Pahala Melayani Jemaah Haji(2)

Dikisahkan bahwa sebuah kafilah Muslim yang ingin menunaikan ibadah haji tiba di kota Madinah. Mereka menetap selama beberapa hari di Madinah untuk menghilangkan rasa lelah. Kafilah tersebut kemudian mempersiapkan hewan tunggangannya dan bergerak ke arah Mekkah. Mereka didatangi oleh seorang laki-laki di tengah jalan antara Madinah dan Mekkah. Para anggota kafilah mengenal lelaki tersebut.

Laki-laki itu kemudian bercerita panjang lebar dengan anggota kafilah. Di tengah pembicaraan, dia melihat seseorang di tengah kafilah yang melayani orang lain dengan penuh semangat dan antusias. Lelaki itu menatap wajah pria tersebut dengan seksama. Wajahnya memancarkan cahaya dan dari raut mukanya, bisa ditebak bahwa ia orang yang saleh dan bertakwa. Lelaki ini mengenal pria tersebut dan berkata dalam hatinya, "Ya Tuhan, apa yang telah dilakukan oleh kafilah ini."

Lelaki tersebut berbalik ke arah kafilah dan berkata, "Apakah kalian mengenal siapa pria yang sedang melayani dan melakukan pekerjaan untuk kalian?" Mereka menjawab, "Tidak, kami tidak mengenalnya. Pria itu bergabung dengan rombongan kami di Madinah. Dia orang yang saleh dan bertakwa. Kami tidak meminta dia untuk melakukan apapun buat kami, tetapi dia sendiri ingin membantu orang lain dan meringankan pekerjaan mereka."

"Jelas kalian tidak mengenalnya, jika kalian tahu, kalian pasti tidak akan bersikap tidak sopan kepadanya dan membiarkan dia melayani kalian," ujar lelaki itu. Kafilah kemudian bertanya, "Siapa gerangan pria tersebut?" "Dia adalah putra Husein bin Ali as, cucu baginda Rasulullah Saw. Dia adalah Ali Zainal Abidin bin Husein as," jawabnya.

Para anggota kafilah bergegas bangkit dari tempatnya. Dengan terburu-buru dan rasa malu, mereka mendatangi Imam Ali Zainal Abidin as. Mereka berkata, "Kami benar-benar merasa malu, mengapa engkau tidak memperkenalkan dirimu kepada kami? Mungkin saja kami telah merendahkan kamu karena ketidaktahuan kami dan kami akan menanggung dosa besar di sisi Allah."

Imam Ali Zainal Abidin as berkata, "Aku sengaja memilih kafilah kalian dan melakukan perjalanan bersama kalian. Ketika aku memilih kafilah yang mengenaliku, mereka akan mencurahkan kebaikan dan kasih sayang untukku karena rasa hormatnya kepada Rasulullah Saw, dan mereka tidak akan membiarkanku melakukan pekerjaan apapun. Oleh karena itu, aku ingin memilih kafilah yang tidak mengenaliku dan aku juga tidak memperkenalkan diri kepada mereka sehingga aku bisa dengan senang hati melayani teman-teman seperjalanan."

Kemuliaan akhlak dan perilaku Imam yang demikian bijak itu membuat siapa pun mengagumi beliau. Sejarawan Muslim terkenal, Ibnu Syahr Asyub menuturkan, "Suatu ketika Imam Ali Zainal Abidin as menghadiri sebuah pertemuan yang digelar Khalifah Umayah, Umar bin Abdul Aziz. Saat Imam meninggalkan pertemuan itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada orang-orang di sekitarnya dan berkata, ‘Siapakah orang yang paling mulia di sisi kalian? Semuanya berkata, "Anda wahai khalifah!" Namun ia balik menjawab, "Bukan sama sekali! Orang yang paling mulia adalah sosok yang baru saja meninggalkan pertemuan kita. Semua kalbu dibuat terpesona olehnya hingga siapa pun ingin menjadi seperti dia."

Imam Ali Zainal Abidin sangat menekankan pentingnya pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian terhadap masyarakat bukan diukur dari seberapa besar pekerjaan itu, tapi kualitas layanan dan ketulusan niatlah yang menjadi parameter dari bernilai atau tidaknya sebuah pekerjaan. Selain itu, pengabdian juga menumbuhkan sebuah ketenangan spiritual bagi seseorang yang bisa berbuat kebaikan kepada orang lain.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh beruntung orang yang berlaku baik dengan masyarakat dan tidak pernah ragu dalam membantu mereka, dan menjauhkan keburukannya dari orang lain."