) sebagaimana langkah seorang faqih (pakar syariat) di dalam istibath; menyimpulkan hukum syar’i. Secara ringkas pemetaan bahasan ilmu ushul oleh Syahid Shadr berdasarkan langkah seorang faqih. Kalau seorang fakih bergerak dalam istinbath (menyimpulkan) hukum syar’i, seorang pakar ushul bergerak dalam pengkajian ushuliyahnya.

Adalah tugas seorang faqih mencari dalil qath’i (yang meyakinkan) berupa ayat atau riwayat untuk menyimpulkan hukum bagi suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, apa hukum makan daging babi? Maka faqih merujuk pada ayat yang sumber dan maknanya meyakinkan (qath’iyatu shudur wa ad-dilalah), bahwa: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ; Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.. (QS: al-Maidah 3), ayat ini menunjukkan keharaman makan daging babi.

Sekiranya mengenai hukum terkait suatu masalah tidak didapati dalilnya yang qath’i, maka faqih beranjak ke khabar tsiqah (hadis yang diriwayatkan orang mu`min terpecaya) yang merupakan dalil zhanni. Jika mendapatkannya, ia berpegang padanya karena dalil ini menyingkap hukum syar’i dan merupakan hujjah. Namun jika ia tidak juga menemukannya, apa yang harus ia lakukan ketika hukum menjadi majhul (tak diketahui)?

Dalam demikian faqih berpindah ke level berikutnya, ialah dalil yang tidak menyingkap hukum dan realitasnya, tetapi menentukan sikap praktis (mauqif ‘amali). Dalam keadaan tidak mendapatkan dalil penunjuk hukum, syariat telah menyediakan kaidah-kaidah yang menentukan tugas bagi mukallaf (setiap orang yang memenuhi persyaratan taklif, termasuk si faqih itu sendiri). Kaidah-kaidah itu diistilahkan dengan ushul ‘amaliyah (prinsip-prinsip praktis; jamak dari ashl ‘amali).

Jadi, ushul ‘amaliyah adalah kaidah-kaidah yang menentukan sikap praktis ketika tidak didapati dalil penyingkap hukum. Dengan demikian, kajian ushul fikih terbagi pada empat bahasan berikut:

 

Prosedur Praktek Istinbath

Yang pertama, mengenai dalil atau unsur umum (unsur musytarak) yang masuk dalam proses istinbath (penyimpulan hukum). Ialah yang diistilahkan dengan dalil muhriz.

Yang kedua, mengenai ashl ‘amali (prinsip praktis) yang menentukan posisi praktis atau kaidah yang menentukan tugas praktis ketika tidak didapati dalil penyingkap hukum syar’i.

Yang ketiga, proses istinbath yang dilakukan faqih tak lepas dari dua dalil tersebut; mempunyai dalil muhriz, atau mempunyai ashl ‘amali. Dengan kata lain, dalam praktek istinbath, langkah pertama ialah pencarian dalil muhriz; baik yang qath’i maupun yang zhanni. Namun jika tidak menemukannya maka ia menggunakan jalan lain, yaitu ashl ‘amali.

Itulah prosedur bagi pelaku istinbath. Perlu diingat bahwa:

1-Prinsip praktis berlaku dalam semua persoalan, sedangkan dalil muhriz tidak. Misalnya, soal hukum merokok, yang perkara ini baru muncul pasca ditemukannya Amerika pada tahun 1492. Mengenainya tak didapati satupun dalil berupa ayat atau riwayat yang menunjukkan hukumnya. Dalam keadaan ini faqih dapat bersandar pada sebuah prinsip praktis, yang diistilahkan dengan ashâltul hill; sebuah kaidah fikih bahwa semua halal kecuali ada dalil yang melarang.

2-Perkara yang terdapat dalil ayat atau riwayat mengenainya, pun mengandung ashl ‘amali (prinsip praktis) di dalamnya. Sebagai contoh, hukum makan daging kelinci, bisa saja berpegangan pada ashalatul hill. Namun bila menemukan khabar tsiqah sebagai dalilnya yang menunjukkan keharamannya, maka khabar tsiqah didahulukan atas ashl ‘amali.

Jadi, proses istinbath (penyimpulan) hukum tak lepas dari dua macam dalil tersebut; kalau tidak dengan dalil muhriz, maka dengan ashl ‘amali.

3-Berdasarkan kaidah mendahulukan dalil muhriz atas ashl ‘amali, terhadap suatu masalah ketika hendak menyingkap hukumnya, prinsip ashl ‘amali tak digunakan kecuali bila dalil muhriz tak didapatkan.

Yang keempat, di antara dua macam dalil tersebut ada unsur umum (musytarak) yang masuk dalam semua proses istinbath. Ialah yang diistilahkan dengan qath’, yakni tersingkapnya suatu perkara secara seratus persen tanpa diragukan. Baik dengan dalil muhriz di dalam menentukan posisi syariat, atau dengan ashl ‘amali seperti ashalatul hill, istishab dan ihtiyath.

Jadi, dalam semua keadaan tersebut faqih tetap mencapai qath’, bahwa posisi syariat adalah demikian itu yang ditunjuki oleh dalil. Dalam semua proses istinbath berujung pada qath’ yang ia sendiri adalah hujjah.